Hubungan Internasional
Teori Realisme dalam Hubungan Internasional
Teori realisme dalam HubunganInternasional adalah sebuah teori yang dicetuskan dalam rangka menjawab teori
yang muncul sebelumnya yaitu, liberalisme. Kedua teori ini saling mengkritisi
dan bertolak belakang pada awal munculnya studi Hubungan Internasional. Oleh karena
itu, para ahli menggolongkan kedua teori ini dalam Perdebatan Besar (Great Debate) ke satu.
Berbeda dengan teori liberalisme, realisme
mencoba berpandangan bahwa manusia itu buruk, egois dan saling menumpahkan
darah. Begitu pula dengan negara. Teori realisme HI yang muncul terinsipirasi
dari beberapa filsuf klasik seperti Thucydides, Machiavelli dan Thomas Hobbes.
Salah satu filsuf Thommas Hobbes
dalam Leviathan menggambarkan bahwa
manusia adalah serigala bagi serigala yang lain (red. homo homini lupus). Manusia dalam pemenuhan kepentingannya akan
selalu berkonflik satu sama lain. Dengan
begitu manusia akan menumpahkan darah manusia lain untuk memenuhi
kepentingannya. Namun disisi lain, manusia takut binasa karena keadaan
tersebut. Manusia memahami dalam lingkungannya selalu ada yang lebih kuat
daripada dirinya, sehingga suatu saat dia akan binasa pula. Oleh karena itu, manusia
melakukan kontrak sosial untuk membentuk pengatur masyarakat yang dalam karya
Hobbes digambarkan sebagai sebuah raksasa (leviathan).
Pengatur tersebut adalah yang pada saat ini kita kenal sebagai negara.
Dalam asumsi realisme, negara bertindak
seperti manusia. Negara mencoba untuk memenuhi kepentingannya menggunakan power yang mereka miliki. Konsep power agaknya cukup luas namun dalam hal
ini kita membatasi istilah tersebut sebagai sebuah kapabilitas negara untuk
bertindak. Setiap negara adalah berdaulat (sovereignty)
dan bisa menentukan arah kebijakannya sendiri-sendiri (self-determination). Sehingga teori realis menganggap bahwa negara
adalah sebuah entitas tertinggi dalam sistem internasional. Inilah yang disebut
sifat anarchy dalam hubungan
internasional.
Dalam realitasnya, hubungan
internasional digambarkan sebagai bola biliar (billiar ball model). Setiap bola digambarkan sebagai setiap negara
yang bergulir kehidupannya di meja biliar yang merupakan sistem internasional.
Bola-bola biliar tersebut tidak ada bedanya dalam meja biliar karena mereka
sama sama memiliki kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan tersebut yang kemudian
menjadikan semua negara setara dalam sistem internasional. Tidak ada perbedaan antara
negara berwilayah kecil dan luas ataupun antara negara miskin dan kaya.
ilustrasi: www.aisthesisonline.it |
Teori ini diawali oleh karya E. H
Carr, The Twenty Years Crisis pada
tahun 1939. Carr mencoba untuk mengkritik beberapa kesalahan dalam teori
liberal internasionalisme (liberalisme) yang muncul sebelumnya sebagai sebuah
tanggapan atas Perang Dunia Pertama. Liberalisme mengatakan bahwa masyarakat
tidak ingin berperang dan kemudian hanya pemerintah otoriterlah yang membuat
peperangan antar negara terjadi. Sehingga rezim-rezim seperti di Jerman,
Austria-Hungaria dan kerajaan-kerajaan otoriter di Eropa adalah penyebab
perang. Padahal Jerman juga memiliki pemerintah yang bertanggung jawab di
Parlemen pada masa Hitler, namun pada akhirnya perang tidak terelakan juga.
Pemerintah Jerman pada rezim Hitler juga mendapat dukungan dari rakyatnya,
walaupun pada akhirnya banyak yang tidak setuju dengan kebijakan Hitler untuk
berperang.
Hal tersebut menandakan bahwa
liberalisme adalah sebuah teori yang kurang presisi untuk menggambarkan
realitas hubungan internasional. Jikalau liberalisme menganggap hukum
internasional adalah sebuah penyelesaian dalam konflik antar negara, realisme
mengkritik bahwa hukum hanya akan dapat dibentuk dengan cara perang. Menurut
orang realisme, hukum yang dibentuk pada perjanjian Versailess (yang juga
merupakan sebuah hasil dari pemikiran liberalisme) hanya menguntungkan sebagian
pihak. Sehingga dalam hal ini hukum hanya diperuntukan bagi ’the have’ atau
orang yang menguasai atau mendapat keuntungan dari hukum tersebut seperti dalam
kasus Versailles adalah pihak Inggris dan Perancis. Sedangkan ‘the have not’ adalah
pihak yang tidak mendapat keuntungan dari hukum cenderung dirugikan, seperti
Jerman yang pada saat Perjanjian Versailles harus mengganti seluruh biaya reparasi
perang sekutu. Hukum dalam Perjanjian Versailles agaknya lebih kearah mendikte
Jerman ketimbang bernegosiasi dengannya.
Karya selanjutnya yang
berpengaruh dalam teori realisme tentunya adalah Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948) tulisan
Hans J. Morgenthau. Tesis dasar Morgenthau adalah bagaimana sebuah negara akan mengejar kepentingan
dengan cara memperkuat power yang
dimiliki.[1]
Dalam hal ini negara adalah aktor kunci dalam hubungan internasional.
Aktor-aktor lain seperti individu, perusahaan transnasional (TNC), perusahaan
multinasional (MNC), organisasi internasional mungkin berpengaruh dalam
hubungan internasional, akan tetapi semua bentuk aktor tersebut diatur oleh
negara-negara berdaulat.
Realis mencoba menggambarkan
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan internasional bersifat
kompetitif, konfliktual dan penuh pertumpahan darah. Negara-negara akan
memperkuat powernya demi
mempertahankan deterensi dan kepentingannya di dalam sistem internasional.
Dengan begitu negara akan terus survive (bertahan)
karena sistem internasional bersifat self-help.
Kondisi anarchy dalam sistem
internasional membuat negara-negara harus menolong diri sendiri ketika terjadi
sesuatu. Peningkatan power tersebut
juga berfungsi untuk memberikan jaminan keamanan domestik suatu negara.
Kekuatan militer adalah aspek penting negara untuk survive |
source :www.telegraph.co.uk
Namun sayangnya peningkatan power
ini selanjutnya akan menimbulkan suatu security dillema. Security dillema adalah keadaan dimana ketika kita meningkatkan power (misal dalam bidang militer) negara kita, ada dua kemungkinan yang
didapat: (1) negara kita bertambah aman karena bertambah kuat dan (2) negara
kita malah terancam karena negara lain akan menganggap kekuatan yang bertambah
tersebut sebagai sebuah ancaman. Inilah yang kemudian menimbulkan perlombaan
kekuatan militer (arms race) antar
negara.
Kesimpulannya, dalam pandangan
realis, tidak pernah ada perdamaian antar negara. Hal tersebut disebabkan
karena negara-negara tersebut tidak memiliki otoritas tertinggi diatasnya.
Mereka masing-masing memiliki kedaulatan dan kedaulatan tersebut tidak akan
diberikan kepada otoritas diatasnya (jikalau ada). Sehingga dalam hal ini keadaan
tersebut menggambarkan international
state of nature yang kembali pada asumsi awal bahwa sistem internasional
adalah sebuah hutan liar yang lingkungannya adalah saling membunuh/berperang
untuk mengejar kepentingan masing-masing.
Negara-negara berdaulat memiliki kekuatan militer masing-masing |
Kendati demikian, negara-negara dalam
sistem internasional akan terus mencoba untuk memperkuat diri. Sehingga dalam
suatu waktu, negara-negara tersebut kekuatannya relatif setara dan tidak akan
mencoba untuk menggunakan kekuatannya untuk menyerang. Keadaan inilah yang
disebut sebagai balance of power. Balance of power oleh orang-orang
realis dianggap keadaan paling stabil dalam sistem internasional. Isu-isu utama
dalam realisme terkenal dengan sebutan 3S, yaitu statism, self help and survival.
References
Brown, C., & Ainley, K. (2005). Understanding
International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
Jackson, R., & Sorensens, G. (2013). Introduction
to International Relations: Theories and Approaches. Oxford: Oxford
University Press.
[1]
Brown, C., & Ainley, K. (2005). Understanding
International Relations. New York: Palgrave Macmillan, p. 30
No comments