Maaf itu Datang

P ermintaan maaf itu datang. Isinya panjang sekali. Seingatku belum pernah ada yang meminta maaf dalam bahasa yang sepanjang itu.



Mulanya aku tak ingin membaca pesan yang masuk ke alamat Line-ku itu. Namun ternyata pesan itu datang juga lewat sms yang jarang-jarang aku dapatkan sehingga mau tak mau aku membukanya. Nomornya asing, tapi isinya kurang lebih sama. Permintaan maaf itu datang.

Kalau aku sudah kadung kecewa dengan seseorang, maka ia akan kulabeli dengan persona non grata. Ya, bukankah diplomat yang sudah tidak disukai oleh suatu negara –karena perilaku atau hal lain- boleh diusir dan tidak boleh masuk lagi ke negara tersebut? Hatiku pun bisa melakukan hal macam itu.

Tak membaca atau membalas pesan pun aku lakukan. Ini bukan semata-mata dendam atau bagaimana. Aku hanya mempraktikkan apa yang dinamakan asas resiprositas dalam sebuah hubungan (internasional). Suatu negara akan melakukan atau membalas tindakan, kebaikan atau keburukan, yang negara lain lakukan. Ekuivalen dengan jika kau memperlakukan seseorang demikian, maka itulah yang akan kau dapatkan. Bukankah kalau ingin menghargai, kamu harus menghargai juga? Begitu bukan?

Namun sekali lagi, permintaan maaf itu datang. Dia muslim, aku muslim. Menurut ingatanku, seorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Aku pun berpatokan pada batas itu. Aku meminta pendapat pada seorang teman tentang hal maaf-memaafkan ini. Jawabannya pendek-tegas: maafin kalau kamu udah siap. Ia menambahkan, “Tapi (sambil) berusaha cari alasan buat maafin dia.” Sayangnya aku tak kunjung mendapatkan alasan tersebut. Aku pun mengikuti sarannya, memaafkan bila siap. Batas tiga hari yang kubuat, kuperpanjang.

Hingga suatu hari, setelah aku melakukan pembiaran pesan itu, tanda-tanda itu datang juga.
Dua hari aku hadir sholat tarawih di masjid raya Unpad, dua hari itu pula isi ceramahnya menyindirku. Yang pertama (3/6/2017), yaitu tentang mudahnya memaafkan dan minta maaf. Karena kalau tidak melakukan kedua hal itu pada suatu keadaan yang salah pada hubungan manusia maka orang tersebut dianggap egois, gengsi, dan muslim tidak boleh seperti itu. Yang kedua (4/6/2017), yaitu tentang salah satu hikmah puasa yaitu menjadikan hati lembut. Kata penceramah, kalau sehabis puasa tapi hatinya tidak lembut berarti ibadah puasanya itu dipertanyakan. Aku gamang, seakan-akan aku belum pernah mendengar ceramah-ceramah macam ini.

Sehabis mendengar ceramah tersebut aku pun masih belum merasa menemukan alasan untuk memaafkan. Egois.

Saat itu aku masih pusing dengan UAS. Terlebih hari itu ada UAS tertulis tentang Hukum Humaniter Internasional. Hari itu aku berjalan terburu-buru ke kampus karena aku agak terlambat melakukan persiapan. Alhasil, saat sudah sampai, kelas sudah penuh, dosen sudah di kelas, soal dan lembar jawab sudah dibagikan. Aku resmi datang telat. Tapi untungnya dosen ini, yang sudah kukenal wataknya, baik-baik saja. Membolehkan mahasiswa telat datang masuk.

Aku mengambil kursi lipat separuh reyot yang tersisa di kelas yang sesak itu, sembari meletakkan lembar jawab dan soal di atas meja. Kuisi data diri di lembar jawab lalu kupampangi soalnya yang berjumlah enam butir. Tiba-tiba mataku tertuju pada nomor 5. Di sana kurang lebih ditanyakan, “Mengapa pada Hukum Humaniter Internasional tidak boleh diterapkan asas resiprositas?” Aku terdiam sejenak, lalu membatin, sejak kapan di dalam hubungan internasional tidak dikenal asas resiprositas???

Entah apa yang mengilhami sang dosen untuk membuat soal macam itu. Tapi bagiku hal ini adalah personal. Akhir-akhir ini aku menerapkan asas yang telah kukenal sejak kuliah ini ke kehidupanku. Lalu di saat yang sama, di kuliah itu juga, asas tersebut tidak boleh diterapkan pada keadaan tertentu. Lalu kujawab secara normatif soal yang membikin aku pusing sekaligus tersindir ini. Kira-kira jawabannya begini, “Dalam hukum humaniter tujuannya adalah memanusiakan manusia, meskipun dalam perang sekalipun. Sehingga dalam kekejaman yang dilakukan dalam perang tidak boleh dibalas dengan kekejaman perang kembali.”

Dengan menjawab demikian, secara tidak langsung aku telah melakukan otokritik. Apakah aku sudah memanusiakan seseorang yang sudah meminta maaf secara baik-baik?

Kuakhiri kegiatan menjawab dalam UAS tersebut dan kukumpulkan secepat mungkin. Dari situ terlihat mahasiswa macam apa aku ini, datang paling akhir tapi mengumpulkan hasil UAS paling awal. Kali ini tanpa ada gambar sedikitpun di lembar jawab. Biasanya, kalau sedang UAS tertulis macam ini, lembar jawaban aku gambari besar-besar supaya jawabanku yang sedikit itu terlihat banyak karena ruang kosong di lembar jawab terisi oleh gambar (atau kadang-kadang grafik).

Beberapa malam sebelum UAS itu pun aku sudah dihantui rasa bersalah. Coba bayangkan. Aku yang jarang bermimpi tentang sesuatu, tiba-tiba malah bermimpi makan dengan orang yang minta maaf kepadaku itu. Sebenarnya dalam mimpi itu ada dua orang, satu orangnya lagi adalah temannya dari orang yang meminta maaf itu. Aku mengenal kedua orang itu. Dalam mimpi itu, kami ngobrol ngalor-ngidur. Aku bahkan melihat diriku sendiri tertawa, begitu pula lawan bicaraku dalam mimpi.

Tanda-tanda itu muncul lagi. Suatu hari aku membaca artikel berisi nasehat agama. Di dalam artikel tersebut diceritakan suatu kebaikan tentang seseorang –aku lupa isi ceritanya. Tapi dalam akhir cerita tersebut dikatakan bahwa orang tersebut selalu memaafkan semua orang sebelum tidur. Seakan-akan orang yang membuatnya kesal tidak pernah memiliki salah lagi. Dan itulah yang membuatnya masuk surga.

Entah apa yang merasuki diriku ini sehingga hal kecil macam ini bisa berbuntut panjang. Tapi mulai saat ini, kunyatakan bahwa aku tak ingin ada masalah lagi. Kalau kamu minta maaf aku maafkan. Bahkan aku ingin minta maaf kalau-kalau aku menyakitimu dengan membiarkanmu selama ini.

Dariku,

Yang khilaf di bulan Ramadhan ini.

No comments

Powered by Blogger.