FMHI dan Sebuah Kisah



Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami

Begitulah gemuruh suara mahasiswa di sesi kelas terakhir mata kuliah FMHI: menyanyikan lagu “Padamu Negeri”. Sekilas tak ada hubungannya antara lagu tersebut dengan mata kuliah filsafat yang satu ini. Namun saya rasa, sang dosen mata kuliah ini sedang ingin menanamkan nilai bahwa kelak, ketika menjadi pejabat (atau jadi apapun), jangan pernah mahasiswa menjadi antek yahudi menggadaikan negerinya demi kepentingan-kepentingan pribadinya. Penanaman nilai inilah yang menjadi topik pada sesi terakhir perkuliahan itu.

***

Semester ini adalah semester terakhir perkuliahan kelas. Inginnya sih santai-santai saja. Menikmati tingkat akhir di kampus dengan menjadi mahasiswa kuliah-pulang-kuliah-pulang (kupu-kupu). Tugas kuliah tidak perlu diambil pusing: TINGGAL DIKERJAKAN, LALU BERES. Namun pada kenyataanya, angan-angan itu kandas. Bagaimanapun realitas tampak lebih rumit dibanding menyebut empat kata tersebut.

Semuanya bermula ketika mata kuliah Filsafat dan Metodologi Hubungan Internasional (atau biasa disingkat FMHI) menyerang. Dosen mata kuliah ini, RMT (baca: rumit), terkenal dalam memberikan tugas-tugas seabrek. Preseden pun berbicara kalau RMT juga suka membuat tugas-tugas berbasis kelompok dengan dipandu tutor-tutor dari mahasiswa senior. Selain itu, ia terkenal rapi dalam menyusun manajemen kelas yang terstruktur: biasanya RMT memberi tanggung jawab lebih kepada masing-masing ketua kelompok yang dibentuk dalam kelas.

Menurut kabar burung, jika misalnya pada mata kuliah yang diajar oleh RMT sebelumnya (Filsafat Ilmu dan Hubungan Internasional di Amerika) seorang mahasiswa sudah dimandati sebagai ketua kelompok, maka mahasiswa tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menjadi ketua kelompok (kapok) lagi di mata kuliah FMHI ini. Entah siapa sebenarnya yang membikin-bikin kabar burung ini. Saya yang sudah menjadi kapok di matkul sebelumnya sih tenang-tenang saja, meskipun tetap jaga-jaga agar tidak ada upaya konspirasi yang memaksa saya menjadi kapok. Sampai di situ, rencana ‘kuliah santai’ di semester ini berjalan lancar.

Untuk jaga-jaga agar tidak dipaksa menjadi ketua kelompok, awalnya saya jual mahal. Biarkan saja mahasiswa lain yang mengajak saya bergabung ke kelompoknya. Ini ditujukan supaya ketika diajak bergabung, saya lantas mengajukan syarat bahwa saya mau bergabung jika dan hanya jika tidak dalam mandat menjadi ketua kelompok. HAHAHA (ketawa jahat).

Benar saja, seorang mahasiswa Batak-Sunda, Dhatu, mau saja saya akal-akali semacam ini. Saya sudah menyangka dia adalah mahasiswa yang akan mengajak saya untuk bergabung membentuk kelompok. Soalnya, di semester-semester sebelumnya, saya pernah membuat semacam aliansi longgar dengan dia bahwa di seluruh matkul yang membutuhkan kelompok kami akan bergabung membentuk kelompok bersama. Membentuk kelompok bersama Dhatu ini sudah teruji unggul dalam banyak hal. Apalagi dalam matkul ini Dhatu memanggil masuk juga anggota ‘Geng Makan’ Chez, Dhyla, Vinka, dan Ghea yang juga sebelum-sebelumnya sering berkelompok bersama kami. Ditambah pula sobat saya Uga yang belakangan saat mata kuliah Bu Junita sempat bikin laman Facebook bernama ‘Ug's Daily’ <- duh alay maneh, Ga.

Jadi, pada semester ini, RMT memberikan topik militer untuk dijadikan bahasan selama perkuliahan. Kelas dibagi menjadi 10 kelompok di mana setiap kelompok menghirau militer dan hubungannya dengan subtopik yang ditentukan menurut kesepakatan kelas serta pertimbangan RMT. Setelah tarik ulur urat leher, kelompok tersebut terbagi atas militer dan... : budaya; diplomasi; ekonomi; filsafat; gender; hukum; komunikasi; lingkungan; politik; sipil.

Pembagian kelompok di atas merupakan hasil dari revisi subtopik yang telah dipertimbangkan RMT. Di minggu perkuliahan pertama dan kedua, saya sudah santai masuk ke kelompok Militer dan Hukum bersama Dhatu. Entah kemudian semesta berkonspirasi, di minggu ketiga atau keempat, gara-gara cerapan mata kuliah sejumlah kelompok yang hanya berisi satu atau dua lembar, RMT marah-marah. Hingga pada akhirnya kemarahan tersebut berujung pada keputusan sepihak dan tak bisa digugat dari RMT: menjadikan saya sebagai koordinator kelas dan membuat saya pindah ke kelompok Militer dan Filsafat. Cerapan dan kemarahan RMT barangkali menjadi sebuah intervening causal process dari kandasnya saya untuk kuliah santai di semester ini.

Di kelompok Militer dan Filsafat, saya bertemu dengan rekan lama dalam berkelompok yaitu Muhammad Nadiul Kaffi sebagai ketua. Seingat saya, saya sudah pernah berkelompok dengannya sejak matkul Demokrasi dan HAM (Demham; smt. 2) dan Hubungan Internasional di Amerika (HIA; smt. 4). Dalam kedua matkul tersebut ada-ada saja momen aneh yang berkesan. Misalnya, dalam membuat makalah tugas Demham, kita sudah tiga kali mengganti tempat mengerjakan tugas dan berhari-hari bertemu, namun perdebatan tentang topik apa yang akan dibahas belum juga disepakati. Pada akhirnya, karena sudah mepet, proses perdebatan penentuan topik itulah yang dijadikan sebagai topik bahasan tugas kelompok kami–karena topik yang ditugaskan dosen adalah soal demokrasi deliberatif, jadi perdebatan mengenai penentuan topik bahasan bisa dong dijadikan topik bahasan dalam tugas ini. Selanjutnya dalam matkul HIA, kerjaan kami jika kerja kelompok adalah menggunakan satu laptop dan mengetik tugas bergiliran. Porsi antara mengobrol, berdebat, dan bercanda dengan mengerjakan tugas adalah 80 berbanding 20, kalian pasti tahu mana yang lebih banyak porsinya. Sampai-sampai pada saat mencetak tugas pun kita keteteran karena di tempat fotocopy, eh ternyata sang pencetak tugas, Kaffi, tidak membawa uang yang cukup, hadeuh.

Dari preseden berkelompok dengan Kaffi, saya bisa menyimpulkan kalau berkelompok dengan dia saya tetap bisa “kuliah santai”. Ya, berkelompok dengan dia memang selalu santai, banyak haha-hihi, bercanda, melakukan perundungan antarsesama anggota kelompok, tugas pun tak kunjung beres H-1. Meski begitu, saya tahu satu fakta yang sudah teruji kebenarannya dan belum pernah terfalsifikasi selama saya dan dia berada satu kelompok yaitu bahwa tugas-tugas yang kami kerjakan selalu beres dengan baik di waktu yang telah ditentukan. No matter what happened before the deadline, we are going to finish our task. Inilah yang terjadi juga di dalam perkuliahan FMHI.

Kami pernah mengerjakan tugas saat dinihari di mana saya dan Kaffi menunggu sejumlah anggota kelompok yang belum mengumpulkan bagian pekerjaannya. Namun, akhirnya tugas tersebut beres juga. Anggota kami juga sempat hilang-hilangan tidak masuk ke kelas lebih dari batas bolos yang diberikan RMT. Namun dengan upaya komunikasi kelompok dan tutor serta usaha apologi kepada RMT akhirnya mahasiswa tersebut berada dalam lingkaran aman. Upaya ini penting, pasalnya RMT sempat mengancam akan mengeluarkan mahasiswa yang membolos melebihi batas dari kelasnya.

Sayang seribu sayang, kelompok Militer dan Filsafat sempat tercoreng namanya gara-gara saya dan Kaffi yang tidak jeli dalam membaca RMT dan membaca karya kelompok kami sendiri. Sebelum UTS, seperti biasa RMT meminta semua mahasiswa membikin soal dan jawaban untuk kemudian disetor kepada tutor sebagai bahan UTS. Ada dua soal yang harus disetor oleh setiap mahasiswa. Kebetulan satu mahasiswa dari kelompok kami menyetor soal mengenai sejarah yang mengutip sumber dari penstudi sejarawan murni. Eh, ladalah kok soal tersebut ternyata terpilih sebagai soal UTS. Kira-kira soal tersebut menyebut nama Ismaun dan Sjamsudin sebagai penstudi sejarah yang menyatakan suatu materi kesejarahan. Gara-gara kedua nama itu muncul di soal, RMT berang.

“Masa kalian ngutip sumber, siapa itu, Ismaun, siap lagi satunya, Sjamsudin?” Kata RMT di bawah podium kelas B.301 sore itu.

Keberangan RMT ini, bukannya disesali dan direnungi, malah diikuti oleh gelak tawa dari mahasiswa yang mendengar nama Ismaun dan Sjamsudin disebut. Mungkin beberapa mahasiswa tahu siapa gerangan yang membikin soal tersebut. Jujur saja saya tidak mengetahui siapa yang membikin soal itu, tapi saya tahu bahwa soal itu dibuat oleh anggota kelompok kami. Sebabnya, sebelumnya kami sempat membagi-bagi hasil tugas yang sudah dikolektifkan bersama satu kelas dan melihat bahwa nama Ismaun dan Sjamsudin berada dalam kelompok soal yang dibuat oleh anggota kelompok kami. Tak ayal kalau keberangan RMT berubah menjadi ledakan kemarahan.

RMT mempertanyakan kewibawaan studi HI yang mau ditaruh di mana kalau kita saja mengutip dari sumber penstudi di disiplin lain. Masih mending kalau yang dikutip adalah sumber luar (internasional), lah ini sumber lokal (dalam negeri) pula. RMT kemudian menceritakan wibawa (pen)studi HI pada zaman dahulu dalam sebuah kisah. Katanya, penstudi HI di suatu konferensi bisa bicara panjang lebar soal sejarah melebihi penstudi sejarah itu sendiri, sampai-sampai ada sejarawan yang protes. “Sejak bila Tuan adalah penstudi sejarah?” kata RMT sambil menengadahkan tangan ke depan seolah-olah memeragakan protes sejawaran tersebut kepada penstudi HI yang sedang bicara soal sejarah.

Kemarahan RMT ini menjadi bahan perundungan terhadap seorang mahasiswa yang membikin soal tersebut. Saya yang ikut dimarahi habis-habisan karena dianggap menjadi koordinator kelas tak becus pun sore itu hanya bisa bersabar sambil melongo. Untung saja saya sedang puasa sore itu, jadi agak tenang. Manajemen kemarahan dan emosi sangat penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diiinginkan dalam menghadapi kelas ini.

Demi menghadapi situasi tegang di hari Senin siang-sore di mana mata kuliah FMHI dihelat, mahasiswa angkatan 2014 HI biasa curhat di Twitter. Manajemen amarah mahasiswa dan keluh kesah biasa tertumpah ruah di sana. Berikut sejumlah cuitan yang biasa dipos oleh mahasiswa yang hendak atau telah menghadapi mata kuliah FMHI di hari Senin.

Minggu depan tenang karena daftar tugas FMHI sudah dikerjakan semua. Eh, ternyata...


Sjamsudin dan Ismaun, dicari ke sumber suara, kalian akan dihakimi massa HI 2014.
Akhirnya matkul ini selesai juga.

Salah satu tipikal tweet mahasiswa yang sudah melalui matkul FMHI: skeptis terhadap tweet junior yang bicara soal keilmuan HI. Belum ikut matkul FMHI = Belum ngerti HI.

Bundel
Sebagai koordinator kelas, di akhir perkuliahan saya kedapatan amanah dari RMT untuk membikin bundel yang berisi tugas-tugas mata kuliah FMHI semua mahasiswa selama satu semester. Tugas ini mulia tapi melelahkan. Saya harus mengumpulkan seluruh tugas yang tercecer di masing-masing individu untuk diorganisir oleh ketua kelompok. Dari setoran kolektif ketua kelompok itulah kemudian tugas saya cek kembali format dan kontennya untuk diselaraskan. Proses penyelarasan ini butuh waktu tiga hari sebelum kemudian dicetak.
 
Proses pembundelan tugas ini penting, pasalnya RMT mengancam tidak akan mengeluarkan nilai kalau bundel ini tidak diserahkan sebelum tenggat yang diberikannya. RMT sempat kecewa dengan angkatan sebelumnya yang gagal menyetorkan bundel kepada RMT sebagai bentuk pertanggungjawaban perkuliahan selama satu semester. Wanti-wanti dari RMT inilah yang menambah dorongan untuk menyetorkan bundel dengan baik dan tepat pada waktunya.
Singkat cerita seluruh dokumen sudah selesai diselaraskan pada suatu malam. Dari siangnya, Kaffi menawarkan bantuan mengantar menggunakan kendaraan dalam mencetak dokumen bakal bundel mata kuliah ini. Thank God, saya tidak bisa membayangkan harus angkat-angkat bundel, yang tampaknya bakal berkilo-kilogram beratnya, dari tempat fotocopy. Malam itu kami mencetak dokumen bundel di Copa. Beres mencetak dokumen, saya dan Kaffi kemudian menutup malam dengan pergi ke warung remang-remang dan pijat plus-plus kopi depan Jatinangor Town Square (Jatos) untuk melepas penat sambil bercerita soal isu-isu strategis (halah wong pada kenyataannya cuma cerita-cerita soal keluarga saja masa mau dibilang isu strategis, Ton, Ton).

Di warkop, muncul kembali suatu ide yang sebelumnya sempat kami urung realisasikan, yaitu menambahkan bagian pada Kata Pengantar yang bersifat menghiba kepada RMT. Bagian itu berisi puisi Sapardi Djoko Damono yang sudah dimodifikasi sesuai dengan konten bundel yang bicara soal militer. Berikut puisinya:

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali lembaran-lembaran yang tak terkirakan jumlahnya dalam sehimpun bundel yang telah dikumpulkannya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan lembar kertas yang susun-bersusun dan timpa-menimpa dengan rapi di sehimpun bundel yang sudah satu semester lamanya dikumpulkan dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri; oleh kesunyiannya sendiri; oleh ketabahannya sendiri; oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri; oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri; oleh kerinduannya sendiri; oleh penghayatannya sendiri; tentang hubungan-hubungan pelik antara militer dan sektor-sektor kehidupan yang tinggal di sebuah ruangan abstraksi konsep-konsep, metodologi, teori, pada mata kuliah FMHI. Bagaimana mungkin?
Ide ini sempat urung direalisasikan karena khawatir RMT membaca lalu tersungging, eh, tersinggung karena belum juga dilihat hasil bundelnya masa saya sebagai penyusunnya sudah menghiba. Ya, bayangkan saja, masa bundel setebal ini hendak diurai kembali minta direvisi? Hehe.

Sejujurnya mata kuliah ini adalah mata kuliah paling berkesan. Selain karena materinya yang advance dan mindblowing –saya bisa bilang kalau saja saya mendapat mata kuliah ini di semester 1 atau 2 kuliah, ada kemungkinan saya akan ikut SBMPTN lagi karena tahu kecacatan ilmu studi HI– dosen mata kuliah ini juga banyak menanamkan nilai-nilai yang jarang sekali saya temukan dalam gaya mengajar dosen lain. Lebih uniknya lagi, nilai-nilai itu tidak bisa saya tangkap secara kasap mata. Seringkali saya baru dapat hikmah mengenai suatu sikap sang dosen justru ketika saya menggali lebih dalam melalui pendekatan personal kepadanya <- bukan menjilat lho, Pak. Saya tidak akan menceritakan panjang lebar soal ini karena pengalaman ini saya anggap eksklusif dan mahal untuk didapatkan.

Foto Kelompok Militer dan Filsafat (dari kanan): saya, Monita, Barkhi, Kaffi, RMT, Rifqi, Jure, dan Ismaun KH. Tedi
Yawis lah, segini saja, sudah sampai 2000 kata (bikin tugas saja kadang-kadang tidak sampai sepanjang ini). Mohon maaf kalau ada kata atau konten yang tak berkenan untuk ditampilkan. Bilang saja kepada saya jika ada suatu bagian yang ingin dihapus.

Tertanda,
Ismaun
Hasil gambar untuk ismaun sejarah

1 comment:

  1. Saya senang membaca ini menjadi bahagian dalam nostalgia hari ini. Terima kasih

    ReplyDelete

Powered by Blogger.