Teori Neoliberalisme dalam Hubungan Internasional

Setelah kedua perang dunia berakhir, berkembang pemikiran liberalisme kontemporer (neoliberalisme) yang terbagi dalam empat jenis, yaitu sociological liberalism; interdependence liberalism; institutional liberalism; dan republican liberalism (Nye, Jr 1988:246; Keohane 1989a: 11; Zacher and Matthew 1995: 121)
Sociological liberalism mencoba untuk memberikan asumsi bahwa masyarakat di dunia tidak hanya terikat terhadap keanggotaan warga negara. Lebih dari itu mereka mempunyai sebuah keanggotaan lain, misalnya kelompok keagamaan, kultur,kelompok bisnis dan lain-lain. Dalam hal ini hubungan internasional tidak selalu berfokus ke dalam hubungan antar pemerintahan sebuah negara saja, akan tetapi lebih kepada individu dan masyarakat sebagai aktor non-negara. Hal inilah yang dalam bukunya John Burton, World Society (1972) disebut sebagai cobweb model dari hubungan internasional. Hubungan-hubungan di dunia menjadi sedemikian kompleks seperti jaring-jaring karena tiap individu/kelompok memiliki koneksi dengan keanggotaan lain di berbagai belahan dunia. Dalam konteks ini pendapat-pendapat mengenai sociological liberalism lebih mengarah pada pembicaraan mengenai transnational relations (hubungan transnasional). Pemahaman mengenai sebutan-sebutan seputar istilah HI dijelaskan disini.
Interdependence liberalism menganggap bahwa sebuah hubungan transnasional baik negara maupun aktor non negara akan saling membutuhkan satu sama lain. Hubungan internasional setelah terjadi dua masa perang sudah berbentuk complex interdependence (Keohane, R & Nye, J. Power and Interdependence, 1977 dalam Jackson Jackson & Sorensens, 2013) dimana hubungan-hubungan di dunia tidak hanya didominasi negara saja melainkan semua aktor selain negara. Hubungan yang saling bergantung tersebut akan menjadikan bahasan low politics (lingkungan, penyakit pandemik, kemiskinan) lebih mendominasi ketimbang high politics (perang, damai, wilayah perbatasan, keamanan) di kancah global. Dengan begitu keadaan hubungan saling ketergantungan tersebut menjadikan negara-negara lebih kooperatif dalam penyelesaian masalah.
Institutional liberalism seperti sudah dijelaskan bahwa negara-negara akan membutuhkan sebuah institusi sebagai pengatur jalannya hubungan antar negara. Dengan begitu diplomasi akan berjalan lebih terbuka sehingga permasalahan yang melanda sebuah negara akan dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan bantuan negara lain. Woodrow Wilson yang menggagas hal ini ingin menjadikan keadaan anarchy dalam sistem internasional menjadi lebih jinak. Ibarat kata ketika sistem internasional adalah sebuah ‘hutan liar’, dengan adanya institusi tersebut diharapkan sistem internasional berubah menjadi layaknya ‘kebun binatang’ yang lebih teratur. Cara-cara seperti membentuk hukum internasional sebagai sebuah instrumen pengatur negara juga mencakup dalam institusi tersebut.

Source: (Jackson & Sorensens, 2013, p. 112)

Republican liberalism menyatakan bahwa negara-negara di dunia perlu menjadi demokratis dan menjunjung tinggi hak individu. Hal tersebut berawal dari asumsi bahwa masyarakat sebenarnya tidak menginginkan perang, perang hanya disukai oleh rezim militer dan pemerintahan yang cenderung otoriter. Dengan begitu, para individu bisa berpartisipasi untuk mengontrol negara supaya tidak melakukan peperangan. Keadaan politik domestik yang demikian juga akan berlaku pada negara lain, sehingga negara-negara penganut demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Michael Doyle (1983, 1986 dalam Jackson & Sorensens, 2013) juga memberikan tiga alasan mengapa antar negara demokrasi tidak berperang, berikut penjelasannya dalam gambar:

Source: (Jackson & Sorensens, 2013, p. 116)

References

Jackson, R. & Sørensen, G., 2013. Introduction to International Relations: Theories and Approaches. 5th ed. Oxford: Oxford Univerity Press.



4 comments:

  1. Hallo agaton artikelmu bermanfaat sekali dan alhamdulillah membantu tugas esai saya. dan tulisan di blogmu keren-keren :) salam kenal Dewi F. HI 2014 UNTAN

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo, salam kenal, alhamdulillah terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Semoga kedepannya saya sempat melengkapi tulisan teori HI.

      Delete
  2. mohon maaf sebelumnya bisakan kita chat secara pribadi? Saya saat ini sedang menulis esai untuk mata kuliah perdagangan dan keuangan internasional tpi saya masih sulit untuk mencocokkan suatu fenomena ke dalam teori HI dan membuat analisa saya harap kita bisa sharing mengenai ini. Ini fb saya dewi fitrianingsih cari yg HI universitas tanjungpura. Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah kebetulan saya ndak ngambil matkul 'pilihan' itu. Kalau di Unpad namanya Hubungan Perdagangan Global (HPG). Tapi insya Allah saya dapat secuil materinya dari Ekonomi Politik Global (EPG).

      Mungkin kalau yang Dewi bahas tentang keuangan internasional (terutama membahas IMF) sangat cocok sekali dengan bagaimana neoliberalisme memandang pentinganya institusi dalam hubungan internasional. Neoliberalism argues that the structure or design of international institutions plays an important role in determining the extent to which collective goals can be realized Sterling, 2013). Dengan adanya IMF, neoliberalisme memandang bahwa masing-masing negara dapat mencapai kepentingannya. Misal negara yang sedang dilanda inflasi dapat mengatasi inflasinya dengan meminjam uang dari IMF sedangkan negara kreditur dapat untung melalui bunga yang dihasilkan.

      Perdagangan internasional di sisi lain bisa kok dipandang dari sudut marxisme khususnya world system theorynya Immanuel Wallerstein sebagai implementasi pemikiran Marx yang berlaku pada level internasional. Capitalism for Marx was clearly not a purely ‘domestic’ phenomenon, hermetically contained within the territorial vessels of modern nation states. Its expansionist dynamics (rooted in the imperatives of competitive accumulation) overflowed those boundaries and outdistanced the geographical scope of state-based political authority. For Marx, the privatized social powers of capital have long had global horizons. Marx thought that the international activities of industrial capital (as distinct from the trading of merchant capital) were potentially transformative for the social organization of production on a world scale, spreading and intensifying the capitalist organization of production and greatly expanding socially
      productive powers (Rupert, 2013). Kapitalisme kemudian menjajaki tingkatan baru yaitu monopoly capitalism (Hobden & Jones, 2008) yang mana negara core akan mengeksploitasi negara peri-peri melalui instrumen perdagangan bebas dan privatisasi. Bisa dipertimbangkan pula dewi melihat-lihat isi Washington Consensus.

      References
      Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (Eds.). (2008). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (4th ed.). Oxford: Oxford University Press.
      Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S. (Eds.). (2013). International Relations Theories: Discipline and Diversity (3rd ed.). Oxford: Oxford University Press.

      O ya, added ya...

      Delete

Powered by Blogger.