Narasi
Pernikahan Semudah Bertutur
Dalam tiga hari terakhir saya cukup rajin datang kondangan ke teman dan saudara yang sedang menikah. Memang, masa-masa lebaran seperti ini sedang musim kawin, eh, nikah, di kampung saya. Karena posisi saya sedang di kampung dan terundang, jadi sebisa mungkin harus berusaha untuk memenuhi undangan tersebut.
Di beberapa pernikahan, saya bahkan sempat datang untuk
menghadiri prosesi akad nikahnya. Ada yang menarik di sini. Sependek pengamatan
saya, menikah itu sebenarnya tidak susah-susah amat. Yang susah itu, menurut
saya, mempersiapkan-menjalani konsep pesta nikah, upacara adat dan tetek bengek
kultur yang membututinya sebagai buah implementasi budaya setempat.
Bagaimana tidak? Jalannya prosesi akad sebenarnya hanya
memakan waktu singkat. ‘Saya nikahkan’ lalu ‘saya terima’. Sederhana. Namun
rupanya realitas tak selalu sesederhana itu.
~
Setelah sampai ke kediaman tempat akad nikah dihelat, saya
mencari tempat duduk yang nyaman. Nyaman bagi saya adalah sebisa mungkin di
dekat tempat duduk itu ada satu-dua orang yang bisa diajak ngobrol. Beruntung
ada tempat khusus pemuda karang taruna. Akhirnya saya duduk di sana, meski
hanya bisa cengengas-cengenges melempar senyum sambil lalu sibuk terbenam di
depan layar hp.
Pengantin pagi itu adalah saudara jauh saya yang tersambung
silsilahnya melalui ibu dari ayah saya (nenek). Saudara saya itu menikah dengan
orang dari desa yang berada di kecamatan lain meskipun kecamatannya masih
bertetangga. Ini adalah kasus unik karena masyarakat di desa saya biasanya
menyambung tali pernikahan dengan orang sedesa lagi.
Menurut saudara saya ini, calon istrinya merupakan pacarnya
sejak menginjak bangku SMK. Sudah hampir 8 tahun mereka pacaran hingga akhirnya
orang tua sang calon istri menanyakan kepada saudara saya itu, “Jadi
kelanjutannya bagaimana?” Barulah niat untuk menikahi diungkapkan
terang-terangan.
Saya sempat berkelakar untung saja saudara saya itu tidak
sedang menjaga jodohnya orang. Maksudnya, pacarannya dengan siapa, menikahnya
dengan siapa. Kan banyak kejadian pacaran lama-lama, lalu menikahnya dengan
orang lain yang bukan menjadi pacarnya.
Kembali ke prosesi akad nikah. Tepat ketika saya melemparkan
pantat ke kursi tamu di dekat pemuda karang taruna, prosesi acara dimulai. Tapi
bukan prosesi akadnya, melainkan acara yang menjadi keseluruhan agenda yang
membungkus prosesi akad tersebut.
Sambutan demi sambutan dihelat menggunakan bahasa Sunda.
Dari pihak panitia, dari pihak laki-laki dan perempuan semua memberi sambutan.
Waktu berlalu hingga satu jam lamanya. Untung saja rasa bosan saya di acara
tersebut bisa diredam sambil main gim daring di hp.
Sudah selesai semua sambutan, semua orang di sana masih
harus menunggu perwakilan Kantor Urusan Agama setempat yang belum juga muncul
batang hidungnya. Perwakilan KUA ini akan bertindak sebagai penghulu, pembaca
doa, dan pemberi ceramah nikah.
Belum sampai sepuluh menit ditunggu, perwakilan KUA datang.
Prosesi akad nikah pun dimulai. Saya yang tadi hanya acuh mendengarkan sambil
main hp pun sekarang jadi serius. Hp saya simpan. Tampak semua orang di sana
ingin melihat bagaimana pernikahan dua insan berbeda kelamin ini terjadi.
Termasuk saya.
Dan.... satu, sepuluh, dua puluh menit setelah pengeras
suara diambil alih oleh perwakilan KUA, saya menunggu, akad tak kunjung
dilafalkan. Masih ada ceramah nikah dan doa-doa yang dipanjatkan sebelum akad. Saya
ingat betul salah satu poin ceramah nikah yang disampaikan. Yaitu bahwa jalinan
pernikahan perlu dilandasi oleh kasih sayang, bukan lagi cinta. Kalau soal
cinta prosesnya dari mata (paras) turun ke hati (rasa), tapi kasih sayang
prosesnya dari hati akan naik ke mata. Dampaknya, jika perasaan hati sudah
sayang kepada suami/istri, maka tak akan ada lagi orang lain yang lebih elok
parasnya ketimbang suami/istri sendiri.
Semua orang tegang. Kalau diamati, raut muka paling tegang
di sana ternyata bukan dari pengantinnya, melainkan ibu dari saudara saya itu.
Terlihat matanya berkaca-kaca, mungkinkah karena senang atau khawatir akan
ditinggal anaknya menikah? Tak ada yang tahu, kecuali nenek saya yang usut
punya usut sempat mencari tahu kenapa ibu saudara saya itu menangis.
Setelah itu akad dilafalkan. Dengan sekali lafal, pernikahan
pun terjadi. Riuh rendah ‘sah, sah’ dari para tamu terdengar. Perwakilan KUA
sekali lagi berdoa, “Barakallahu laka wa
baraka alaika wa jama bainakhuma fi khair.” Para tamu mengamini. Prosesi
adat dihelat setelahnya hingga berlangsung lebih dari sejam. Para tamu dapat
menyaksikan dan terlibat pada prosesi itu, tapi saya sih memilih makan di meja resepsi.
~
Secara teori, menikah itu ternyata tak lebih dari sekadar
akad. Intinya itu. Sisanya adalah resepsi/syukuran yang berfungsi untuk memberi
tahu masyarakat bahwa kedua orang tersebut telah sah secara agama dan sosial
agar tidak terjadi prasangka buruk atau fitnah di kemudian hari.
Pada hakikatnya akad adalah bertutur. Ketika akad tersebut
dilangsungkan, pikiran nakal saya langsung melayang-layang pada pernyataan JL
Austin dalam How to Do Things With Words (1962) bahwa
ketika bertutur mengenai sesuatu berarti kita sedang melakukan sesuatu.
Sederhananya, bertutur adalah bertindak.
Ketika tutur “Ku abdi
tarima nikahna... (Saya terima nikahnya...),” dikatakan maka sudah
berpindahlah tanggung jawab sang bapak terhadap anak perempuannya kepada
saudara saya yang menerima nikah anak perempuannya tersebut. Dengan menggunakan
media tutur/penuturan pula maka saudara saya itu telah bertindak dalam
menciptakan institusi keluarga suami-istri yang diakui secara agama dan sosial.
Realitas sosial bisa berubah hanya dengan bertutur demikian.
Menikah itu semudah bertutur. Tiap hari saya bisa bertutur
beribu-ribu kata, tapi kok ya saya tidak menikah-nikah juga? Apakah bertutur
sesulit itu?
Nu puguh mah teangan
wae heula calonna jeung ladang rizkina, Ton.
Oiya, betul juga.
No comments