Menertawakan Ironi Hidup


Ironi hidup itu muncul begitu saja. Sesederhana ketika rendang kesukaanmu tiba-tiba dicampur oleh daging masakan nenek yang rasanya tidak enak. Padahal tak ada seorang pun yang meminta pada nenekmu untuk mencampurkannya.

Mau marah tak mungkin, kan niat nenekmu baik, susah-payah membuatkanmu masakan agar kamu bisa mencicipinya. Mau bersedih juga tidak akan bisa mengubah apa apa. Lebih baik kamu berusaha: pisahkan kedua masakan tersebut sebelum tercampur. Namun ketika olahan daging yang ditaruh di mangkuk yang sama itu hendak kamu pisahkan, ternyata tak bisa. Apalah daya, kuah dua masakan sudah menyatu jadi hibrida.

Kamu jadi tak selera makan masakan yang tadinya sangat kau sukai. Peluang kenikmatan dalam hidupmu sedikit terenggut. Namun soal apakah kebahagiaan hidupmu jadi sedikit terenggut atau tidak itu soal lain. Tergantung pada sikap hatimu.

Ketika kejadian campur-mencampur masakan itu terjadi esok tadi, aku memilih tertawa. Terbahak-bahak malah. Tertawa karena ironi hidup itu bisa muncul sesederhana itu. Karena bagaimanapun juga sebagai manusia biasa, kita tidak bisa apa-apa menghadapinya.

Pencegahan dan antisipasi apa yang hendak dilakukan? Wong tiba-tiba kedua masakan itu dicampur begitu saja tanpa ada yang meminta. Aku heran saja, kok bisa begitu lho? Tapi ya barangkali sudah takdirnya kedua masakan itu bercampur dan bukan rezekiku untuk memakannya dengan rasa enak yang sama.

Tampaknya memang begitu. Semua ironi dalam hidup sudah by design. Ironi itu bagaikan musibah yang tak kau harapkan tapi, mau bagaimanapun usahamu untuk menghindarinya, pasti akan datang juga.

Sakit di saat yang tak tepat, ban kendaraan bocor di saat kamu hendak bertemu dengan orang penting, sandal/sepatu hilang di masjid, gagal masuk kerja walau semua tes sudah kau lewati dengan ok, atau gagal masuk universitas impian walau saat SMA memiliki prestasi sejibun. Dan semua ironi-ironi lainnya.

Bagi kita, sebagian ironi terasa tragis. Terasa memilukan. Terasa seperti isi kehidupan kita tertimpa sial semata. Tapi kita bisa apa? Wong mungkin kejadiannya sudah semestinya seperti itu.

Daripada nelangsa, lebih baik tertawakan saja. Toh, ironi itu lucu. Tak kau harapkan tapi datang juga. Mungkin besok-besok kau beri saja undangan si ironi itu, supaya kalau datang kau bisa menyambutnya dengan tawa. Hehe-hehe.

No comments

Powered by Blogger.