Tahun Ke-3 di Hubungan Internasional Unpad: KKN Ceria hingga Jadi Zombie



Setelah lama tidak muncul kelanjutan kisah kehidupan saya pasca terbitnya cerita tahun pertama dan tahun kedua kuliah di jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), saya akhirnya bertekad menyelesaikan catatan kelam 4 tahun perkuliahan saya. Dan inilah cerita tahun ketiga di HI FISIP Unpad.

Jadi, sudah ke mana saja selama menjadi mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Unpad menginjak tahun ketiga?

Sebagian mahasiswa ambis teladan HI pasti akan menjawabnya dengan percaya diri. Mungkin saja ada yang sudah sampai Eropa, Amerika, China, atau negeri ginseng Korea Selatan. Mahasiswa macam ini biasanya rajin jalan-jalan berkedok ikut Model United Nations (MUN) atau konferensi ke luar negeri.

Beda dengan mahasiswa macam saya. Perjalanan paling jauh sebagai mahasiswa HI hanya saya lakoni ke Ciamis, Jawa Barat. Itulah perjalanan yang dihelat di tahun ketiga kuliah Hubungan Internasional. Tepatnya di masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada transisi semester lima ke semester enam.

Setelah tertatih-tatih menjalani semester lima dengan ketidakjelasan di berbagai mata kuliah dan sempat mencatatkan nilai E di transkrip nilai, saya menganggap KKN sebagai ketidakjelasan lain yang mesti saya jalani. Pikir saya waktu itu, "Kenapa tidak ada program magang wajib saja yang bisa memberi pengalaman kerja?"

Baca juga: E di Semester 5

Liburan kuliah mesti hangus sebulan untuk KKN. Kampus juga tak memfasilitasi akomodasi sehingga duit harus keluar dari kocek sendiri. Belum lagi, tak tahu juga apa yang akan kami lakukan di desa tempat KKN nanti, gabut sebulan atau bakal aktif berkegiatan? Membayangkannya saja sudah kepalang menyebalkan.

Namun, setelah dijalani, bayangan-bayangan itu lamat-lamat hilang dari benak pikiran. Terjebak dengan 23 kawan beda fakultas dan jurusan di program kampus paksaan, membuat saya belajar arti kebersamaan.
Progam KKN belajar-mengajar di luar jam sekolah bersama anak-anak desa Purwadadi, Ciamis.
Minggu pertama, kami jalani dengan penjajakan. Mempelajari seluk beluk desa dan mengakrabkan diri dengan teman-teman. Kami membagi jadwal piket masak, mengelilingi desa, berkomunikasi dengan perangkat dan warga desa, hingga merencanakan kegiatan. Dari sini saya tahu, KKN tak akan segabut yang dibayangkan.

Minggu kedua, kami mulai mengeksekusi kegiatan hasil perencanaan. Kegiatan itu dibagi penanggungjawabnya per kelompok keilmuan. Mahasiswa Pertanian bikin kegiatan tanam-menanam. Mahasiswa Hukum membuat sosialisasi hukum dan keamanan bagi ketua RT dan RW setempat. Mahasiswa Farmasi menghelat sosialisasi kesehatan bagi ibu-ibu Posyandu. 

Sementara, Mahasiswa Komunikasi menggelar penyuluhan soal enkapsulasi dokumen bagi guru dan perangkat desa. Mahasiswa Teknologi dan Industri Pangan dan Ekonomi-Bisnis membuat desain produk makanan setempat. Mahasiswa Ilmu Budaya mengajari anak-anak membuat kesenian melipat kertas dari Jepang bernama Washi Ningyo.

Mahasiswa HI? Jangan bercanda, karena ilmu kami tidak terlalu relevan dengan kehidupan di desa, saya dan seorang mahasiswa HI yang kebetulan juga masuk di tim KKN ini, memutuskan untuk tergabung dengan mahasiswa rumpun FISIP yang bikin kegiatan belajar-mengajar di luar jam sekolah bagi anak-anak setempat. Hahaha.


Saya saat mengajari bocah-bocah SD hal-hal di luar nalar.
Minggu ketiga, kami masih berjibaku menyelesaikan kegiatan. Namun kami mulai santai dan betah menjalani aktivitas di sini. Kami mulai aktif berkegiatan di masjid juga, mengajari anak-anak mengaji. Padahal kegiatan itu tak masuk di program kerja, mungkin niatnya buat pencitraan saja. Wong salat subuh di masjid saja hanya sekali-dua kali.

Minggu keempat, waktunya hiburan. Main ke pantai di Pangandaran hingga bakar-bakar dalam acara makrab. Di malam sebelum kepulangan, kami semua membuat program senang-senang. Ada lomba main kartu, ajang penghargaan (awarding), hingga sharing session.

Kebetulan, meskipun di kampus notabene anak masjid, saya juara 1 lomba main poker. Belakangan skill saya main kartu ini bisa bikin bocah-bocah begajulan pergi ke masjid karena pernah taruhan kalau saya menang, pemain lain harus ikut salat magrib di masjid, dan ternyata menang betulan. 

Di ajang penghargaan KKN, saya menjadi pasangan tercocok dengan seorang cewek. Sebabnya, mungkin karena sering dicengin ke cewek rekan KKN itu. Padahal saya sih biasa saja sama dia, mungkin dianya yang suka kemudian curhat ke sahabatnya yang rekan KK juga lalu berujung menyebar isu dan wacana. Haha, geer betul saya.

Sebenarnya saya dapat 1 penghargaan lagi. Mungkin berkaitan dengan perilaku dan sikap saya yang serius ya. Tapi saya lupa nomenklatur penghargaan itu tepatnya apa.

Di malam terakhir KKN ini, semua perasaan tumpah ruah. Perasaan paling populer: tadinya enggan KKN, tapi kini tak ingin KKN berakhir. Bagi kalian mahasiswa yang habis KKN pasti punya perasaan semacam ini. 30 hari terjebak bersama di sebuah desa antah berantah akan membuat kalian belajar arti kekeluargaan, kepedulian, kepekaan, kesalingpengertian dan lain-lain.

Beruntung, teman-teman KKN saya tidak ada yang aneh-aneh. Semuanya tipikal mahasiswa soleh-solehah yang mengerti tata krama. Saya cukup senang karena hingga KKN berakhir tidak ada cerita asusila yang lekat dengan kehidupan kelam remaja-dewasa yang sudah ngebet kawin tapi tak punya modal dana dan tempat "berkelana". Tapi saya cukup heran, kok enggak ada yang cinlok ya di tim KKN saya?
Kegiatan KKN tanam-menanam di SLB.
Selain mendaratkan matkul KKN yang berjumlah 3 SKS dengan mulus (dapat nilai A), KKN juga menjadi babak baru dalam dunia tulis menulis saya. Nah, program mahasiswa Pertanian tentang tanam-menanam di sebuah Sekolah Luar Biasa di desa KKN kami itu berhasil saya dokumentasikan dalam tulisan dan dimuat di Harian Kompas (Kompas Cetak). Kegiatan iseng itu belakangan saya ketahui, berbuah manis di masa yang akan datang.

Saya sangat bangga dengan pencapaian itu. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya saya berhasil menembuskan tulisan di surat kabar nomor satu di Indonesia. Meskipun "cuma" dimuat di halaman remaja (Kompas Kampus) yang terbit seminggu sekali, saya merasa mengungguli sejumlah mahasiswa jurnalistik yang kala itu kebanyakan hanya mengirimkan tulisan KKN-nya ke surat kabar regional Jawa Barat, Pikiran Rakyat.


Banyak kenangan di KKN yang tak bisa tergambar dalam beberapa kata saja. Saya bahkan niat sekali membuat jurnal KKN yang saya simpan di laptop. Panjangnya sampai 4.800 kata atau sekitar 13 halaman. Isinya, seputar perjalanan kami ber-24 menjalani KKN di Ciamis. Padahal kalau buat tugas kuliah jarang-jarang sepanjang itu. Maklum, tugas kuliah kadang dibuat beberapa jam sebelum deadline, sih.


Perjalanan menjalani KKN ini tak banyak berhubungan dengan studi Hubungan Internasional. Dari sini saya memahami kalau ilmu ini sebenarnya tidak terlalu membumi. Atau sebenarnya saya yang kurang bisa membumikannya? Ah, entahlah. Yang jelas di sini saya lebih banyak menulis dan wawancara warga, seperti latihan menjadi jurnalis di sebuah desa.

Kepulangan dari KKN lantas membawa saya kembali ke rutinitas sebelumnya, yakni perkuliahan kelas yang makin tidak karuan menjemukannya. Apalagi setelah kuliah, hawa KKN masih terasa. Pulang KKN, teman sejurusan bahkan ada yang sudah jalan membawa pacar barunya. Belakangan saya tahu, hubungan mereka awet meskipun sudah kerja dan keduanya menjalani LDR Bandung-Samarinda. Selamat ya! (Kalau sudah putus bilang-bilang, siapa tahu saya berminat melanjutkannya haha).

Sebenarnya di semester 7 ada mata kuliah menyenangkan yang berhubungan dengan passion saya di bidang jurnalistik dan tulis menulis. Mata kuliah itu adalah Komunikasi dan Media Global (Komedglob) yang diampu oleh Teh Aliyuna Pratisti dan Pak Chandra Purnama.

Di matkul tersebut, saya belajar bagaimana media internasional punya peran untuk membangun narasi yang bisa mengubah perpolitikan dunia. Saya jadi tahu kalau praktik embedded journalism yang ternyata bisa jadi alat propaganda dalam perang. Ada juga permainan angle dan framing dalam perang yang bisa mengubah dukungan terhadap suatu negara.

Baca juga: Tahun Kedua di Hubungan Internasional Unpad, Huff

Walaupun mata kuliah Komedglob kebanyakan membahas teori, saya senang karena beberapa contoh yang diberikan dosen cukup kontekstual dalam kasus-kasus hubungan internasional. Saya juga kenal dengan istilah post-truth dari matkul ini. Saya pun langsung terpikir membuat tugas akhir skripsi bertemakan mata kuliah ini.

Meski demikian, ada juga mata kuliah yang memang terbilang melelahkan di semester ini. Misalnya, mata kuliah Hukum Humaniter Internasional. Di sini mahasiswa mesti merapal pasal demi pasal hampir semua hukum tentang peperangan dari Konvensi Jenewa 1864, Konvensi Den Haag 1907, hingga Konvensi Jenewa 1949 (I-IV). Merapal pasal semacam ini memang perlu untuk mengenal dan memahami konteks hukum internasional. Dalam beberapa kasus hubungan antarnegara, kita bisa merujuk hukum kalau memang mengenal pasal tersebut dan sudah pernah kita pelajari sebelumnya.

Semua konvensi yang ditugaskan untuk dibahas di kelas itu mesti dicetak dalam bentuk dokumen. Karena dokumennya cukup banyak, rasanya malas mengeluarkan banyak duit untuk itu. Melihat kesempatan dalam kesempitan kala itu, saya yang sudah punya seluruh dokumen konvensi tersebut mengajukan diri untuk mencetaknya bagi teman-teman di kelas. Resmilah saya menjual jasa cetak dan fotokopi. Lumayan, keuntungannya bisa menutupi biaya fotokopi dokumen untuk saya sendiri.



Selain Hukum Humaniter, ada juga Teori Hubungan Internasional yang sempat bikin saya terjaga dua hari berturut-turut. Itu karena tugas akhir mata kuliah ini mewajibkan mahasiswa membuat prakarya kerangka pemikiran dalam sebuah karton. Sumbernya merupakan buku ngawur yang ditulis Daniel W. Drezner berjudul Theories of International Politics and Zombies.

Saya baru tahu kalau ada literatur HI yang sebercanda karya Drezner. Di situ ia memaparkan analisis setiap teori HI dengan studi kasus yang sifatnya hipotetikal, yakni bagaimana dunia bereaksi sesuai teori HI jika ada serangan zombie. Jadi misalnya ada zombie di dunia, teori Liberal berasumsi manusia akan hidup berdampingan dan bekerja sama dengannya. Sementara, teori konstruktivis mungkin menganggap perilaku zombie (misal: gigit dan makan orang) adalah hal-hal yang dibuat oleh manusia, sehingga jika ingin membuat zombie beradab manusia sebenarnya bisa saja mengajarinya. Yang ingin bukunya bisa download di sini.

Dari buku Drezner saya belajar satu hal: menjadi penstudi HI harus pandai mengkhayal. Meskipun apa yang dikhayalkan kadang-kadang tidak kesampaian atau tidak relevan sama sekali. Seperti kamu mengkhayalkan gebetanmu, eaaa...

Zombies are what humans make of them.
 - Daniel W. Drezner, Theories of International Politics and Zombies

Karena prakarya ini mesti dipresentasikan, mau tidak mau saya harus memahami isi bukunya. Kira-kira butuh 2-3 hari menamatkan buku yang tebalnya 169 halaman versi epub ini. Celakanya, saya mengerjakan prakarya kerangka pikirannya H-2, padahal butuh waktu lebih lama dari itu. Alhasil, di kelas pun sebelum nama dipanggil untuk presentasi, saya masih sibuk menempel-nempeli karton untuk membuat kerangka pemikiran buku tersebut.

Beruntung, meski agak ngantuk-ngantuk, saya menyelesaikan prakarya tersebut saat nama dipanggil. Saya berjalan sempoyongan ke arah asisten dosen yang menguji saya. Saat ditanya, saya pun menjawab apa saja yang terlintas di otak. Ada yang benar, ada yang dianggap kurang tepat. Tapi peduli apa, karena tugas ini saya malah jadi zombie betulan lantaran tak tidur dua hari berturut-turut. Yang penting matkul angker satu ini bisa terlewati.

Beginilah kira-kira rupa saya (kanan) dan teman-teman di jurusan HI saat jadi zombie.
Rekan saya, Uga Yugareksa, menjadi yang tidak beruntung di tugas ini. Ia yang berada di absensi awal mesti gugur lantaran saat dipanggil presentasi, prakaryanya belum jadi. Padahal, di malam sebelumnya, kami mengerjakan tugas ini barengan di kosan saya. Seandainya ada di absensi atau nomor urut 41 seperti saya, mungkin saja dia bisa membereskan tugasnya.

Meski beruntung, kejadian tidak tidur selama 2 hari karena tugas zombie ini berbuntut buruk ke citra saya di organisasi. Sebelumnya, pada malam setelah ujian tes zombie, saya sudah mengagendakan rapat dengan Tim Redaksi Pers Mahasiswa Unpad, Warta Kema (WK). Sebagai pemred, saya sempat mewanti-wanti para redaktur untuk datang semua ke rapat ini lantaran sejak kepengurusan terbentuk, belum pernah rapat lengkap.

Baca juga: FMHI dan Sebuah Kisah

Eh, ketika tempat sudah dipesan dan semua redaktur yang jumlahnya 6 orang itu bisa hadir, malah saya yang absen malam itu. Paginya, saya menerima banyak chat dan misscall dari Hani, Redaktur Pelaksana WK, "Agaton di mana?" Saya bingung menjawab apa, lalu refleks bilang tiba-tiba sakit semalam dan alhamdulillah mereka memaklumi. Padahal, dari sore semenjak pulang kuliah habis tes zombie, saya ketiduran sampai pagi lantaran kelelahan dan tak enak badan (ini juga termasuk sakit kan?).

Dari kiri ke kanan: Pemred, Kadiv Desain, Pemimpin Umum Warta Kema 2016-2017.
Mungkin dari semua pemred di persma kampus, saya ini termasuk yang paling brengsek kali ya, hahaha. Ke depan, saya kena karma sempat kedapatan redaktur yang mirip saya di masa lalu. Menyebalkan dan agak-agak brengsek juga.

Sekian, sampai jumpa di kisah tahun terakhir kuliah di Hubungan Internasional FISIP Unpad selanjutnya!

No comments

Powered by Blogger.