Melancong ke CIFP 2016

Conference on Indonesia Foreign Policy (CIFP) hadir kembali pada tahun 2016 ini. Awalnya saya tidak ingin ikut karena sedang tidak memiliki banyak uang. Lagipula, saya paling hanya berkapasitas sebagai peserta biasa –tidak seperti tahun lalu saya berkapasitas sebagai peserta lomba esai. Agaknya malas apabila jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk mendengarkan ceramah kebijakan luar negeri yang sudah sering di bahas di kelas perkuliahan.

CIFP 2016
Niat untuk tidak datang ke CIFP kemudian saya urungkan ketika nama Reza Aditya Nugraha –teman saya waktu SMA- muncul di layar gawai saya. Reza mengirim pesan Facebook tetiba yang kalau disimpulkan isinya adalah ungkapan kangen mengajak saya ketemuan. Singkat cerita kami berbalas pesan lalu saya malah punya ide untuk mengajaknya ke acara CIFP. Alhasil ia menyetujui, meskipun saya yakin yang dibicarakan di konferensi akan membuatnya ngantuk karena sama sekali tidak relevan dengan bidang kaji Reza, Sosiologi.

Berangkatlah saya ke Jakarta dari Jatinangor, sendiri pada Sabtu (17/9/2016) pagi. Sebenarnya banyak teman dari HI Unpad yang ikut konferensi ini, namun agenda mereka berbeda dengan saya. Mereka ada yang menginap dulu di hotel karena berangkat sejak Jumat (16/9/2016) sore. Saya sih inginnya seperti mereka, namun karena Jumat sorenya ada rapat sampai petang dan posisi keuangan sedang dihemat, akhirnya saya memilih berangkat Sabtu pagi yang mana merupakan hari CIFP dilaksanakan. Saya tidak takut telat berangkat mendadak, meski sebenarnya telat pun tidak apa-apa karena tahun lalu saya juga berangkat dengan cara seperti itu.

Saya menaiki bus Primajasa yang biasa dinaiki teman-teman HI yang kampungnya di Jakarta. Menurut teman saya Yanda, untuk sampai di venue CIFP di Mall Kota Casablanca saya perlu naik Primajasa jurusan Cililitan. Nantinya saya disarankan turun di Pusat Grosir Cililitan (PGC). Namun ketika melihat peta digital di gawai, saya rasa lebih baik turun di belokan sebelum ke PGC karena kalau sampai di PGC posisinya malah menjauhi venue. Setelah turun, saya berjalan sejenak menuju Halte Busway Cawang Ciliwung. Saya sangat senang menggunakan Busway. Angkutan itu bisa dibilang nyaman dan cepat –meski kadang harus berdiri dan rutenya berputar-putar-  hanya saja perlu menguasai rute ketika hendak menaikinya. Tapi jangan khawatir, di dalam Bus biasanya ada petugas pemberi penunjuk rute yang memakai baju bertuliskan PAM. Kalau tidak tahu rute, teman-teman bisa menanyakannya ke petugas PAM atau orang-orang yang ada di halte.

Di halte saya membeli kartu bayar elektronik sebagai pengganti transaksi uang kertas. Kartu bayar elektronik di Jakarta sangat bermanfaat untuk banyak hal, seperti naik Busway, naik Kereta Commuter Line, membeli barang di retailer dll. Di loket beli kartu itu saya bertanya jurusan bis yang mengarah ke venue. Ternyata tidak ada yang langsung, saya harus transit di Kuningan terlebih dahulu dan transit ke mana lalu ke mana saya tidak terlalu memperhatikan. Untungnya di tengah jalan ada orang yang baik hati membarengi saya supaya tidak kesasar. Alhamdulillah, saya sampai venue dengan menggunakan bis yang benar. 

Bertemu dengan Reza (kanan) di venue CIFP 2016
Sampai venue saya bertemu Reza yang ternyata sudah sampai lebih dahulu. Untunglah saya tidak telat. Saya masih sempat ngobrol sejenak dengan Reza sebelum akhirnya pembukaan dimulai. Seperti biasa pembukaan dimulai dengan sambutan, terutama dari Pak Dino Pati Djalal, founder Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) selaku pemilik acara. Dilanjut oleh keynote speech dari Menko Polhukam Wiranto dan Pak Hasan Wirajuda. Pemaparan mereka cukup sophisticated melihat jabatan dan pengalaman yang mereka pernah rasakan. Sayangnya, dari Jatinangor saya belum makan apa-apa sehingga yang ada di pikiran saya adalah pertanyaan ‘ini coffee break-nya kapan?’ Padahal di jadwal sudah saatnya coffee break berlangsung. Setelah sekitar setengah jam menunggu Pak Hasan memaparkan keynote speech, akhirnya coffee break tiba juga. Saat coffee break saya banyak bertemu teman-teman HI Unpad seperti Mike, Hugo, Jeffrey, Evi, dan Alan.

Setelah coffee break, lapar pun teratasi dan siap untuk menerima materi di sesi selanjutnya, yaitu bahasan tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Materi yang dipaparkan cukup bagus, hanya saja saya malah mengantuk saat mendengarkan materi di ruangan yang wilayah pesertanya digelapi. Sebenarnya saya sangat menunggu-nunggu bahasan di sesi kedua tentang  Laut China Selatan. Namun sembari membunuh rasa kantuk, akhirnya saya memutuskan melakukan live tweet bahasan yang sedang dibicarakan oleh para panelis.

Setelah beres sesi pertama, acara dihentikan untuk istirahat. Waktu tersebut dapat saya manfaatkan untuk kembali coffee break dan melaksanakan sholat dzuhur. Memang salah satu ketertarikan saya pada konferensi –baik nasional atau internasional- adalah coffee break dan free lunch-nya. Mbok kira saya datang jauh-jauh ke Jakarta cuma untuk materi? Tidak saudara-saudara, coffee break dan free lunch juga penting, hehe.

Pada saat sesi kedua sudah dimulai saya melihat panelis terdiri dari empat orang yang mewakili masing-masing: 1) Indonesia, 2) Kedutaan Besar China, 3) CSIS (think thank) dan 4) akademisi Filipina. Konfigurasi cukup seimbang saya rasa, karena menghadirkan pihak bersengketa, pihak netral dan akademisi yang mendalami isu tersebut.

Sesi kedua berlangsung cukup ramai. Seluruh pembicara memiliki posisi masing-masing untuk dipertahankan. Perwakilan dari Indonesia, Dubes Havas Oegroseno cenderung netral. Sedangkan perwakilan dari China, Mr. Sun Weide mempertahankan argumen traditional fishing right yang tidak tercakup di UNCLOS, bahwa China berhak atas sekitar 80 persen kekayaan alam di wilayah LCS. Selain itu ia juga menolak arbitrasi Den Haag pada bulan Juli yang memenangkan Filipina karena itu tidak sesuai dengan UNCLOS (saya lupa pasal berapa yang disebutkan Mr. Sun). Jusuf Wanandi dari CSIS tidak mau kalah, ia terus bersikukuh bahwa semua negara bersengketa perlu mengimplementasikan penuh DoC dan CoC. Terakhir akademisi dari Filipina, Richard Javad tidak henti-hentinya melawak (menurut saya) membicarakan Duterte dan berusaha sedemikian rupa untuk mengimbangi panelis yang lain dengan argumen-argumen akademisnya.

Benar saja sesi pembahasan LCS menjadi sesi yang paling seru. Hingga diskusi berakhir, tidak ditemukan keselarasan pendapat yang signifikan dan berujung pada dead lock karena waktu yang terbatas. Dalam benak, saya sebenarnya membayangkan mengapa tidak Indonesia saja –sebagai pihak netral dan dikenal baik oleh dua pihak (ASEAN dan China)- yang menjadi arbitrator dalam konflik ini? Tapi bayangan itu sepertinya utopis karena China sendiri pun ingin menyelesaikan masalah sengketa laut secara vis a vis dengan negara-negara bersengketa.

Sesi-sesi selanjutnya cenderung membosankan, mungkin karena lelah dari pagi duduk di ruangan terus. Pada sesi ketiga, saya bahkan ‘bolos’ dan malah mendatangi stan Kementerian Luar Negeri. Pertama saya hanya lihat-lihat saja, tapi karena tiba-tiba ada topik obrolan yang pas, saya pun ngobrol lama hingga sesi ketiga berakhir. Saya mengobrol dengan diplomat Kemlu bidang diplomasi publik, Mas Arya Daru yang kebetulan sedang bertugas di stan Kemlu CIFP 2016.

Berikut obrolan saya dengan Mas Arya Daru: Ngobrol dengan Diplomat Kementerian Luar Negeri

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00, tapi acara belum juga berakhir. Meski sesi terakhir ada Pak SBY, saya dan Reza memutuskan untuk pulang karena takut kemalaman. Kami pulang ke kosan temannya Reza dan menginap di sana. Untunglah temannya Reza yang bernama Mail itu baik sekali mau menampung saya yang notabene ndak punya hubungan sosial apapun dengan dia.

Kosan Mail dipilih karena dekat dengan Universitas Indonesia. Reza sengaja tidak menginapkan saya di rumah tantenya (yang menjadi tempat tinggal Reza selama kuliah di UI) karena posisinya jauh dari UI. Lagipula UI sangat terjangkau oleh angkutan Kereta Rel Listrik (KRL). Dari Kota Casablanca kami naik angkot ke Stasiun Tebet. Dari situ kami tinggal melanjutkan perjalanan naik KRL dan turun di stasiun Universitas Indonesia yang lokasinya hampir persis berada di tanah UI.

Menyempatkan mampir ke UI
Esoknya (18/9/2016) sebelum pulang, Reza menemani saya keliling-keliling di UI. Jujur saja baru kali ini saya memasuki kampus yang hampir setiap orang memimpikan untuk bisa belajar di sana. Saya pun tak terkecuali. Saya sebenarnya ingin kuliah di sana, hanya karena kemampuan tak sebanding dengan standar penerimaan, saya tahu diri. Meski begitu, almarhum ayah saya sebelum meninggal meminta saya untuk daftar di UI. Saya pun tak kehilangan akal dan mencoba memenuhi permintaan tersebut lewat SIMAK, tapi sayangnya gagal. Untunglah saya masih diterima di kampus tempat saya menimba ilmu saat ini. Saya bersyukur dengan keadaan saat ini. Bahkan bisa jadi saya lebih senang dengan keadaaan sekarang ketimbang seandainya saya kuliah di UI. Mungkin ini jalan hidup dan saya percaya kehendak Allah lebih baik daripada kehendak diri saya sendiri.

No comments

Powered by Blogger.