Meredakan Sakit Kepala

Akhir-akhir ini ada sejumlah hal yang membikin kepalaku jangar. Biasalah anak muda. Masalah studi, pergaulan, pencarian jatidiri. Apalagi sih? Cinta? Ah, sudah lama aku lupa dengan yang namanya cinta. Serius, tidak bohong.

Ilustrasi: mediskus.com
Memang nyatanya belakangan ini aku hampir kehilangan akal. Tiap hari kerjaannya marah. Kesenggol sedikit, marah. Orang di depanku jalannya lambat, marah. Pesanku tidak dibalas, marah. Sampai suatu hari seorang anak pers fakultas mengirim pesan kepadaku. Katanya, pers fakultas itu minta diucapkan ulang tahun oleh pers universitas. Aku, yang saat ini menjadi pemimpin redaksi pers di kampus tempatku mengemban ilmu, menjadi sasaran permintaan tolong mereka setelah pemimpin umum kami tidak menyanggupi karena rumahnya yang jauh dari kampus. Dia menyerahkan urusan itu ke aku.

Pagi hari pihak mereka mengirim pesan, pagi itu juga permintaan mereka kusanggupi. Dengan senang hati, beberapa jam kemudian video ucapan dariku direkam. Setelah urusan selesai, aku meminta sejumlah foto dengan perwakilan pihak mereka sebagai ‘barang bukti’ yang diambil menggunakan kamera mereka.

Esoknya aku meminta foto tersebut dengan mengirim pesan LINE. Tapi sudah dua hari berlalu pesanku bahkan belum dibaca sama sekali. Padahal kulihat foto profilnya berganti. Dasar wartawan ‘ubur-ubur’. Datang kalau ada butuhnya saja. Giliran butuh, ingin cepat, giliran tidak butuh, tinggalkan. Aku tidak tahu apa korelasi ubur-ubur dengan datang kalau ada butuhnya saja. Ini semacam pelampiasan rasa kesal yang tak tertahankan karena urusan ini terngiang-ngiang di kepala.

Ingin rasanya ku menegur pimpinannya. Dengan keras ingin ku mendamprat, “Halo, memangnya kalian tidak diajari etika membangun hubungan dengan narasumber?” Tapi sepertinya kurang etis. Akhirnya tulisan ini kubuat untuk meredakan sakit kepalaku ini.

Sebenarnya bukan itu saja yang membikin aku pusing. Belakangan memang aku memikirkan banyak hal. Studiku lancar-lancar saja. Tapi aku mulai bosan. Sejumlah dosen ada yang jarang masuk. Ketika sekali masuk, mereka menyuruh kami mengisi presensi ganda. Ada juga yang tidak masuk sama sekali, tapi menyuruh mahasiswa untuk tanda tangan presensi. Jadi sebenarnya apa gunanya saya berjalan jauh sepuluh menit dari indekos ke kampus kalau untuk tanda tangan kehadiran saja?

Kejadian itu kulaporkan kepada pihak prodi. Aku lega beberapa hari kemudian ia memanggilku dan memintai keterangan agar dia bisa memberi tindakan dari hasil informasi yang presisi. Aku tak tahu kelanjutannya bagaimana, tapi dari situ aku senang karena setidaknya ada yang merespons ketidakbenaran ini.

Namun, tak lama berselang, ada dosen berbeda yang baru masuk kelas, mengajar, dan menyuruh kami untuk menandatangan presensi selama 4 minggu. Aku yang kebetulan bolos pada saat itu tentu dirugikan. Kata teman-teman, aku diminta menghubungi saja ke dosennya, bisa kok yang semacam itu diurus. Sebenarnya aku bisa saja menandatangani keempat-empatnya di pertemuan berikutnya. Pada saat itu absen memang belum direkap dan sang dosen sendiri menyuruh untuk mengisi absen-absen mahasiswa yang kosong. Tapi, dalam keadaan itu aku mengalami pergolakan batin. Baru saja minggu lalu aku melaporkan dosen yang memiliki kasus semacam ini. Namun sekarang aku malah hendak bertindak kompromistis.

Aku pergi ke fakultas. Menanyakan kepada pihak administrasi dan sedikit berkeluh kesah di sana. Pihak fakultas, yang mengurusi masalah per-absen-an, pun tak berdaya. Pada prinsipnya, kata mereka, tidak perlu mahasiswa mengisi absen bila dosen tidak masuk. Namun kalau ada masalah macam ini kami bingung. Di satu sisi, tidak enak mau menantang vis a vis dengan dosen di kelas. Di sisi lain, bila kegiatan ini dibiarkan, khawatir hal macam ini akan terlembaga.

Tidak percaya? Dari awal masuk pun, praktik-praktik absen ganda atau absen ghaib –presensi ada tapi dosen tidak hadir dan mahasiswa diminta untuk mengisi- sudah marak. Kami bahkan pernah mengisi absen untuk sekitar 7 kali pertemuan, kalau tidak salah, di semester 3 dulu. Mungkin lebih, aku hampir lupa.

Tidak kumungkiri memang mahasiswa juga sering melakukan apa yang disebut titip absen. Bahkan yang titip absen pun tak jarang menyandang status-status pejabat di kampusnya. Ketua BEM lah, ketua ini lah, ketua itu lah, kepala bidang ini dan itu, dan lain-lain. Aku tidak menuduh mereka semua melakukan itu, tapi setidaknya aku pernah melihat langsung fenomena semacam ini dengan mata kepalaku sendiri. Aku sama sekali tidak pernah titip absen bila dosen masuk. Aku pun pernah khilaf, menandatangani semua presensi mahasiswa ketika dosen tidak masuk tapi kami disuruh mengisi absen. Dulu pikiranku pragmatis, aku kasihan dengan teman-temanku yang tidak masuk, tapi oleh dosen –yang tidak masuk pula- disuruh mengisi absen. Aku menempatkan diri di posisi bilamana aku yang mengalami hal demikian. Karena memang pernah kejadian seperti itu.

Mungkin hal ini remeh. Bahkan mungkin teman-temanku berpikiran aku sok suci lah, apa lah. Mungkin. Tapi hati kecilku berontak. Sekolah tinggi-tinggi, tapi perilaku macam kerbau.

Ada lagi kasus unik. Di universitasku, mahasiswanya paling cinta dengan petugas kebersihan, baik di tingkat fakultas atau universitas. Setiap ada kebijakan kampus yang merugikan mereka, para mahasiswa membelanya habis-habisan. Advokasi dilakukan, aksi dilancarkan. Bagus, bagus, pikirku.

Tapi yang aku tak habis pikir adalah mahasiswa tak pernah kehilangan kebiasannya yang suka membuang sampah sembarangan. Di suatu subuh, setelah santap saur, aku berjalan menuju masjid kampus. Di perjalanan, aku tertegun mendapati  sampah-sampah berserakan di dekat gerbang kampus. Memang malamnya atau sore hari sebelumnya, aku sering mendapati ada sejumlah mahasiswa yang suka nongkrong di sana. Mereka mengobrol sambil menyantap kudapan buka puasa seperti es buah atau makanan ringan. Di fakultas, apalagi. Fenomena duduk-santap-tinggalkan bungkusnya sudah menjadi penampakan sehari-hari. Mirip kerbau, habis buang kotoran lalu pergi. Katanya cinta petugas kebersihan, tapi tugas mereka malah dibikin berat karena kebiasan itu.


Sudah itu saja. Setidaknya kepalaku sudah tidak pusing lagi. Nanti kalau pusing lagi, aku mau menulis lagi.

Jangan tanya aku kuliah di mana. Nanti aku kena undang-undang ITE.

No comments

Powered by Blogger.