Melawan Terorisme dengan Cinta



Tulisan ini adalah versi asli dari yang dimuat dalam Koran Sindo di sini.

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh serangan sekelompok teroris yang menyerang Kota Paris, Ibukota Perancis tepatnya pada hari Jumat, 13 November 2015. Serangan tersebut menewaskan tidak kurang dari 132 orang masyarakat sipil. Kejadian ini, sekali lagi menjadi duka bagi kemanusiaan maupun bagi Islam itu sendiri.

 Seorang pria muslim di Paris mengangkat papan bertuliskan 'Saya seorang muslim. Saya bukanlah teroris.'
foto: http://edition.cnn.com/2015/11/19/europe/paris-attacks-at-a-glance/

Serangan yang diklaim oleh Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) tersebut ditengarai karena kebijakan negara Perancis yang ikut dalam koalisi Amerika Serikat melakukan serangan terhadap basis kekuatan NIIS di Suriah. Bahkan menurut salah satu saksi, seorang teroris yang melakukan penyanderaan di Paris menyerukan,”Ini untuk Suriah” sebelum menembakan senapan Kalashnikov ke para sandera.

Aksi teror yang dilakukan oleh teroris NIIS tersebut memiliki motif politik. Logika terorisme ialah bagaimana sebuah kekuatan kecil bisa memberikan perlawanan berarti kepada kekuatan besar. Dalam hal ini kekuatan kecil dinisbatkan kepada kelompok-kelompok teroris dan kekuatan besar dinisbatkan pada negara-negara yang memerangi terorisme. 

Oleh karenanya, para teroris ini mencoba menyerang target-target yang bersifat simbolik ketimbang berperang secara konvensional. Karena para teroris ini sesungguhnya mengetahui bahwa kekuatan mereka tidaklah sebanding dengan lawan-lawan mereka. Harapannya, dengan menyerang target simbolik, tujuan politik mereka dapat tersampaikan yaitu merubah pola kebijakan negara-negara besar agar tidak macam-macam dengan mereka.

Preseden sejarah mengajarkan bahwa perang melawan terorisme pasca kejadian 9/11 dengan aksi militeristik saja tidak efektif. Apa yang dilakukan Presiden Bush junior dengan menginvasi Irak dan Afganistan setelah itu malah memunculkan bibit-bibit teroris yang lebih banyak. Pasalnya kebijakan tersebut membuat lebih banyak korban sipil tewas ketimbang akibat dari tindak terorisme itu sendiri. Implikasinya, orang-orang malah semakin bersimpati dengan kelompok-kelompok teroris dan antipati terhadap negara-negara yang memerangi terorisme.

Terorisme sejatinya ialah ideologi. Walaupun gerakan hasil implementasi ideologi terorisme dibasmi. Ia sejatinya tetap hidup karena ada dalam pikiran masing-masing. Apa yang sejatinya perlu dilakukan ialah melemahkan ideologi tersebut dengan usapan cinta dan pemahaman. 

Pasca serangan di Paris, banyak timbul kebencian terhadap muslim. Misalnya di Inggris, Al Jazeera (19/11/2015) melansir temuan Komisi Hak Asasi Manusia Islami (IHRC) yang melaporkan bahwa umat muslim di Inggris merasa menjadi target (kebencian) oleh media dan institusi politik. Tindak kebencian warga Inggris mayoritas terhadap muslim seperti itulah yang kemudian bisa menjadi penyebab terorisme muncul lebih banyak.

Kesimpulannya, kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan saja. Perlu strategi baru untuk memerangi terorisme hingga ke akar pikirannya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama umat manusia. 

Tragedi di Paris bukanlah sebuah ironi agama melainkan ironi kemanusiaan. Agamanya tidak salah, melainkan subjeknyalah yang menyalahgunakannya. Oleh karenanya, pemahaman terhadap cara beragama yang benar juga perlu diberikan. Upaya preventif yang demikian lebih efektif sebagai wujud perlawanan terhadap ideologi terorisme.

No comments

Powered by Blogger.