Opini
Obrolan Pilpres dan Preferensi Politik Kita
Memasuki tahun politik, semua orang tiba-tiba jadi doyan
mengobrol soal copras-capres-cowopras-cawapres dan hal-hal yang membututinya.
Terutama buntut obrolan soal dukung-mendukung pasangan calon mana yang layak
dipilih. Padahal kalau dipikir-pikir jadwal pencoblosan presiden masih lama,
kira-kira setahun lagi. Namun orang-orang tampaknya sudah kadung menentukan
pilihan meski kampanye belum berlangsung.
Tak percaya? Buktinya, baru tadi pagi ada orang datang
bertamu ke rumah, mengantar undangan pernikahan. Bukan soal undangan nikahnya
yang jadi permasalahan. Namun basa-basi tamu tersebutlah yang tak segan-segan
mengajak ngobrol soal copras-capres pilihan.
“Nah, kira-kira milih mana nih di pilpres tahun depan?”
tanyanya dengan bahasa Sunda sambil menyerahkan undangan.
“Wah, bebas lah kalau soal itu,” saya jawab diplomatis.
“Yah, masak nggak ada bocoran?”
“Mangga, kalau soal capres mah pilihan masing-masing yang
penting rukun, hehe.”
Obrolan sebenarnya masih berlanjut. Kalau dideskripsikan,
obrolan itu menjurus kepada upaya persuasi tamu tersebut agar saya menghindari
satu calon dan memilih calon yang lain. Dari awal sudah dapat ditebak, obrolannya
akan berakhir demikian dan orang tersebut sudah memiliki determinasi pilihan
politik yang jelas.
Di alam demokrasi, persuasi semacam itu sebenarnya wajar.
Apalagi ketika disampaikan secara santun dengan didasari argumen penguat. Dan
itulah yang dilakukan tamu tersebut tadi pagi.
Biasanya saya cukup terbuka dengan pilihan pribadi yang
menyangkut hajat orang banyak, ya termasuk soal pilihan presiden. Namun tadi
pagi rasanya saya sedang malas saja mengobrol membeberkan preferensi politik
tersebut. Soalnya, momentum dan forumnya kurang tepat.
Lagipula, bagi beberapa–bahkan kebanyakan-orang, memilih
pilihan politik semacam ini seperti minum
teh botol sosro. Ingat kan kalian dengan jargon iklan produk minuman
tersebut? Apapun makanannya, minumnya teh
botol sosro.
Analogi pilihan politik dengan jargon iklan tersebut sangat
relevan. Pasalnya dalam pilihan politik, orang terkadang tidak peduli lagi
bagaimana kondisi baik atau buruknya sikap, fakta, dan rekam jejak yang
melingkupi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari para capres-cawapres. Yang terpenting,
kalau sudah suka terhadap satu sosok
calon, ya itulah preferensi politik yang terbentuk secara kognitif, afektif,
dan psikomotorik di masing-masing individu.
Saya menganalogikan lagi pilihan politik ini dengan
bagaimana seorang individu menyukai/ ngefans/ mendukung mati-matian suatu tim
sepakbola. Bagi beberapa orang, ada yang memang suka dengan suatu tim karena
selalu juara atau karena mainnya bagus.
Namun ada juga yang kadang-kadang jatuh cinta terhadap suatu
tim tanpa sebab. Misalnya, saya tidak bisa mengerti mengapa teman-teman saya
masih ada yang suka mendukung Liverpool meski sudah lama puasa gelar juara Liga
Primer Inggris. Atau, saya juga tak paham mengapa ada teman yang ngefans berat
dengan AC Milan yang, padahal, mainnya ndak
bagus-bagus amat dan suka menumpuk pemain tua.
See. Kadang-kadang
semuanya soal selera, soal suka-tidak suka. Preferensi seseorang terhadap suatu
pilihan mungkin tidak mudah dimengerti dan cenderung tidak bisa diubah meski diyakinkan
dengan argumen sejibun, persuasi kelas kakap, fakta-fakta seabrek, atau logika
berpikir yang runut.
Maka dari itu, kadang-kadang saya agak malas kalau dalam
sebuah obrolan yang membicarakan pilihan politik, lawan bicara saya sudah
tampak suka/selera atau menjadi simpatisan salah satu pihak. Apalagi kalau di
medsos, kerjaannya cuma sekadar share-share
konten (tidak tahu isinya hoaks atau bukan) sambil berkomentar ‘kubu sebelah begini, kubu saya lebih baik’.
Lah, kubu sebelah itu rakyat-rakyat Indonesia juga, tho.
Ya, coba dipikirkan baik-baik dan
tanyakan pada diri masing-masing. Mengapa kemudian muncul istilah cebong dan kampret di belantara media sosial Indonesia kalau bukan karena
preferensi politik yang mirip minum teh botol sosro tadi? Kalau sudah suka,
yowis, siapapun bisa jadi fans berat dan menutup sebelah mata fakta-fakta yang
ada.
Jadi untuk mengurangi suhu
politik yang mulai memanas, mari ayo mari dulur-dulur
sejawat agar menyampaikan preferensi politik yang santun. Tidak dilarang
milih karena suka/selera. Monggo, dulur-dulur yang mau milih Jokowi, sok, yang mau pilih Prabowo, silakan.
Yang dilarang itu ngerusak duduluran gara-gara
obrolan pilres. Rugi.
No comments