What A New Semester

Bolos. Tindakan tersebut mengawali agenda perkuliahan saya di semester tiga ini. Tidak bermaksud sengaja, hanya saja saya sering kali menyebut tindakan tersebut sebagai ‘ketidakhadiran terstruktur’ (sama saja). Bukan tanpa alasan, hari pertama saya kuliah diawali dengan bolos karena saya harus blusukan bersama BEM FISIP UNPAD mengawal pengairan Waduk Jatigede di Sumedang yang kasusnya cukup kontroversial. Sebenarnya saya disana tidak melakukan banyak sesuatu yang berarti. Namun hal tersebut menjadi pengalaman pertama dalam sejarah hidup saya berada di dasar waduk (lebih tepatnya ‘calon’ dasar waduk).
Saya (tengah) berbincang dengan warga Jatigede
Kasus pengairan Waduk Jatigede menjadi kontroversial karena ketika pengairan dilakukan tanggal 31 Agustus 2015, warga masih banyak yang tinggal di wilayah genangan waduk dan enggan meninggalkan tempat tersebut. Saya mencoba mencari tahu mengapa mereka enggan pergi dan menemukan jawaban bahwa mereka masih mengharapkan tuntasnya gugatan mereka kepada pemerintah terkait ganti rugi dan lain-lain. Bahkan mereka akan terus disana sampai air benar-benar menyentuh teras mereka. Terus terang saja saya terenyuh dengan kondisi lapangan yang seperti itu. Padahal banyak media massa yang mengungkapkan bahwa sudah tidak ada masalah di lapangan terkait pengairan waduk tersebut.

Saya pulang dari tempat tersebut dengan merenung. Kalau saja rumah saya yang digenangi, saya tidak tahu harus berbuat apa.

Hari itu saya meninggalkan 2 mata kuliah sekaligus, yaitu Hukum Internasional dan Hukum Diplomatik. Padahal menurut kakak tingkat, mata kuliah tersebut lumayan angker. Tapi ya sudahlah, seperti kata orang-orang, hari pertama kuliah itu silaturahim.

Minggu pertama kuliah juga langsung saya lalui dengan kegiatan Grand Opening Tutorial Agama Islam. Saya diamanati sebagai koordinator logistik saat itu. Saya sempat menimbulkan kekacauan dan membuat panik ketua panitia karena pekerjaan saya yang kurang maksimal hampir membuat kegiatan tersebut tidak jadi dilaksanakan. Tapi karena bantuan Allah, saya berhasil membereskan kekacauan-kekacauan tersebut, yeah. 

Saya juga dipilih menjadi salah satu tutor agama islam bagi mahasiswa baru di FISIP. Saya bahkan tidak yakin dengan amanah tersebut. Walaupun begitu, saya berharap semoga saya semakin terpacu meningkatkan ibadah dan menimba ilmu.

Minggu-minggu pertama, kuliah saya jalani seperti biasa. Masuk kelas, duduk di barisan kedua di belakang teman saya Rizal dan memperhatikan dosen bicara. Suatu kala di minggu pertama kuliah, saya duduk di belakang dan banyak teman saya yang mengomentari tidak biasanya kamu duduk di belakang, Ton? Saya menjawab bahwa saya hanya ingin mendapat suasana baru di kelas. Padahal sebenarnya bukan itu saja. Tapi, yah biarkanlah waktu yang menjawab.
Suasana diskusi luar kelas untuk mengerjakan tugas Pengantar HI 2
Walaupun saya duduk di belakang kelas, dosen-dosen masih tetap mengenal saya karena saya selalu pencitraan aktif di kelas. Sampai suatu kala di saat mata kuliah Organisasi Internasional saya di panggil Plato (filsuf Yunani muridnya Socrates). “Nah jadi Al Qaeda, ISIS dan Taliban yang dimaksud .... mmm (sambil mikir dan nunjuk-nunjuk saya) siapa nama kamu? Plato ya?” jelas dosen saya yang sedang menjawab pertanyaan yang saya ajukan sebelumnya. Gubrak, rakyat di kelas itu tertawa. Esoknya, saya kembali bertanya dalam suatu bedah buku yang diadakan oleh kemlu, “Nama saya Agaton Kenshanahan.” Pembicara menanggapi,”Tadi pertanyaan siapa? Mas Kenca, atau Mas Kencana, ya?” Saya berkesimpulan bahwa nenek saya yang beragama kristen itu salah memberi nama tersebut kepada saya.
Kemlu mengadakan bedah buku berjudul Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia
Ada dua hal sebenarnya yang membuat saya plonga-plongo di kelas di semester tiga ini: 1) mata kuliah Bahasa Arab dan 2) mata kuliah Filsafat Ilmu Hubungan Internasional. Pertama bahasa Arab, bahkan saya tidak tahu harus bicara apa ketika dosen berkata ,”sobahul khair” (bener gini nggak nulisnya?). Kedua Filsafat, saya tidak memungkiri kemampuan akal sangatlah hebat, akan tetapi saya yakin kemampuan akal juga memiliki keterbatasan. Beberapa waktu lalu saya juga sempat mendengar teman-teman saya bercanda mencari jawaban apakah pernikahan sejenis, pernikahan dengan hewan, pernikahan sedarah dibenarkan? Mereka berdebat dengan menggunakan kemampuan rasio untuk mengukur kesalahan dan kebenaran. Hasilnya? Saya mendapatkan jawaban-jawaban gila.

Misal, dalam diskusi tersebut ada yang menyatakan,”Kalau LGBT di legalkan, kenapa kita tidak melegalkan pula pernikahan sejenis dll? Toh orang-orang itu sama-sama suka.” Dan seterusnya, dan seterusnya yang membuat saya hampir gila mendengarnya.

What a new semester? Saya kira saya semakin memahami apa yang saya pelajari. Ternyata saya mendapati saya sedang berada pada posisi makin kompleksnya pemikiran-pemikiran di sekitar saya. Entah itu dosen saya ataupun teman-teman saya.

Saya masih mencari semua teka-teki dunia yang tidak berhenti berganti setiap waktu. Walaupun begitu saya meyakini kebenaran ada satu, yaitu apa yang diturunkan Allah melalui nabi dan rasulnya. Biarlah saya terkurung dalam pemikiran itu. Setidaknya saya tidak tersesat, walaupun kadang saya tidak taat.

No comments

Powered by Blogger.