Muslim Sebagai Umat Percontohan Manusia di Tengah Ancaman Degradasi Moral Pada Era Modernisasi

Abstraksi
Modernisasi merupakan transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat. Yaitu era dimana masyarakat berpindah dari kehidupan tradisional menuju kepada kehidupan modern. Di era ini terdapat dampak positif dan dampak negatif yang dihasilkan. Dampak positifnya bisa kita lihat, semakin mudahnya kehidupan manusia dibantu dengan bantuan teknologi yang dihasilkan modernisasi. Sedangkan dampak  negatifnya adalah kemerosotan moral yang menjangkit masyarakat di dunia. Bagaimanakah peran muslim dalam fenomena ini?

source: http://topislamic.com/20-muslim-and-proud-pictures-really/

Semakin maju suatu peradaban semakin banyak nilai dan norma yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kita tidak dapat menerapkan nilai dan norma yang ada di masa lalu, terhadap apa yang terjadi pada saat ini, jika seiring berjalannya waktu, nilai dan norma tersebut berubah. Misalnya, penggunaan senjata nuklir pertama pada pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dulu belum diatur, maka sekarang hal itu telah diatur karena tindakan tersebut membuat kerusakan yang luas dan jika dilakukan, akan melanggar peraturan internasional dimana penggunaan senjata pemusnah massal sudah tidak diperbolehkan. Namun, sebenarnya tidak semua nilai dan norma yang berlaku di masa lalu dianggap salah dan tidak sesuai dengan apa yang ada saat ini. Contoh yang paling mendasar adalah seluruh aturan dan pedoman yang diberikan oleh Al Quran dan hadist. 

Al Quran merupakan kitab suci umat muslim. Sedang hadist adalah seluruh perkataan Rasul (Nabi Muhammad SAW) yang didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Berbicara mengenai Al Quran dan hadist, dua hal ini memuat kaidah-kaidah penting –dalam kehidupan manusia– yang menjadi pegangan umat muslim saat ini dan seterusnya. Demikian dikatakan karena Al Quran dan hadist selalu fleksibel dan relevan dengan perkembangan zaman. Secara tegas Al Quran berkata untuk membenarkan dirinya : “Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf : 111). Kemudian Al Quran juga menjelaskan tentang sifat nabi Muhammad, tentang mengapa kita harus mengikuti seluruh perkataan maupun perbuatannya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik...” (QS. Al Ahzab : 21). Tidak hanya itu, kemudian literatur hadist mencakup semua hal mulai dari diskusi tentang penciptaan dunia, hirarki malaikat dan langit, pertanyaan tentang kehendak Allah SWT dan bagaimana Dia mengendalikan alam semesta, serta bagaimana kebebasan dan kewajiban saling menjalin dalam kehidupan manusia, hingga pertanyaan-pertanyaan tentang manusia, politik, ekonomi dan sosial, masalah sehari hari yang terjadi dengan keluarga, tetangga dan teman-teman.[1]

Umat muslim sebagai umat yang berpedoman kepada Al Quran dan hadist, merupakan umat yang memiliki karakter spesial dalam bertingkah dan berperilaku. Di tengah gempuran arus modernisasi, umat muslim mampu menyesuaikan diri sesuai kaidah keagamaan dan kaidah sosial, dua kaidah inilah yang nantinya menjadi dasar hubungan kita dengan Allah SWT dan hubungan kita dengan sesama.

Modernisasi adalah bentuk perubahan sosial. Teknologi semakin canggih, akses terhadap segala sesuatu menjadi semakin mudah, pergaulan semakin bebas dan yang paling mengenaskan adalah semua itu berkiblat ke dunia barat. Inilah bentuk perkembangan peradaban yang menuju ke arah yang negatif. Kini manusia tidak banyak dihadapkan oleh masalah-masalah keterbatasan ruang dan waktu untuk berinteraksi lagi karena teknologi telah banyak memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Tidak pula fasilitas untuk penunjang kehidupan yang minim karena telah banyak penemuan yang bermanfaat bagi manusia dewasa ini. Semua itu memberikan kemewahan bagi manusia. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kemerosotan moral hingga tingkat terendah yang melanda manusia saat ini menjadi ancaman yang tak terlihat. Manusia bisa saja bergelimang harta tapi tidak pernah puas dengan segala apa yang dimilikinya. Disini umat muslim kembali menjawab tantangan ini : “...bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah : 152). Ayat ini menunjukkan bahwa umat muslim diperintahkan supaya senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang Allah berikan. Sehingga tidak ada yang tamak dalam hal harta benda duniawi.

Meski demikian, kenyataan yang dihadapi bisa berbeda dengan apa yang diperintahkan oleh Al Quran dan hadist terhadap umat muslim. Deruan ombak modernisasi menjadi dominasi dalam kehidupan para umat muslim. Ketika tolak ukur benar dan salah ditentukan dengan apa yang kita sebut mayoritas, maka orang yang berpikiran sesuai dengan nilai dan norma agama akan dianggap minoritas, terkikis dan dianggap kolot. Padahal yang terjadi, ketika kebenaran merupakan suatu kondisi dimana seseorang berlaku sesuai dengan nilai dan norma yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya melalui Al Quran dan hadist, maka dunia ini akan terasa damai, tentram, aman dan sejahtera. Tidak seperti saat ini, dimana konflik di seluruh penjuru dunia merebak. Di timur tengah, seperti biasa, konflik Israel-Palestina menjadi agenda menahun. Di Asia, konflik perbatasan menjadi pemacu China untuk melakukan perluasan wilayah laut. Di Eropa, konflik Rusia dan Ukraina pun belum berakhir. Di Amerika, Amerika Serikat selalu berusaha tampil unjuk gigi dalam memperluas politik luar negerinya dan selalu bergabung dalam konflik-konflik di dunia.

Sampai saat ini, hal-hal mendasar yang menjadi pemicu konflik biasanya berkaitan dengan perebutan kekuasaan, wilayah, atau pula sentimen kelompok. Moralitas manusia-manusia yang menjalankan pemerintahan di negara masing-masing masih belum dapat diandalkan. Contohnya kelompok masyarakat di Libya yang tadinya bersatu, bersama-sama ingin melengserkan Presiden Gaddafi, setelah tujuan tersebut tercapai, kelompok-kelompok yang tadinya menyatu kini terpisah satu sama lain dan berperang memperebutkan kekuasaan. Tragis sekali melihat hancurnya sebuah bangsa karena moralitas orang-orangnya yang tidak baik. Padahal Islam tidak menghendaki demikian. Misalnya, umat muslim memang membenci kaum Yahudi, tapi apakah Islam mengajarkan untuk memusnahkan kaum tersebut? Tentu tidak, perang yang diemban oleh umat muslim pun memiliki kaidah-kaidah tertentu yang diatur dalam Al Quran dan hadist, misalnya tidak diperbolehkannya membunuh anak-anak atau wanita di medan perang. Sungguh mulia sekali ajaran Islam yang diajarkan kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Jika kita menilik kebelakang, gambaran masyarakat Arab jahiliyah pun memiliki moralitas yang buruk sebelum datangnya Islam. Dimana terdapat beberapa kelas masyarakat. Hubungan dengan keluarga bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga, sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Perzinahan dan pelacuran mewarnai setiap lapisan masyarakat. Sekian banyak laki-laki bisa mendatangi wanita yang dikehendakinya sebagai apa yang kita sebut wanita pelacur. Jika wanita pelacur ini hamil dan melahirkan anak, dia mengundang semua laki-laki yang pernah mengumpulinya. Setelah semua berkumpul, maka diadakanlah undian. Siapa yang namanya keluar dalam undian tersebut, maka laki-laki tersebutlah yang berhak mengambil dan mengakui anak tersebut.[2]

Kejadian-kejadian sepertinya hampir mirip dengan apa yang ada pada era modernisasi yang terjadi saat ini. Dimana pelacuran dihalalkan dengan menempatkan pelaku-pelaku pelacuran di sebuah lokalisasi. Kemudian, yang kaya kelas sosialnya tinggi dan yang miskin kelas sosialnya rendah. Ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin sangat terlihat ketika kapitalisme menjalar di dunia timur yang banyak dihuni oleh orang-orang muslim. Muslim selalu menengahi kejadian-kejadian tersebut dengan ajaran-ajaran yang mulia. Misalnya, yang kaya dan yang miskin itu berbeda kelas sosialnya, namun di mata Allah mereka semua sama. Lalu untuk membendung ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, umat muslim memiliki ajaran zakat. Inilah kemudian yang harus ditegakkan, yaitu nilai dan norma yang dianut oleh umat muslim.

Dalam bukunya A Young Muslim’s Guide to the Modern World, Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa :
Ada tiga kemungkinan reaksi kaum muslim yang dapat terlihat menyangkut kesadaran terhadap tantangan Barat dan keinginan untuk meresponnya. Yang pertama, selalu mencoba kembali kepada “kesucian” sejarah awal Islam berdasarkan ajaran Al Quran dan hadist. Kemungkinan kedua, disebutkan bahwa Islam harus dimodifikasi atau dimodernisir agar dapat mengakomodasikan dirinya menghadapi serangan Barat dengan pandangan dunia, filsafat dan ideologinya sendiri. Kemungkinan ketiga adalah bertahan sesuai dengan banyaknya hadist bahwa akan datang suatu hari ketika penindasan mengalahkan keadilan dan kebenaran Islam akan mengabur bersamaan datangnya Imam Mahdi dan akhirnya terjadi kiamat.

Ada tiga alternatif yang di tawarkan oleh Seyyed mengenai sikap yang harus diambil oleh seorang muslim dalam menghadapi dunia modern. Alternatif pertama yang diberikan akan merujuk pada dalil  yang kokoh untuk  menyiasati serangan ideologi isme-isme yang sering kita dengar dari barat, misalnya marxisme, kapitalisme dan sebagainya. Alternatif kedua merupakan sarana memodernisasikan Islam yang akan menuntun kita kepada kesesatan, hasilnya bukan dapat mengakomodasikan dengan serangan barat, akan tetapi malah muncul sebutan-sebutan semacam Islam Liberal dan semacamnya. Alternatif ketiga, memang benar telah ada prediksi yang demikian, namun muslim harus senantiasa berusaha untuk mengubah keadaan agar dunia menjadi  lebih baik.

Dari ketiga alternatif tersebut, yang paling relevan untuk diterapkan saat ini adalah alternatif yang pertama, dimana muslim kembali kepada Al Quran dan hadist yang mengatur segalanya. Dengan cara tersebut, seorang muslim dapat menjadi contoh yang baik bagi sesamanya. Pangeran Charles dari Inggris –yang kita kenal sebagai umat kristiani– pun memberikan komentar positif tentang Al Quran dan kehidupan. Dalam kuliah umum yang disampaikannya tanggal 10 Juni 2010 di Oxford Centre for Islamic Studies, ia mengatakan, “Dari yang saya ketahui tentang Al Quran, lagi dan lagi Al Quran menggambarkan alam dunia sebagai karya hasil kesatuan kebaikan.” Kemudian ia juga mengatakan bahwa Al Quran adalah kitab agung yang pernah dibuat. Ini menandakan bahwa umat selain muslim pun mengakui eksistensi dari Al Quran yang menjadi pedoman umat muslim.

Kemudian daripada itu, setelah membahas panjang lebar mengenai apa yang menjadi pedoman seorang muslim, karakter dan perilaku apa yang dimiliki, bagaimana cara menghadapi tantangan dunia modern bagi seorang muslim, selanjutnya kembali ditegaskan, bahwa hidup akan damai, tentram, aman dan sejahtera jika kita menganut semua sumber yang telah diturunkan oleh Allah kepada kita semua. Umat muslim hanya perlu menghindari semua yang dilarang-Nya dan menjalakankan seluruh perintah-Nya. Konsekuensinya, seluruh manusia di dunia ini akan memiliki pandangan bahwa muslim memiliki ajaran yang sempurna dalam menghadapi degradasi moral pada era modernisasi saat ini, dan tentunya menjadi panutan bagi umat lain dalam bertingkah dan berperilaku. Pada akhirnya, eksistensi peran seorang muslim menjadi sangat vital dan tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan di dunia ini. Jika kita semua butuh bukti bagaimana kita dapat menjadikan dunia lebih baik, maka upaya Nabi Muhammad SAW sudah cukup membuktikan bagaimana beliau mengubah kehidupan jahiliyah, memberikan ajaran dan contoh yang konkrit dalam memperbaiki moral menuju ke arah yang lebih baik. Cara yang paling ampuh dari semua itu adalah kembali kepada Al Quran dan hadist.

[1] Hasti Tarekat, Menjelajah Dunia Modern, Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1995), hal. 31
[2]  Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Al Kautsar, 1997),  hal. 31-32


Daftar Pustaka
1.      Al Quranul Karim
2.      Hossein Nasr, Seyyed. 1994. Menjelajah Dunia Modern, Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, Alih Bahasa : Hasti Tarekat, Bandung: Mizan
3.      Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 1997. Sirah Nabawiyah,  Alih Bahasa :  Kathur Suhardi, Jakarta: Al Kautsar
4.      Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
5.     Crawley, William.Can Religion Save The Planet‘, 10 Juni 2010,  <http://www.bbc.co.uk/blogs/legacy/ni/2010/06/can_religion_save_the_planet.html> [Diakses 31 Agustus 2014]

No comments

Powered by Blogger.