Hubungan Internasional
Teori Liberalisme dalam Hubungan Internasional
Liberalisme secara harfiah bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi
mengenai kebebasan (liberte). Namun
dalam Studi Hubungan Internasional (HI), liberalisme adalah salah satu teori
untuk memahami suatu permasalahan mengenai realitas interaksi antar negara.
Pada kelahirannya pasca Perang Dunia Pertama, HI pada dasarnya mengacu pada
satu-satunya teori yang muncul pada saat itu, yaitu teori liberalisme ini.
Asumsi utama teori liberalisme mengacu
pada pandangan positif mengenai sifat manusia. Manusia cenderung berbuat baik
dan suka dengan cara-cara kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Begitu pula
kemudian teori ini di aplikasikan terhadap negara yang dipengaruhi oleh
manusia-manusia yang menjadi anggota negara tersebut. Hal ini berbeda dengan
asumsi realisme yang nantinya akan mendebat teori ini dengan memberikan asumsi
sebaliknya.
Liberalisme ini pada awalnya merupakan
sebuah tanggapan pasca Perang Dunia Pertama dimana para akademisi mencoba
mencari sebuah solusi lebih baik untuk menjauhkan perang dari interaksi antar
negara. Tokoh-tokoh kunci dalam teori liberalisme adalah Woodrow Wilson,
Presiden Amerika Serikat yang kemudian menggagas Liga Bangsa-Bangsa dan Davied
Davies, Kepala Departemen Studi Politik Internasional (cikal bakal nama HI) di
Wales. Meski begitu para tokoh ini banyak mengambil pendapat dari filsuf-filsuf
klasik seperti John Locke, Jeremy Bentham dan Immanuel Kant. Kemudian setelah
itu dilanjutkan oleh pemikiran-pemikiran liberalisme kontemporer seperti Robert
Keohane, John Burton, Joseph Nye Jr. dan masih banyak lagi.
Source: (Jackson & Sorensens, 2013, p. 102)
|
John Locke berpendapat bahwasannya
tiap individu memiliki kebebasan dalam mengatur dirinya. Kebebasan tersebut
dilindungi oleh hukum yang berlaku pada suatu negara. Sehingga negara menjadi
sebuah instrumen untuk melindungi kebebasan individu secara konstitusional
(Rechsstaat) ketimbang sebagai sebuah instrumen power (Machsstaat). Argumen tersebut dikembangkan oleh Jeremy
Bentham dimana pada nantinya instrumen hukum yang ada dalam ranah domestik bisa
juga diterapkan pada level internasional. Pada nantinya hal tersebut yang
menjadi cikal bakal munculnya hukum internasional sebagai instrumen pengatur
hubungan antar negara. Asumsi ini dikembangkan lagi oleh Immanuel Kant yang
berpendapat bahwa ketika sebuah negara tidak otoritarian melainkan demokratis
dan konstitusional, maka hubungan antar negara-negara tersebut akan
menghasilkan sebuah perpetual peace (red.
perdamaian abadi).
Dari
pemikiran-pemikiran klasik tersebut, pada awal munculnya studi HI, tokoh
seperti Woodrow Wilson dan Davied Davies mencoba untuk menerapkan perspektif
liberalisme klasik terhadap dunia pasca Perang Dunia Pertama. Pertama kali
perspektif tersebut dinamakan sebagai liberal
internationalism. Perspektif ini mencoba untuk memberikan sebuah solusi
atas permasalahan perang supaya tidak
terjadi lagi. Woodrow Wilson mencoba untuk membuat sebuah institusi
internasional yang mengakomodasi diplomasi antar negara. Dia menganggap
penyebab peperangan terjadi karena sistem aliansi antar negara berjalan dengan
jalan diplomasi yang tertutup. Sehingga model diplomasi perlu dirubah ke dalam
sebuah open covenants openly arrived at[1].
Hal-hal ini yang kemudian dijewantahkan dalam institusi yang kita kenal
sebagai Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
LBB
nantinya akan menjadi sebuah tempat untuk mengakomodasi permasalahan (collective will of all nations). Dalam
hal perang dan damai konsep balance of
power dalam sistem aliansi akan diubah menjadi konsep collective security atau keamanan kolektif. Dengan begitu, ketika
terjadi sebuah konflik di sebuah negara, negara dalam LBB wajib membawanya ke
forum untuk diselesaikan secara bersama. Konsep mengenai hukum internasional
juga dipakai sebagai sebuah instrumen pencegah perang dalam organisasi ini.
David
Davies di sisi lain memberikan sebuah kontribusi melalui pendekatan pendidikan.
Asumsinya adalah ketika kita mempromosikan sebuah studi tentang hubungan internasional,
diharapkan hal tersebut bisa mempromosikan perdamaian.[2]
Hal tersebut diimplementasikan dengan pendirian sebuah departemen tentang studi
international politics (nama awal
studi HI) di Wales.
Begitulah
teori liberalisme dalam Hubungan Internasional. Teori ini pada dasarnya dianut
oleh orang-orang yang percaya bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam
hubungan internasional. Bahasannya juga lebih menitikberatkan pada low politics
Teori ini
sangat menghargai pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang baik. Sehingga
ketika kebaikan mereka harus terbentur dengan kepentingan yang harus mereka
penuhi, orang liberalisme percaya bahwa mereka akan mencoba untuk menggunakan
cara-cara kooperatif ketimbang konfliktual. Begitu pula dengan perilaku negara
yang menurut orang liberal harus demikian. Kendatipun begitu, teori ini adalah
sebuah asumsi yang menurut banyak kritikus sulit sekali diterapkan meskipun beberapa
hal memang terjadi dalam realita hubungan internasional. Oleh karena itu,
selain disebut sebagai teori liberalisme, ada juga yang memberi nama lain
seperti idealisme atau liberal utopianism.
References
Brown, C., & Ainley, K. (2005). Understanding
International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
Jackson, R., & Sorensens, G. (2013). Introduction
to International Relations: Theories and Approaches. Oxford: Oxford
University Press.
[1] Brown, C., & Ainley, K. (2005). Understanding
International Relations. New York: Palgrave Macmillan, p. 21.
[2] Ibid, p. 23.
[3] Ibid.
No comments