Pengaruh Ideologi Terhadap Hubungan Hamas dan Fatah di Palestina

Ideologi merupakan sebuah konsep politik. Ideologi pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf berkebangsaan Perancis yang bernama Antonie Destutt De Tracy pada tahun 1796. Ia mengatakan bahwa ideologi adalah “science of ideas” atau ilmu tentang ide-ide. Disisi lain Minogue (1985) mengungkapkan bahwa Ideology essentially represents the deployment of abstract theorising to the complex world of concret political action (ideologi merupakan penyebaran teori abstrak pada dunia yang kompleks untuk menimbulkan aksi politik yang konkrit) (Politics: An Introduction, 2002, hal. 253). Tracy mengungkapkan konsep ideologi secara umum karena tidak menyinggung tentang politik dalam definisinya. Sedangkan Minogue menganalisis bahwa ideologi bisa menimbulkan suatu aksi politik, sehingga suatu aksi politik merupakan implikasi dari ideologi yang dianut oleh seseorang atau kelompok. Dalam pada itu, untuk memperjelas bahasan politik tentang Hamas dan Fatah maka kita perlu menganalisis secara khusus yang dimaksud dengan ideologi politik. Gari K. Browning dalam Politics: An Introduction (2002, hal. 255) mendefinisikan bahwa Political ideologies are sets of belief about politics incorporating specific proposals and general ideas about human beings (idelogi politik adalah kumpulan keyakinan politik bersamaan dengan anjuran spesifik dan ide-ide umum tentang perilaku manusia).

Kita mungkin perlu membedakan istilah ‘ideologi’ dan ‘ideologi politik’, namun dalam hal ini ungkapan tersebut bisa saling berkaitan. Ideologi bisa digunakan dalam istilah yang lebih luas dan menyangkut semua sektor. Sedangkan ideologi politik merupakan istilah yang lebih sempit karena hanya menyangkut sektor politik saja. Oleh karena itu, kita bisa menggunakan dua istilah tersebut jika diperlukan dalam kondisi mana masalah tersebut dibahas.

source: www.kiblat.net

Tidak terkecuali dengan Hamas dan Fatah di Palestina. Hamas dan Fatah merupakan dua partai yang mendominasi kekuasaan di Palestina. Mereka memiliki tujuan yang sama satu sama lain yaitu untuk membebaskan Palestina dari negara Israel. Jika mereka memiliki tujuan yang sama, pertanyaannya adalah mengapa mereka tidak bersatu dalam satu organisasi saja? Hal ini merupakan fakta penting yang menunjukkan mereka memiliki perbedaan mendasar tentang partainya masing-masing.

Perbedaan tersebut merupakan ideologi yang dianut oleh masing-masing partai. Setiap individu atau kelompok memiliki ideologi untuk bisa memandang ‘bagaimana seharusnya’ dunia itu. Termasuk bagaimana kelompok atau individu itu harus bertindak terhadap suatu permasalahan. Maka dari itu, individu ataupun suatu kelompok seharusnya memiliki ideologi untuk dijadikan pegangan.

Namun berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Yasser Arafat sebagai pendiri Fatah pada tahun 1969 yang berkata bahwa,”Kami tidak memiliki ideologi. Tujuan kami adalah membebaskan tanah kelahiran kami dengan segala upaya yang dibutuhkan” (Hamas vs Fatah: The Struggle for Palestine, 2008, hal. 19). Tentunya hal tersebut merupakan suatu pernyataan yang cukup kontroversial. Bagaimana mungkin Fatah bisa menetapkan tindakan-tindakan partai yang konstan jika tidak memiliki ideologi yang dianut? Akan tetapi dalam kenyataannya Fatah bisa menetapkan tindakan-tindakan konstan dalam memandang masalah. Jika dicermati juga, dalam kata-kata Arafat tersebut sebenarnya mengandung unsur ideologi. Fatah jika dibanding dengan Hamas dalam memperjuangkan Palestina lebih condong ke arah upaya diplomasi dalam mebebaskan Palestina, berbeda dengan Hamas yang lebih menitikberatkan kepada perjuangan bersenjata. Jika Minogue menyinggung ideologi dapat menimbulkan suatu aksi politik tertentu, berarti kasus perbedaan ideologi telah ditemukan di antara Hamas dan Fatah.

Ada banyak jenis ideologi di dunia yang banyak dipelajari oleh para akademisi politik seperti liberal, komunis, konservatif, fasis dan lain-lain. Akan tetapi dua ideologi yang dibahas dalam kasus Hamas dan Fatah merupakan dua ideologi yang berasal dari Islam. Hamas dan Fatah sama-sama ingin membebaskan Palestina yang merupakan sebuah tanah wakaf yang telah di miliki sejak zaman Umar bin Khatab, salah seorang sahabat nabi dari kalangan Khulafaur Rasyidin. Walaupun tujuan mereka sejalan, namun perbedaan ideologi sangat kental. Perbedaan tersebut terlihat dari tindakan-tindakannya, Hamas tidak menghendaki adanya negara Israel secara keras sedangkan Fatah (sementara) bisa mentolerir negara Israel dan melakukan cara-cara diplomatis untuk memerdekakan Palestina yang berdampingan dengan negara Israel secara damai. Walaupun pada akhirnya Fatah memimpikan suatu serangan terhadap Israel dan kembali merebut tanah Palestina yang telah diambil sejak tahun 1948.

Jensen (The Political Ideology of Hamas: A Grassrots Perspective, 2009, hal. 5) mengatakan  bahwa Hamas adalah suatu partai moderat sedangkan Fatah di lain pihak menganut sekularisme. Jensen berpendapat bahwa moderat disini dipandang sebagai suatu cara-cara yang dilakukan lebih mendorong kepada pemahaman-pemahaman Islam di kalangan akar rumput melalui ceramah-ceramah. Hal ini diperlihatkan dari kegiatan Hamas yang membangun sekolah-sekolah, universitas dan suatu perkumpulan-perkumpulan yang berbasis agama islam terutama pada masjid-masjid.  Pendapat Jensen bisa dibenarkan jika pemahaman ideologi islam moderat adalah yang demikian. Namun jika kita melihat dari ideologi ekstrem kiri dan kanan, pendapat tersebut agak sulit diterima karena ideologi moderat pada akhirnya akan berada di tengah yang menghendaki keseimbangan ataupun bisa jadi terkadang ke kanan dan terkadang pula ke kiri.

Kedua-duanya merupakan penganut ideologi yang bersumber dari agama Islam namun pada akhirnya ekstrem yang digunakan berbeda satu sama lain. Hamas yang lebih konservatif bertolak kepada tegasnya perebutan kembali tanah wakaf dengan lalu menerapkan nilai-nilai Islam tanpa adanya sekularisme. Berawal dari tokoh awal pembentukannya yaitu Hassan Al Banna dimana ia mendirikan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Islam) di Mesir. Kemudian organisasi tersebut memiliki cabang di Palestina yang kini berubah menjadi Partai Hamas dengan prakarsa Syaikh Ahmad Yassin. Hassan al-Banna memiliki visi kedepan untuk menyebarkan islam fundamental di Mesir terutama kepada muslim di seluruh dunia. Begitulah kira-kira pemikirannya kemudian diteruskan oleh Yassin.

Berbeda dengan Hamas, sejarah pembentukan Fatah berawal dari suatu penyerangan Arab terhadap Israel yang selalu gagal dari mulai perang Arab-Israel tahun 1948 hingga perang enam hari Arab-Israel tahun 1967. Muncul seorang tokoh bernama Yasser Arafat yang mana percaya bahwa Arab akan selalu kalah dalam peperangan dan lebih menghendaki jika Palestina memiliki gerakan revolusioner untuk membebaskan Palestina. Yasser Arafat tentu saja sangat menganut nilai-nilai islam dalam setiap pemikirannya, namun satu hal yang berbeda dengan pemikiran Hamas adalah dia ingin membentuk suatu negara Palestina yang merdeka sekaligus sekuler.

Melihat dari gambaran diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa ekstrem ideologi yang digunakan Hamas lebih condong ke kanan sedangkan Fatah menganut ideologi tengah yang condong ke kiri yang kemudian akan berbeda dengan pendapat Jensen di atas. Kita melihat bahwa Hamas sangatlah konservatif terhadap nilai-nilai islam sehingga partai tersebut sangat menjaga apa yang ada dalam islam termasuk tegasnya penegakkan Palestina diatas tanah wakaf tanpa adanya Israel. Sedang Fatah beraliran ideologi tengah-kiri (sosialis) yang bisa dikatakan menganut nilai-nilai islam namun tidak cukup tegas dengan rencananya mendirikan sekularisme pada Palestina. Kedua perbedaan ideologi inilah yang akhirnya menimbulkan tensi di antara pihak Hamas dan Fatah.

Hubungan Hamas-Fatah pada awal pembentukannya tidak terlalu erat. Mereka hanya sebatas mendirikan organisasi yang merupakan turunan dari Ikhwanul Muslimin. Kedua pendiri organisasi ini memang berasal dari tokoh awal yang sama yaitu Hassan Al Banna dari Mesir. Namun pada tahun 1948  saat Israel menjadi sebuah negara,  Ikhwanul Muslimin cabang Palestina terpecah menjadi dua dimana Jalur Gaza dalam kontrol Mesir sedangankan di Tepi Barat bersatu dengan Jordania (ef. Barghouti dalam Gunning, 2007, hal. 27). Keadaan tersebut yang akhirnya membuat geopolitik di Palestina terbelah menjadi dua bagian besar yaitu antara Jalur Gaza dan Tepi Barat. Di Gaza pembentukkan Hamas disinyalir masih menganut ideologi-ideologi konservatif yang diturunkan dari Ikhwanul Muslimin. Bukan tanpa sebab, hal tersebut terjadi karena wilayah Gaza masih suci dari jamahan ideologi lain serta mudah jangkauannya dengan Mesir terutama. Sedangkan wilayah Tepi Barat yang di kontrol oleh Jordania lama-lama menghilangkan kekuatan Ikhwanul Muslimin yang ada disana. Perlu dicatat bahwa terdapat partai lain yaitu Partai Komunis yang menjadi saingan utama dalam kontestasi politik di Palestina. Ikhwanul Muslimin yang ada di Tepi Barat bahkan bercampur satu sama lain dengan partai tersebut dan pengaruh-pengaruh Jordania. Akan tetapi sebenarnya Jordania tidak mempunyai pengaruh yang signifikan kemudian, karena sebenarnya pemikiran-pemikiran Arafatlah yang membuat Fatah akhirnya menjadi sekuler dan lebih kearah moderat yang sosialis.

Sudah bukan hal yang rahasia jika kedua belah pihak saling bersitegang. Hamas yang anti dengan PLO (Palestine Liberalization Organization: Organisasi Pembebasan Palestina) dengan kroni-kroninya (termasuk Fatah yang menjadi afiliasinya) tidak ingin bergabung dalam organisasi tersebut karena perbedaan ideologi. Hal ini tentunya terjadi pada saat sebelum adanya rekonsiliasi pada bulan September 2014 lalu. Kita jauh melompat ke zaman dimana pada saat itu masih tahun-tahun perjanjian Oslo sedang diproses pada 1991.

Hubungan Hamas dan Fatah terus memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Hamas dan Fatah bahkan saling melakukan kekerasan. Pada saat intifada (gerakan perlawanan besar-besaran dari Palestina terhadap Israel) kedua berlangsung sekitar tahun 2000 hingga 2003, di Gaza , ketegangan antara Fatah dan Hamas meningkat menjadi bentrokan fisik diantara keduanya yang menyebabkan kematian seorang pria dan anak lima tahunnya . Fatah merespon dengan membakar Kantor Berita Hamas dan melepaskan tembakan di dua rumah pemimpin Hamas. Bentrokan terjadi di Gaza dan Tepi Barat , dan PA (Otoritas Palestina) terus kehilangan kendali (Schanzer, 2008, hal. 73-74).
Terdapat dua kubu yang terbelah satu sama lain di Palestina menghasilkan disintegrasi di dalam negeri. Selain karena ideologi, permasalahan wilayah yang terbagi dua antara Jalur Gaza dan Tepi Barat pun memberikan kontribusi terhadap bipolarisasi kekuasaan di Palestina. Situasi yang saling tidak mendukung tersebut tentunya merupakan sebuah hubungan yang buruk untuk sebuah negara yang memiliki ancaman dari luar yang dalam hal ini merupakan Israel. Kedua partai tersebut seakan-akan berebut kekuasaan demi bisa mempengaruhi rakyat Palestina sesuai dengan jalan ideologi masing-masing.

Tentunya penyelesaian masalah ini tidak mudah. Dalam studi mengenai ideologi, kita selalu menemukan bahwa suatu ideologi yang dipegang oleh sebuah individu atau kelompok pasti akan menemukan saingan dari ideologi lain. Ideologi yang mencita-citakan sebuah cara yang diambil suatu individu atau kelompok agar terciptanya tujuan memiliki hambatan yaitu ideologi lain yang memberikan suatu cara yang bisa saja berbeda.

Hal tersebut sangat relevan jika melihat persaingan antara Hamas dan Fatah. Secara sosiologis, ketika mereka menghadapi musuh yang sama dan berada pada kelompok besar yang sama yaitu Palestina, mereka seharusnya memiliki hubungan lebih solid. Jika merujuk kepada jenis kelompok yang dikemukakan oleh W.G. Summer, maka Hamas dan Fatah harus bisa melihat diri mereka sebagai sebuah kesatuan in group dan melihat Israel sebagai out group. In group merupakan suatu kelompok yang memandang bahwa anggota-anggota kelompoknya merupakan teman, sedangkan out group  memandang bahwa di luar kelompok tersebut adalah musuh. Dalam hal ini yang terjadi in group dan out group bukan berdasarkan kelompok besar Palestina, melainkan antara Hamas dan Fatah. Hamas melihat Fatah sebagai out group dan yang mengikutinya adalah in group karena memiliki kesamaan ideologi. Begitupun sebaliknya.

Jika merujuk kepada penyelesaian secara politik, tentunya tidak semena-mena kita menyatukan suatu ideologi yang berbeda. Dalam literatur mengenai sejarah ideologi yang ada di dunia, kita tidak pernah mendengar bahwa ideologi Marxisme bisa bersatu  atau menghasilkan suatu kesepakatan dengan penganut Liberalisme agar sebagian ideologi mereka dicampur dengan sebagian yang lain.  Tentunya mereka tetap berjalan masing-masing dengan tetap mempertahankan eksistensi ideologinya. Kita melihat mengapa Vietnam terbelah menjadi Vietnam Selatan dan Vietnam Utara pada saat Vietnam belum merdeka? Kemudian apa yang menyebabkan Korea Selatan dan Korea Utara kini menjadi negara sendiri-sendiri? Tentunya contoh-contoh tersebut adalah suatu realitas adanya konflik bahkan secara keras dikatakan sebagai ‘perang’ ideologi antara Komunis dan Liberalis. Pada dua contoh tadi, pihak yang berkonflik adalah Amerika dengan Soviet dan Amerika dengan Cina, namun yang repot malah negara lain yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Artinya disini mereka berebut pengaruh agar ideologinya bisa sejalan dengan apa yang dianut oleh masing-masing pihak sehingga adanya keselarasan cara untuk mencapai tujuan pada negara-negara yang ingin dipengaruhi.

Begitu pula cara kerja dalam peperangan atau konflik Hamas dan Fatah. Hubungan kedua partai ini cenderung selalu berkonflik karena ideologi masing-masing yang saling bertentangan. Mereka juga berebut pengaruh rakyat Palestina agar mengikuti salah satu pihak sehingga semakin banyak masyarakat yang mengikuti pihak tersebut, maka semakin mudahlah pihak tersebut menerapkan cara-cara untuk mencapai tujuannya.

Pada saat ini Hamas dan Fatah sudah mulai menyatukan pemerintahan mereka melalui rekonsiliasi masing-masing pihak di Mesir bulan September 2014 lalu. Mereka setuju untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan Palestina kepada Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Rami Hamdallah. Pada dasarnya ada sembilan persetujuan utama yang disetujui Hamas dan Fatah, namun poin-poin tentang politiknya hanya mencakup tentang penyatuan kekuasaan di Palestina, pengaktifan kembali Dewan Legislatif Palestina, mematuhi komitmen kembali pada Dokumen Rekonsiliasi Nasional yang dibuat pada tahun 2006 dimana salah satunya yaitu membebaskan tanah Palestina yang diambil pada tahun 1967 dan yang terakhir mengadakan pemilu secepatnya sesuai dengan  Perjanjian Shati bulan April 2014 lalu (The Jerusalem Post, 2014) . Rekonsiliasi seperti ini tentunya menunjukan kemajuan yang cukup signifikan bagi hubungan Hamas dan Fatah. Hal itu dikarenakan Hamas dan Fatah memiliki hubungan yang kurang baik sebelumnya, bahkan cukup berdarah-darah ketika Hamas memenangkan pemilu tahun 2006.

Agaknya cukup sulit mencari solusi masalah secara politis. Namun secara sosiologis, upaya-upaya semacam rekonsiliasi memang cukup efektif menjadi alternatif dalam menjembatani hubungan Hamas-Fatah yang kurang baik. Walaupun dalam literatur sejarah Palestina, rekonsiliasi semacam itu kadang tidak membuahkan hasil. Malahan satu pihak terhadap pihak lain atau sebaliknya melakukan penjatuhan dengan makar dari kesepakatan-kesepakatan rekonsiliasi. Rekonsiliasi tersebut juga terbilang saat-saat tertentu saja dilakukannya. Kesepakatan terbaru antara Hamas-Fatah diatas terbilang hasil dari adanya agresi Israel pada bulan Juli hingga Agustus 2014 lalu. Kondisi in group kadang bekerja ketika Palestina diserang secara besar-besaran sehingga mereka bersatu dan sedikit menghilangkan perbedaan. Namun sejarah mencatat bahwa setelah itu mereka akan berjalan sendiri-sendiri seiring ingatnya kembali mereka kepada ideologi masing-masing yang berbeda.

Hal yang paling mungkin dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini secara politis adalah bersatu dibawah satu payung negara Palestina. Hamas dan Fatah tidak boleh egois satu sama lain. Mereka harus menyepakati hukum-hukum tertentu untuk membentuk suatu pemerintahan bersama.

Walaupun menyatukan ideologi sangatlah sulit terwujud. Hamas-Fatah harus mampu mencari jalan keluar dengan jalan kompromi politik. Kesepakatan berkompromi harus di dasarkan pada apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan  oleh kedua belah pihak. Langkah-langkah tersebut harus diambil demi menjaga hubungan baik Hamas-Fatah dan mendirikan negara Palestina yang merdeka serta diakui oleh dunia internasional.


Bibliography

  1. Barrie Oxford, Gary K. Browning, Richard Huggins, Ben Rosamond, Alan Grant, John Turner. (2002). Politics: An Introduction. London and New York: Routledge.
  2. Jensen, M. I. (2009). The Political Ideology of Hamas: A Grassrots Perspective. London: I. B. Tauris.
  3. Schanzer, J. (2008). Hamas vs Fatah: The Struggle for Palestine. United States of America: Palgrave Macmillan.
  4. Toameh, K. A. (2014, September 25). Retrieved December 13, 2014, from The Jerusalem Post: http://www.jpost.com/Arab-Israeli-Conflict/Text-of-Fatah-Hamas-agreement-376350
  5. Gunning, Jeroen. (2007). Hamas in Politics: Democracy, Religion, Violence. London: Hurst.
  6. P. Carlisle, Rodney. (2005). Encyclopedia Of Politics: The Left and The Right, Volume 1: The Left. New Dehli: Sage Publications.



No comments

Powered by Blogger.