Salahnya Cara Berfikir dalam Pertanian Kita

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo tanggal 5 Maret 2015

Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi yang berisi tulisan-tulisan Bung Karno, tertulis bahwa salah satu faktor daripada datangnya bangsa asing ke Indonesia adalah karena adanya rezeki. Rezeki yang dimaksud disini adalah melimpahnya sumber daya alam yang ada di Indonesia. Bahkan ada yang mengatakan dalam sebuah lagu bahwa orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

source: rri.co.id
 Agaknya refleksi di atas menjadi perenungan bagi kita saat ini. Indonesia yang notabenenya beriklim tropis dan tanahnya subur, kini bahkan masih mengimpor beras dari negara lain. Belum bisa berdiri di atas negeri sendiri. Cita-cita mengenai kemerdekaan mungkin sudah dicapai. Tapi dalam hal pangan mungkin masih jauh panggang dari api.

Keadaan ini membuat kita  harus berfikir ulang mengapa negara-negara yang berada di tidak berada di iklim tropis bisa maju. Padahal wilayah mereka tidak banyak mendukung untuk sektor agraris. Penyebabnya adalah keterbatasan yang mereka miliki sehingga otak mereka dipacu untuk berfikir bagaimana mencukupi kebutuhan pangannya. Contohnya saja di Jerman, pertanian disana terintegrasi dengan teknologi. Pemupukan bisa dilakukan dengan pesawat terbang dan bahkan pemanenan padi menggunakan mesin pemanen yang sangat efisien digunakan. Tidak hanya itu, di Jepang juga para petani telah menggunakan mesin modern seperti penanam dan pemanen padi otomatis.

Berbeda dengan Indonesia, kebanyakan petani masih menggunakan cara konservatif. Walaupun dulu sempat diberlakukan swasembada pangan tetap saja teknik pertanian kita masih jauh ketinggalan dari negara seperti Jerman tadi. Masyarakat kita seharusnya sudah bisa berfikir bagaimana caranya mengeluarkan keringat seminimal mungkin untuk menghasilkan komoditas semaksimal mungkin.

Stereotipe tanah yang subur dan mudah ditanami berbagai tanaman membuat kita  terlena untuk tidak mengembangkan apa yang kita miliki. Yang bisa kita lakukan hanyalah menggunakan dan menggunakannya saja. Tidak berfikir lebih jauh bagaimana tantangan ke depan. Thomas Maltus memberikan teori bahwa jumlah pangan akan bertambah sesuai dengan deret hitung (1,2,3,4,5), sedangkan jumlah manusia akan berkembang sesuai dengan deret ukur (1,2,4,8,16). Inilah tantangan kita kedepan bahwa jumlah pertambahan pangan tidak akan melebihi jumlah perkembangan manusia sehingga manusia dituntut kreatif agar bisa membalikan keadaan tersebut.

Berbicara masalah kemajuan pertanian tidak lepas dari pemikiran-pemikiran dari kaum intelektual. Khususnya para insinyur di bidang pertanian yang mengenyam pendidikan tinggi. Sangat jarang ditemui mahasiswa pertanian yang memiliki cita-cita untuk menjadi petani dan punya visi untuk memajukan pertanian Indonesia. Kebanyakan dari mereka menginginkan jadi insinyur pertanian yang “tidak mau turun ke sawah” artinya tidak mau berkecimpung di bidang pertanian. Lalu untuk apa mereka belajar tentang pertanian selama ini?

Tulisan ini agaknya tidak lebih dari sekedar bahan perenungan belaka. Namun melihat permasalahan pangan di Indonesia yang telah dipaparkan di atas, kita harus mulai merubah pola pemikiran kita. Jangan kita hanya berfikir bagaimana kita bisa makan saat ini, namun juga harus berfikir  bagaimana anak cucu kita bisa makan kedepan. Jayalah panganku, jayalah Indonesiaku!

No comments

Powered by Blogger.