Kasus "Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations"

Kronologi
Pada 14 Mei 1948 Dewan Nasional di Tel Aviv memproklamasikan negara Yahudi Israel. Beberapa jam setelah itu, Amerika memberikan pengakuan negara Israel secara de facto. Pada hari yang sama pula Inggris mengakhiri mandatnya di wilayah tersebut (Lenczowski, 2003, p. 252).

Kejadian tersebut membuat negara-negara Arab geram hingga kemudian mereka setelah itu segera mengirim pasukannya untuk menyerbu Israel. Negara-negara Arab yang mengirim pasukan  itu terdiri dari Suriah, Libanon, Transyordania, Irak dan Mesir. Kejadian tersebut mendapatkan perhatian yang luas di dunia internasional. Sehingga setelahnya, pada 20 Mei 1948 Dewan Keamanan PBB menunjuk Count Folke Bernadotte sebagai delegasi untuk memediasi konflik Arab-Israel tersebut. Bernadotte adalah seorang anak dari Putra Mahkota Kerajaan Swedia yang juga merupakan Ketua Palang Merah Swedia. Bernadotte adalah diplomat ulung yang pernah membebaskan tawanan yang berada di kamp konsentrasi Jerman pada Perang Dunia Kedua. Salah satu proposal terkenal Bernadotte untuk menciptakan kestabilan dan perdamaian adalah dengan menukar wilayah Negev menjadi wilayah Arab dan Galilee menjadi wilayah Israel.

 Gambar 1. Status quo wilayah Arab Israel 1948
Gambar 2. Proposal wilayah dari Bernadotte

Pada saat Bernadotte melakukan negosiasi dengan pimpinan Israel, banyak demonstrasi terjadi di wilayah Yerusalem. Demonstrasi tersebut merupakan ungkapan ketidaksukaan masyarakat yahudi dengan adanya Bernadotte yang melakukan lobi-lobi wilayah, terutama berkenaan dengan Yerusalem. Hingga akhirnya pada 17 September 1948 mobil rombongan Bernadotte dicegat oleh sekelompok orang bersenjata. Sekelompok orang adalah para teroris yahudi dari organisasi Lehi yang tidak suka dengan Bernadotte dan berniat untuk membunuhnya. Pada hari itu juga Bernadotte terbunuh.

Kasus Hukum
Setelah kejadian itu PBB mencoba membawa kasus tersebut ke ICJ dengan mengirim surat kepada Presiden ICJ pada 4 Desember 1948. Sesuai dengan Rapat Majelis Umum tanggal 3 Desember 1948, beberapa pertanyaan dimunculkan berkenaan dengan kasus ini:

  1. Dalam hal ketika pejabat PBB bertugas mengalami luka yang disebabkan karena keterlibatan suatu negara, apakah PBB sebagai organisasi internasional memiliki hak untuk mengklaim ganti rugi atas  kejadian tersebut untuk a) PBB dan b) bagi korban atau orang yang mengalami luka itu?
  2.  Dalam hal ketika jawaban poin I (b) adalah positif, bagaimana cara PBB untuk rekonsiliasi dengan hak tersebut yang mungkin juga dimiliki oleh negara korban yang bersangkutan? (Request For Advisory Opinion And Documents Of The Written Preceedings, 1948, p. 8)
Dua poin pertanyaan di atas cukup menjadi masalah dikarenakan secara tradisional klaim internasional biasanya hanya dimiliki oleh negara. Dalam hal yang urgen, maka perlu adanya redefinisi dari kata internasional klaim (Reparations Des Dommages Subis Au Service Des Nations Unies, 1949, p. 20). Lagipula, dalam Statuta Mahkamah Internasional artikel 35 menyebutkan bahwa “The Court shall be open to the states parties to the present Statue”. Selain itu negara Bernadotte (Swedia) juga tidak bisa mengklaim ganti rugi dalam hal ini karena dia sedang bertugas atas nama PBB, bukan negara Swedia. Berdasarkan artikel 100 Piagam PBB “International officials responsible only to the Organization”. Kalaupun PBB memiliki hak melaksanakan tugasnya di wilayah negara anggota, sayangnya Israel saat itu belum menjadi anggota PBB. 

Solusi
ICJ memberikan putusan bahwa PBB bisa melakukan klaim internasional, baik itu kepada negara anggota maupun tidak. Hal tersebut dikarenakan walaupun PBB bukan negara, akan tetapi PBB selama ini memiliki personalitas internasional yang serupa dengan negara.

Mengenai ganti rugi, ICJ juga memutuskan bahwa selain bisa menuntut ganti rugi untuk PBB, PBB juga bisa menuntut ganti rugi bagi individu kepada negara yang menyakiti individu delegasi PBB tersebut. Hal ini merupakan situasi baru yang perlu dianalisis. Pasalnya belum ada preseden yang membuktikan bahwa delegasi dari organisasi internasional bisa memiliki hak imunitas seperti layaknya delegasi negara. Pada masalah ini, dipertimbangkan aspek efektifitas dimana ketika delegasi organisasi internasional berusaha mendamaikan sebuah konflik, agar pekerjaan tersebut efektif, maka diperlukan suatu perlindungan yang melindungi delegasi tersebut.

Tentang rekonsiliasi antara PBB dan negara korban, maka ICJ tidak menyatakan memberikan prioritas lebih tinggi satu pihak di atas pihak yang lain. Dalam kondisi PBB mengklaim delegasinya sebagai agen organisasi atau negara korban mengklaim sebagai warga negaranya, keduanya tidak menjadi masalah. ICJ hanya memberikan pendapat bahwa ketika terjadi seperti itu, maka kompetisi antara organisasi internasional dan negara korban bisa dicegah dengan membuat persetujuan bersama. Namun secara hukum ICJ tidak memutuskan bagaimana seharusnya rekonsiliasi dilangsungkan.

Dampak Hukum Kedepannya
Organisasi internasional sekarang telah diakui memiliki hak dan kewajiban serta personalitas legal sendiri (Shaw, 2008) yang sejajar dengan negara walaupun tetap saja tidak dapat digolongkan sebagi negara.

Referensi

(1948). Request For Advisory Opinion And Documents Of The Written Preceedings. ICJ.
(1949). Reparations Des Dommages Subis Au Service Des Nations Unies. ICJ.
Lenczowski, G. (2003). Timur Tengah Di Tengah Kancah Dunia (3rd ed.). (A. Bixby, Trans.) Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Shaw, M. N. (2008). International Law (6th ed.). New York: Cambridge University Press.

No comments

Powered by Blogger.