Menjawab Pertanyaan Tentang Jodoh



Menyentuh usia seperempat abad, lingkungan pertemanan kini mulai menjajaki babak baru kehidupan. Sebagian di antaranya sudah mengawali mahligai rumah tangga. Selamat bagi mereka!

Dari pengamatan, ada yang kenal pasangannya sejak di sekolah, bangku kuliah, atau saat mereka di tempat kerja. Ada juga yang tadinya sudah putus saat pacaran di sekolah, kembali lagi merajut hubungan yang lebih serius saat sudah tak bertemu lama. 

Selain lokus pertemuan, proses perjodohan pasangan juga bermacam-macam. Ada yang sudah kenal lama lalu memutuskan menikah. Ada yang baru baru bertemu, kepincut, langsung menuju pelaminan. Dan, jangan lupa, masih ada juga yang dijodohkan orang tuanya.

Bukan masalah, mau berada di lokus dan proses perjodohan yang mana. Faktanya, jodoh adalah salah satu dari empat misteri terbesar kehidupan. Lainnya adalah soal rezeki, sehat/sakit, dan ajal. Semua sudah ditulis sesuai garis dan alur ceritanya dari yang Maha Kuasa.

Karena misteri dan merupakan sesuatu yang given, seharusnya kita tidak terlalu ambil pusing. "Kalau pun jodoh, pasti tak ke mana," katanya. 

Akan tetapi, namanya manusia pasti punya ego dan keinginan. Selain keinginan diri, ada juga yang disebut dengan ekspektasi/ego sosial. Kedua hal ini yang membuat sebagian urusan tampak rumit daripada kelihatannya. Apalagi jika ego-ego tersebut tak berbuah kenyataan.

Seorang kawan pernah menyatakan bahwa filosofi kehidupan sejatinya merupakan proses menjawab pertanyaan. Jika kita membedah masalah jodoh berkenaan dua hal tadi (ego diri dan ekspektasi sosial) melalui postulat tersebut, nyatanya kita akan bingung sendiri jika menuruti keduanya.

Mari kita lihat. Dalam beberapa tingkatan hidup, acapkali kita dirundung oleh berbagai macam pertanyaan. Mulai dari habis lulus sekolah mau kuliah di mana, setelah kuliah mau kerja apa, habis dapat kerja ditanya pula kapan nikah dan dengan siapa.

Pertanyaan-pertanyaan itu tak hanya muncul dalam benak pikiran, tapi juga lingkungan sosial. Ia menunggu untuk dijawab atau dipecahkan. Giliran tak terjawab, akan muncul tekanan yang membuat hidup stres dan jadi tidak tenang.

Lalu apakah jika pertanyaan-pertanyaan diri dan sosial yang timbul sudah terjawab, apakah kita akan merasa tenang atau bahagia? Iya, mungkin, tapi hanya sementara. Yang harus diketahui, pertanyaan lain akan terus bermunculan dan daftarnya tak akan pernah habis.

Padahal, pertanyaan dalam aspek jodoh itu sendiri tak bisa benar-benar kita jawab. Sebab, sifatnya given dari sang Maha Kuasa dan tentunya jawabannya pasti tak akan bisa memuaskan semua, baik ego diri maupun sosial.

Misalnya, secara pribadi kita ingin punya pasangan wanita atau pria berkarier baik dan orang Jakarta. Sedangkan orang tua ingin kita punya pasangan orang yang sekampung halaman. Tentu saja kita tidak akan bisa menjawab permasalahan tersebut dengan pertanyaan, "Bakal pilih yang mana?"

Jawaban sebuah pertanyaan layaknya zero sum game. Ada satu hal yang dijawab, yang lainnya bakal mengatung tanpa jawaban dan harus dikorbankan atau diabaikan. Inilah mengapa, urusan perjodohan tak bisa sekadar diselesaikan dengan cara menjawab pertanyaan.

Adalah penyelarasan yang kita butuhkan kala berurusan dengan jodoh. Bukan soal kapan, dengan siapa atau hendak dengan sosok yang bagaimana kita ingin berpasangan. Tetapi lebih kepada menyelaraskan keinginan diri, berkompromi dengan lingkungan sosial, dan juga nrimo ing pandume gusti (berserah pada kehadirat Tuhan).

Terkadang, mau sengoyo apa pun usaha kita, kalau bukan jodohnya, ya tak akan berpasangan juga. Jadi jika ditanya pertanyaan tentang jodoh salah satu jawabannya yakni mengembalikannya kepada si penanya.

"Anda sudah dapat bocoran dari Tuhan belum? Barangkali sudah, boleh kasih tahu saya, baru saya jawab."


No comments

Powered by Blogger.