Negara dan Kedaulatan : Studi Kasus Mengenai Palestina

Jika kita berbicara mengenai negara, maka pandangan orang awam seperti penulis mendefinisikannya sebagai sebuah entitas politik yang memiliki legitimasi untuk mengatur objek apapun di dalam batas wilayah negaranya dan mampu melakukan hubungan luar negeri demi tercapainya tujuan. Namun pendapat paling mainstream dalam pendefinisian sebuah negara adalah hasil dari Konvensi Montevideo 1933 yaitu bahwa syarat-syarat sebuah negara harus meliputi wilayah yang jelas, rakyat yang tetap, pemerintah yang efektif dan kemampuan untuk melakukan hubungan internasional.






Masalahnya apakah semua entitas politik yang ‘memproklamirkan’ diri sebagai negara bisa segera diakui dan dianggap sama sebagai negara seperti negara-negara yang sudah terbentuk sebelumnya? Contohnya adalah Palestina yang hingga saat ini belum diakui sebagai negara oleh PBB walaupun beberapa negara telah mengakuinya. 

Palestina jika ditilik dari Konvensi Montevideo tadi sebenarnya belum bisa memenuhi seluruh syarat pendirian sebuah negara. Tepatnya terdapat dua hal yang belum bisa dipenuhi Palestina untuk mendirikan sebuah negara, yaitu wilayah yang jelas dan pemerintah yang efektif. 

Wilayah Palestina (bebarengan dengan Israel) sebenarnya telah didefinisikan oleh banyak pihak hingga tahun 1947 disahkan oleh PBB melalui voting Majelis Umum. Masyarakat Arab yang tidak setuju dengan wilayah tersebut akhirnya melakukan protes dengan perang melawan Israel. Namun Arab kalah dan Israel berhasil mendeklarasikan kemerdekaaan mereka pada 1948 (pada masa perang). Israel juga berhasil menduduki beberapa wilayah Palestina yang telah didefinisikan PBB. Arab yang kalah akhirnya setuju untuk menerima wilayah yang telah didefinisikan PBB tadi. Di lain pihak, Israel yang telah menduduki beberapa wilayah Palestina tidak ingin menarik mundur orang-orangnya untuk kembali ke wilayah Israel. Akhirnya wilayah tersebut berubah tidak seperti yang PBB tentukan. Wilayah Israel bertambah luas dan Palestina semakin berkurang. Kejadian tersebut berulang tahun 1967 pada Perang 6 Hari. Keadaan saat ini masih diperparah dengan Israel yang sedikit demi sedikit melakukan pendudukan di wilayah Palestina. Begitulah pada akhirnya yang membuat wilayah Palestina tidak terdefinisi secara jelas.

Hal kedua yaitu Palestina tidak dapat menerapkan pemerintah yang efektif. Efektif disini masih perlu penjelasan lebih lanjut. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah tersebut harus memiliki kedaulatan (sovereignty). Robert J. Jackson mengatakan bahwasannya kedaulatan terjadi ketika otoritas tertinggi berada pada pemerintah nasional (Global Politics in the 21st  Century: 91). Kenyataannya di Palestina, terdapat dua pihak yang memerintah di wilayah Palestina yang terpisah satu sama lain. Hamas memerintah di Jalur Gaza sedangkan Fatah memerintah di Tepi Barat. Permasalahan tersebut yang pada akhirnya membuat kedaulatan tidak berlaku lagi jika tolak ukur kedaulatan adalah otoritas harus berada pada pemerintah nasional. Walaupun disana terdapat otoritas nasional yang bernama Palestine National Authority, realitasnya otoritas masih tersegmentasi menjadi pemerintahan masing-masing oleh Hamas dan Fatah. Contoh paling nyata juga adalah bagaimana ketika Hamas ingin mendirikan kantor perwakilan di Indonesia tahun 2014 lalu. Padahal sudah sejak lama Palestina mendirikan kantor kedutaan di Indonesia. Sehingga, ketika Hamas berniat untuk mendirikan kantor perwakilan  di Indonesia, hal tersebut malah menunjukkan bahwa pemerintah Palestina memang benar-benar belum bersatu dalam satu otoritas nasional.

Apa yang perlu Palestina lakukan agar bisa diakui sebagai sebuah negara adalah mereka harus membentuk pemerintah yang satu, Pemerintah Nasional Palestina. Selain itu, gerakan-gerakan militer yang ada di Jalur Gaza maupun Tepi Barat harus disatukan atas nama Tentara Nasional Palestina. Sehingga dari langkah-langkah tersebut, Palestina dapat meraih kedaulatan seperti pendapat Jackson di atas. Akan tetapi, selain bagaimana pemerintah dapat bersatu, agar tercipta kedaulatan, Palestina juga perlu mempertimbangkan pendapat Cerny (2010) bahwa negara harus punya dualisme wajah yang melihat ke dalam dan melihat ke luar. Negara melihat ke dalam berarti bagaimana negara bisa mengatur individu atau rakyat yang ada di dalam wilayahnya. Seperti halnya yang dikatakan Weber tentang penggunaan monopoli kekerasan atau konsepsi Joseph Schumpeter tentang bagaimana negara bisa memungut pajak atas rakyatnya. Sedangkan negara melihat keluar adalah bagaimana negara dapat menjalin relasi dengan  negara lain maupun bagaimana negara bisa mempertahankan diri dari serangan pihak luar. Inilah kemudian yang membuat konsepsi kedaulatan semakin lengkap.

Dari studi kasus di atas, kita bisa melihat bahwa unsur terpenting dalam pembuatan negara adalah  kedaulatan. Agaknya kita perlu menambahkan, dalam setiap unsur syarat pembentukan negara menurut Konvensi Montevideo harus terdapat kedaulatan diatasnya. Pada akhirnya, karena itulah negara akhirnya dapat diakui eksistensinya.

References

Heywood, A. (2011). Global Politics. New York: Palgrave Macmillan.
Jackson, R. J. (n.d.). Global Politics in the 21st Century.


No comments

Powered by Blogger.