Hubungan Internasional
Teori-teori (Great Debates) dalam Hubungan Internasional
Studi Hubungan Internasional (HI)
memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut seperti apa yang dijuluki oleh
Stephen M. Walt sebagai ‘One World Many Theories’.[1] Hampir semua ilmu pengetahuan di dunia
memiliki teori. Tidak terkecuali dalam
studi HI.
Teori dalam HI secara singkat dipahami sebagai sebuah pemikiran
reflektif.[2]
Pemikiran tersebut berkenaan dengan bagaimana kita membuat abstraksi mengenai
suatu fenomena. Mengapa kita berlaku begini? Mengapa si anu berlaku begitu?
Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang membuat para penstudi HI berfikir
bahwa suatu realitas yang terjadi perlu dikonstruksi sebagai sebuah pemikiran
abstrak. Dalam hal ini para penstudi HI mencoba untuk mengabstraksikan objek
studinya yaitu negara (dan lebih lanjut aktor non-negara).
ilustrasi: google.com |
Ketika dunia terkotak-kotak menjadi
negara-negara yang berdaulat, negara tersebut akan berinteraksi satu sama lain.
Interaksi tersebut yang kemudian diamati oleh para akademisi HI sehingga menghasilkan
beberapa teori mengenai
bagaimana negara berperilaku, apa motif negara dalam mengambil keputusan dan
pertimbangan-pertimbangan apa yang digunakan.
Pertama kali, HI dibentuk sebagai sebuah studi pasca Perang Dunia Pertama dikarenakan orang-orang pada saat itu sedang melakukan telaah terhadap
sebab-sebab negara berperang. Dengan begitu diharapkan dengan menjewantahkannya
dalam teori, orang-orang dapat memahami realita tersebut sehingga perang bisa
dicegah.
Disaat kita menggunakan teori sebagai sebuah cara mudah untuk memahami
fenomena, sayangnya teori dalam HI kadang malah membuat kita menjadi
kebingungan. Teori-teori tersebut tidak ada yang benar sepenuhnya dan salah
sepenuhnya. Sebab teori-teori tersebut memiliki alasan masing-masing untuk
dibenarkan sekaligus dimentahkan oleh teori lain.
Kita bisa menyebut teori-teori dalam HI sebagai perspektif atau
paradigma. Karena pada dasarnya, teori-teori ini dibentuk berdasarkan bagaimana
cara pandang kita dalam melihat suatu fenomena hubungan internasional. Sehingga
tidak dapat dipungkiri, jika Anda bertanya pada sepuluh penstudi HI mengenai
suatu realita, Anda juga akan mendapatkan sepuluh jawaban berbeda mengenai
fenomena tersebut. Hal tersebut dikarenakan perbedaan teori dan cara pandang yang
digunakan dalam menganalisis suatu permasalahan. Namun yang menarik, jawaban
tersebut nantinya akan terklasifikasi sesuai dengan teori-teori yang digunakan.
Sehingga beberapa penstudi akan sepakat terhadap beberapa hal mengenai suatu
fenomena.
Teori dalam HI
juga sangat dinamis, tidak statis seperti ilmu alam (HI adalah ilmu sosial yang
merupakan disiplin dari ilmu politik) . Jika dalam ilmu alam, misalnya dalam
fisika, massa jenis minyak selalu lebih ringan
daripada massa jenis air, sehingga dimanapun dan kapanpun ketika air dicampur
minyak dalam satu bejana maka yang terjadi adalah minyak berada di atas dan air berada di bawah bejana. Hal ini
disepakati kapanpun dan dimanapun karena fenomena alam selalu berpola statis.
Sebaliknya, dalam HI suatu teori tidak akan selalu seperti contoh di atas. Akan
selalu ada perbedaan cara pandang, perubahan dan
revisi mengenai suatu teori. Teori-teori tersebut juga membentuk sebuah pola
yang saling bertolak belakang. Sehingga keadaan tersebut menimbulkan
perdebatan.
Maka tidak
aneh jika orang-orang menyebut perdebatan teori HI ini sebagai sebuah ‘Great Debates’. Perdebatan
besar teori/paradigma dalam HI
secara umum terdiri dari empat fase,[3]
yaitu:
Realisme versus idealisme (liberalisme)
|
tahun 1930an
|
tahun 1960an
|
|
Neo-realisme versus neo-liberalisme
|
tahun 1980an
|
Rasionalisme versus reflektivisme
|
tahun 1990an
|
Dalam melihat fenomena, para akademisi
HI pada dasarnya diibaratkan seperti melihat ruang sama (red: fenomena yang
sama). Akan tetapi ketika seorang akademisi mengaplikasikan suatu teori dalam
mengamati ruang tersebut, mereka seperti sedang menggunakan kacamata tertentu.
Akibatnya, ketika orang lain melihat ruangan tersebut dengan kacamata yang
berbeda, maka hasil deskripsi mengenai
ruangan tersebut antara kedua orang tadi akan berbeda.
Perdebatan-perdebatan diatas
sebenarnya tidak berusaha untuk mencari kebenaran mengenai suatu teori, akan
tetapi merupakan sebuah upaya untuk memahami perilaku negara (atau non-negara) dalam sistem
internasional. Bagaimana mungkin kita bisa menyalahkan suatu teori, wong kita tidak tahu teori yang benar
yang bagaimana. Sebuah teori HI mungkin bisa menjelaskan suatu fenomena
hubungan internasional yang ada, namun teori tersebut tidak menjamin dapat
menjelaskan fenomena tersebut secara lengkap tanpa mempertimbangkan aspek dalam
teori lain.
Tidak ada
jawaban hitam dan putih dalam studi ini. Jika Anda ingin hitam-putih, belilah
TV hitam-putih, jangan menjadi penteori HI.[4]
References
Brown, C., & Ainley, K. (2005). Understanding
International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
Sutch, P., & Elias, J. (2007). International
Relations: The Basics. New York: Routledge.
Walt, S. M. (1998). International Relations: One World,
Many Theories. Foreign Policy.
[2] Brown, C., & Ainley, K. (2005). Understanding International Relations. New
York: Palgrave Macmillan, p. 7
No comments