Bacaan
Baudrillard: Hancurnya Makna dalam Media
Ada satu tesis menarik yang ditulis Jean Baudrillard mewakili situasi media dan komunikasi masyarakat saat ini, “Kita hidup di dunia di mana makin banyak informasi, tapi makin sedikit makna.” Baudrillard menulis ini dalam bab berjudul ‘The Implosion of Meaning in the Media’ pada bukunya Simulacra and Simulation.
Terdapat tiga hipotesis berkenaan dengan pernyataan Baudrillard. Pertama, media menyampaikan informasi yang memproduksi makna akan tetapi kehilangan signifikansi akibat munculnya sel individu dan transmisi komunikasi yang jumlahnya tak terhitung. Atau informasi yang disampaikan media sebenarnya hanya teknik menyampaikan sesuatu yang sifatnya fungsional tapi tak memberi ketegasan makna apapun.
Kedua, gabungan dari kedua kemungkinan di atas yang mana informasi hanya akan menghancurkan makna sebenarnya dan media semakin kehilangan signifikansinya di masyarakat. Ketiga, ketika kemudian masyarakat menetapkan tolok ukur suatu sosialisasi dari aktivitasnya lewat media. Sehingga siapapun yang aktivitasnya tak terekspos media, maka aktivitas orang tersebut tak dianggap ada (teralienasi)
Ketiga hipotesis berkenaan dengan tesis Baudrillard di atas ada empirinya jika kita berkaca pada penggunaan media saat ini.
Pertama-tama, masyarakat kini sudah mengenal adanya new media yang salah satu bentuknya adalah media sosial. Melalui media tersebut, komunikasi berjalan secara kompleks dari berbagai aktor. Bahkan setiap aktor di dalamnya telah memiliki kapasitas untuk memproduksi informasi sendiri. Maka tak ayal apabila media tradisional seperti media massa kehilangan signifikansinya untuk memonopoli produksi informasi. Kita dapat melihat banyak kasus di mana media tradisional justru malah menyadur atau mengambil konten-konten dari media sosial, terutama yang viral.
Kemudian, selain karena signifikansinya melemah, media tradisional, yang saat ini memiliki tuntutan untuk memproduksi informasi secara cepat akibat persaingannya dengan media lain dan munculnya aktor pengguna new media, akhirnya memproduksi informasi berbasis jumlah dan kecepatan konten. Para reporter yang menulis berita hanya melakukan pekerjaan mereka untuk memenuhi target dari para editor. Detail dan makna yang dihasilkan tidak lagi penting karena asumsinya berita disajikan sekadar untuk memenuhi hasrat pemenuhan informasi audiens, agar mereka terlihat update. Pola penyajian dan konsumsi informasi semacam inilah lantas menghasilkan media-media tuyul[1].
Terakhir, empiri soal ekspose media akan membuktikan aktivitas sosial seseorang ternyata sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ketika Anda berwisata ke pantai atau naik gunung bersama teman-teman, paling tidak Anda mesti memperlihatkan dokumentasi dan mengunggahnya lewat media agar teman-teman lain yang tidak ikut percaya Anda benar-benar berwisata. Soalnya, “No pic, hoax,” katanya. Kalimat ‘no pic, hoax’ merupakan tolok ukur bahwa aktivitas sosial diakui karena adanya dokumentasi dan aktivitas media. Perkara apakah realitas sosial sebenarnya itu terjadi atau tidak, itu tak lagi benar-benar penting.
Semakin banyak informasi, semakin sedikit makna. Hal ini juga dapat ditafsirkan pula bahwa semakin masyarakat dibombardir informasi, maka semakin masyarakat kelimpungan untuk memproses atau men-decode informasi tersebut sehingga benar-benar memiliki makna. Terkadang, satu set informasi belum selesai dirangkai menjadi narasi utuh yang bermakna, sudah muncul informasi dengan topik lain sehingga dapat mengalihkan perhatian. Belum lagi jika kini marak hoaks yang membuat masyarakat perlu waspada dalam menerima informasi.
Jika demikian keadaannya terus-menerus, benarlah tesis Baudrillard. Makin banyak informasi, makin sedikit makna. Media lantas tak bisa lagi jadi sandaran pemaknaan suatu peristiwa karena sifatnya yang menggerus informasi sedemikian rupa sehingga lama-lama dapat menghancurkan makna.
[1] Meminjam istilah Muhamad Heycael (2018) berkenaan dengan media yang bertugas mencuri klik (uang) sebanyak-banyaknya.
No comments