Meneladani Guru Ketuhanan dan Persatuan

Hari ini (25/11/2016), pada setiap tahunnya diperingati Hari Guru Nasional. Melalui sejarah panjang, perjuangan guru-guru di Indonesia kemudian diapresiasi melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 yang menetapkan penanggalan spesial tersebut. Usaha keras dalam mendidik tanpa pamrih dan pengharapan balas budi, lantas membuat para guru dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Namun tahukah kita, ada satu guru yang memiliki tanda jasa Pahlawan Nasional. Beliau dilahirkan bertepatan dengan tanggal di hari kemarin (24/11/2016) pada 126 tahun yang lalu. Tanda jasa diberikan padanya oleh Presiden Joko Widodo pada 5 November 2015, sekitar 61 tahun setelah wafatnya pahlawan tersebut.

Ialah Ki Bagus Hadikusumo, seorang “guru” ketuhanan dan persatuan. Secara formal, Ki Bagus sebenarnya bukanlah guru seperti yang dikenal orang kebanyakan –memberikan ilmu melalui pengajaran di kelas. Akan tetapi lebih dari itu, beliau adalah guru yang mengajari kita melalui teladan. Beliau memberikan hikmah bagaimana Indonesia bisa berdiri dengan landasan moral dan bersatu di atas kemajemukan.

Ingat saja bagaimana Ki Bagus sampai hati membujuk Presiden Soekarno untuk meletakkan aspek Ketuhanan pada awal rancangan dasar negara. Awalnya Bung Karno mengajukan rancangan yang mana letak aspek Ketuhanan berada pada urutan ke-5 dasar negara. Merasa keberatan dengan usulan tersebut, Ki Bagus lalu “melobi” Bung Karno secara alot. Sampai pada suatu waktu, Bung Karno pun luluh hingga menangis karena Ki Bagus begitu memperhatikan bagaimana seharusnya letak landasan moral berada di urutan atas dasar negara, dan landasan mengenai hal yang sifatnya politik barulah mengikuti di bawahnya. 

Setelah kejadian itu, sidang BPUPKI sepakat menghasilkan Piagam Jakarta. Namun pasca kesepakatan itu, ada hal yang menjadi keberatan pihak katolik dan kristen tentang rancangan dasar negara sila pertama yang terbilang “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Bung Hatta lantas melemparkan mosi penghapusan sila pertama Piagam Jakarta di forum PPKI yang dihelat setelahnya. Ki Bagus adalah satu-satunya perwakilan islam yang paling alot dalam menentang penghapusan tujuh kata tersebut. Pasalnya kesepakatan mengenai rancangan dasar negara telah susah payah dimufakatkan pada sidang BPUPKI. Meski sulit diterima, Ki Bagus dengan bujukan Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan, akhirnya menerima mosi tersebut.

Apa jadinya apabila Ki Bagus tidak menerima mosi tersebut? Menurut seorang opsir utusan Angkatan Laut Jepang yang mengabarkan keberatan pihak katolik dan kristen kepada Bung Hatta, jika sila pertama Piagam Jakarta ditetapkan sebagai dasar negara, tentu mereka tidak akan menjadi bagian dari Republik Indonesia kini. Pihak katolik dan kristen akan memilih berdiri sebagai pihak tersendiri di luar NKRI. Ki Bagus telah mencermati hal itu sebagai mudharat (keburukan) yang lebih besar ketimbang harus mempertahankan pendapat sepihak. Beliau lantas memilih persatuan dan hidup dalam kemajemukan.

Sayangnya, setelah 71 tahun merdeka, jauh dari tantangan penjajahan saat zaman Ki Bagus masih hidup, kini kita malah dihadapkan pada permasalahan fragmentasi sosial yang mengrongrongi negeri ini. Semua orang saling benci, semua orang saling caci, merasa benar sendiri. Lihatlah di media sosial bagaimana orang-orang begitu liar mengungkapkan isi pikirannya tanpa memperhatikan apakah ada yang tersinggung atau tidak. Tak jarang di sana juga banyak muncul provokasi.

Kemudian mirisnya lagi, negara yang dibangun atas landasan moral berketuhanan ini lantas masih belum bisa maksimal menyelesaikan permasalahan penistaan agama melalui ungkapan perendahan ayat kitab suci yang akhir-akhir ini mengemuka isunya. Kitab suci suatu agama adalah hal yang sakral. Setiap orang beragama akan mengikuti dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Bahkan tak jarang, prinsip hidup –sampai prinsip bernegara- banyak muncul dari firman Tuhan yang ada pada kitab suci umat beragama. Ajaran moral juga tak luput dari hirauan kitab-kitab tersebut.

Akibat permasalahan-permasalahan tersebut di atas masyarakat lantas menjadi terbelah, nasib persatuan akhirnya kocar-kacir tak karuan. Moralitas berketuhanan juga berada di titik nadir.
Apa kita perlu, mengundang Ki Bagus Hadikusumo dari kuburnya –yang pada batu nisannya bahkan tak tertulis namanya- untuk bersaksi bagaimana sulitnya menyatukan negeri ini? Sadarlah wahai anak negeri, guru ketuhanan dan persatuan yang sudah wafat itu mungkin menangis melihat kita saat ini seperti ini. Ki Bagus sadar, perlu pengorbanan untuk menjadikan bangsa ini bersatu. Pertanyaannya, apakah kita mau berkorban seperti Ki Bagus untuk kembali menyatukan negeri ini?

Tulisan ini hampir habis, maka silakan kita renungi. Mari kita belajar dari guru ketuhanan dan persatuan yang dulu susah payah ikut mendirikan negeri ini. Jangan kita nodai semua itu dengan mementingkan diri sendiri. 

No comments

Powered by Blogger.