Bacaan
Book Review: The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (Jhon J. Mearsheimer & Stephen M. Walt)
Source: dokumen penulis |
THE ISRAEL LOBBY AND US FOREIGN POLICY (2007)
Penulis:
1. Jhon J. Mearsheimer (University of Chicago)
2. Stephen M. Walt (Harvard University)
Judul terjemahan:
DAHSYATNYA LOBI ISRAEL
Penerbit: Gramedia
Tahun: 2010
Halaman: 732
Buku yang diterjemahkan menjadi Dahsyatnya Lobi Israel oleh Alex Tri Kantjono Widodo pada intinya memaparkan mengenai bagaimana sebuah koalisi longgar pro-Israel di Amerika memiliki pengaruh yang sedemikian signifikan terhadap kebijakan luar negeri Amerika. Mearsheimer dan Walt dalam pembuatan buku ini mencoba untuk menguraikan bukti-bukti untuk memberikan antitesis terhadap tuduhan sebuah gerakan persekongkolan rahasia/cabal yang biasa dipaparkan oleh apa yang kita kenal sebagai teori konspirasi.
Sebutan
‘koalisi longgar’ ini merujuk kepada lobi pihak-pihak yang pada dasarnya
merupakan individu atau organisasi di Amerika yang pro-Israel namun tidak ada keterikatan sama
sekali dengan pemerintah kecuali hanya sebuah kelompok kepentingan dalam sebuah
sistem politik demokrasi biasa. Kelompok kepentingan seperti kita ketahui ada
banyak macam, seperti pengontak individu, asosiasi, non-asosiasional, anomik
serta legal institusional, dan semua kelompok tersebut sah untuk memberikan
aspirasi kepada para pembuat kebijakan. Salah satu kelompok tersebut adalah American
Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang dalam hal ini bisa
diklasifikasikan sebagai kelompok asosiasional jika merujuk pada klasifikasi di
atas.
AIPAC
merupakan salah satu kelompok kepentingan dalam lobi yang mengurusi isu-isu
Israel di dalam tataran publik Amerika. Organisasi ini biasa mengadakan
pertemuan-pertemuan, konferensi, membuat buletin yang rutin untuk mempromosikan
Israel di hadapan publik maupun pemerintah Amerika supaya mereka tetap mendukung
Israel sebagai sebuah mitra di Timur Tengah. Tentu saja organisasi ini
berisi orang-orang Amerika, namun
kebanyakan dari mereka merupakan keturunan Yahudi pro-Israel yang memiliki rasa
nasionalisme terhadap bangsanya yang masih satu darah itu. Sulit dipahami
memang mengapa keturunan yahudi ini memiliki keterikatan nasionalisme dengan
bangsanya di Israel, namun hal ini bukanlah sebuah penghianatan atau standar
ganda sebagai seorang warga negara Amerika, karena dalam Undang-Undang Amerika
sendiri memperbolehkan warganya untuk memiliki kewarganegaraan ganda dan lebih
lagi boleh mengabdi menjadi angkatan bersenjata di negara lain.
Perlu
diketahui bahwa lobi-lobi di Amerika
tidak hanya sebatas lobi Israel, masih banyak kelompok kepentingan lain yang
juga mengisi sistem politik di Amerika, seperti lobi Arab yang berisi
orang-orang keturunan Arab, lobi India yang juga berisi orang-orang keturunan
India dan masih banyak lagi seperti lobi para pensiunan yang terus
memperjuangkan hak-hak pensiunan, lobi pertanian, lobi etnik yang masing-masing
dari itu semua memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri. Memang AIPAC dalam
konteks ini tidak berbeda layaknya kelompok kepentingan lain. Hal yang membuat
AIPAC berbeda adalah proses lobinya yang sangatlah memberikan pengaruh demikian
signifikan. Pengaruh AIPAC bisa tersebar kemana-mana, mereka bisa masuk ke
dalam kongres, lembaga eksekutif maupun berperan untuk membentuk opini
masyarakat supaya selalu mendukung Israel. Dalam kongres, AIPAC sendiri bahkan
memberikan perhatian tersendiri untuk mengkader dan memberikan dana kampanye
bagi mereka yang berani berjanji untuk terus mendukung Israel ketika mereka
terpilih menjadi anggota kongres nanti. Selanjutnya, dalam lembaga eksekutif
mereka bekerja sama dengan orang-orang neokonservatif yang percaya bahwa kemuliaan hegemoni Amerika perlu tetap diutamakan.
Sehingga segala bentuk tindakan sangatlah diperlukan untuk tetap memberikan
deterensi kepada Amerika. Dalam hal ini lobi Israel memanfaatkan atau barangkali
bekerja sama dengan para neokonservatif yang cenderung selaras pemikirannya
dengan Israel. Sedangkan untuk membentuk opini masyarakat supaya cenderung pro
Israel, organisasi ini menggunakan cara-cara yang persuasif seperti promosi
melalui media cetak, mengadakan konferensi dan lebih lanjut mereka bahkan masuk
ke dalam kampus-kampus untuk meraih dukungan dari kalangan akademisi.
Para aktor
lobi ini sungguh giat dalam menjual Israel kepada Amerika. Hal inilah yang
barangkali menjadi spesial bagi lobi Israel. Mereka bahkan bisa membuat
kritik-kritik terhadap Israel bungkam dengan cara mengucilkan dan
mendiskreditkan siapapun yang berbicara buruk terhadap Israel di depan publik,
salah satu caranya adalah dengan menuduh mereka anti-semit[1].
Hal tersebut menjadikan publik Amerika sulit untuk mengadakan diskusi-diskusi
yang terbuka mengenai Israel. Sehingga selama ini citra Israel selalu dianggap
baik oleh di hadapan publik Amerika yang membuat Amerika tidak bisa melakukan
apapun walaupun terkadang kebijakan Israel jika dicermati malah tidak sejalan
dengan kepentingan Amerika. Apapun
makanannya minumnya teh botol sosro, apapun yang Israel lakukan Amerika
selalu berada di pihak Israel. Barangkali analogi tersebut yang menggambarkan
kondisi rakyat Amerika ketika harus berhadapan dengan masalah-masalah yang
menyangkut Israel.
Lalu
apa motif yang dimiliki Amerika untuk selalu berada di pihak Israel dalam
setiap permasalahan? Dalam Bab 2 dan 3, Mearsheimer
dan Walt memberikan beberapa alasan mengapa Amerika harus selalu mendukung
Israel. Pertama, Israel adalah aset strategis pada saat perang dingin melawan
Soviet. Israel bisa membantu menahan deterensi beruang Soviet pada perang enam
hari 1967 dan perang Oktober 1973 dengan memukul balik tentara Mesir dan Suriah
yang notabene merupakan sahabat baik
Soviet. Israel juga pada saat itu bisa memberikan bantuan teknologi, konsultasi
keamanan dan permasalahan Kawasan Timur Tengah kepada Amerika. Memang benar Israel
sangat membantu pada masa itu, namun otomatis Amerika juga perlu merogoh
anggaran lebih untuk membantu Israel sebagai balas jasa atas apa yang telah
mereka lakukan. Anehnya bantuan ini sangatlah spesial dalam proses dan
besarannya dan terus berlanjut hingga saat ini, saat perang dingin telah usai.
Tentu saja jika demikian alasan mendukung Israel akan terus berkurang
relevansinya. Hingga akhirnya di saat perang dingin telah usai Amerika mulai
mencari alasan-alasan moral yang konyol
dan jauh dari sifat kebijakan luar negeri Amerika yang menurut saya realis,
atau berdasarkan untung rugi dan mempertimbangkan aspek take and give. Alasan tersebut berlanjut kepada yang kedua, yaitu
alasan-alasan moral seperti (1) mendukung pihak yang lemah, (2) karena Israel
sama-sama pengusung demokrasi, (3) kompensasi kejahatan masa silam (holocaust
dan sikap anti-semit Eropa), (4) Israel adalah indikator keberadaban di
tengah-tengah kawasan Arab yang ‘jahat’, dan yang terakhir yang cukup fenomenal
adalah karena (5) mendukung Israel adalah kehendak Tuhan. Alasan-alasan moral ini
tentunya cukup membantu dalam memperlancar lobi, akan tetapi selayaknya tidak
bisa menjadi alasan utama dalam tataran kebijakan luar negeri. Sungguh konyol
jika kita mempercayai Amerika yang membantu negara tanpa alasan strategis, dan hanya mengedepankan alasan-alasan moral
belaka. Bahkan dalam memberikan donor sekalipun Amerika tetap memiliki kepentingan
strategis yang melatarbelakangi pemberian donor tersebut.
Sebaliknya,
tindakan Amerika untuk mendukung Israel malah menjadikan sikap anti-Amerika
tumbuh subur di kawasan Timur Tengah atau terutama kalangan Islam. Pendudukan
Israel di wilayah Palestina diduga membuat orang-orang seperti Osama bin Laden menimbulkan
peristiwa 9/11. Salah satu alasan utama Osama bin Laden mengebom Amerika adalah
karena selama ini Amerika selalu mendukung Israel dalam urusannya dengan
Palestina. Dengan biografi bin Laden yang sangat empati terhadap masalah
Palestina, maka bisa dipastikan dukungan Amerika terhadap Israel secara
serampangan akan menimbulkan terorisme-terorisme yang baru, bukan membantu
meredam terorisme. Belum lagi kemudian
Israel seolah-olah memanfaatkan Amerika ketika Amerika menyerbu Irak pada tahun
2003 yang malah menyebabkan bencana kepada Amerika sendiri dan menguntungkan
Iran yang berada di kawasan tersebut. Anda akan terkejut jika membaca buku ini tepatnya
pada bab 8 bahwa ternyata lobi Israel menjadi salah satu unsur kunci dalam
serbuan Amerika ke Irak, walaupun tanpa adanya lobi belum tentu demikian. Kebanyakan,
dalam literatur-literatur mainstream kita selalu menemukan bahwa motif serbuan
Amerika ke Irak adalah dugaan senjata pemusnah massal, pelanggaran Hak Asasi
Manusia pada rezim Saddam dan metode preventif
kontra terorisme. Tiga hal tersebut bahkan tidak ada hubungannya dengan kepentingan
Amerika. Yang pertama, mengapa Amerika mempermasalahkan senjata nuklir –walaupun
kenyataannya di Irak tidak ditemukan senjata nuklir– Irak sedangkan dia tidak
menyerbu Korea Utara yang jelas-jelas memiliki nuklir dan sangat anti Amerika? Kedua,
permasalahan HAM, mengapa mereka tidak sekalian saja mencoba untuk
menggulingkan saja rezim Arab Saudi yang jelas-jelas jika diperbandingkan dengan
Amerika mereka menerapkan hukum yang tidak sejalan dengan doktrin HAM yang
menghargai nyawa manusia? Ketiga, jikalau hal tersebut dilakukan dalam rangka
menanggapi peristiwa 9/11, mengapa Amerika tidak langsung menyerbu saja
Afganistan tempat jaringan Osama bin
Laden berada? Ketiga motif tersebut tentunya menjadi lemah dan kurang masuk
akal bagi Amerika, sedangkan dalam buku ini terdapat fakta lain yang mencoba
untuk membahas masalah dari sudut pandang dalam negeri Amerika sendiri selain
yang tertera dalam literatur-literatur mainstream tadi.
Pada
dasarnya tindakan Amerika untuk
mendukung Israel tanpa pandang bulu tidaklah sejalan dengan kepentingan Amerika.
Kendatipun Amerika merupakan sekutu Israel, Amerika perlu meninjau kembali
hubungannya terhadap Israel. Karena alih-alih membantu Israel dengan
mengharapkan keuntungan bagi Amerika, tindakan tersebut malah membahayakan
Amerika dan Israel. Terlebih lagi, bantuan Amerika malah seakan-akan hanya
memberikan keuntungan keamanan Israel di satu pihak dan membahayakan
kepentingan Amerika di pihak lain.
Setidaknya
ada tiga kepentingan utama yang dimiliki Amerika saat ini, yaitu mengamankan minyak,
memastikan negara-negara bandit Timur Tengah tidak memiliki senjata nuklir dan kontraterorisme.
Dan untuk mewujudkan tindakan tersebut, Mearsheimer dan Walt setidaknya memberikan
beberapa rekomendasi bagi Amerika, diantaranya:
-
Perlunya melakukan identifikasi
kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah
-
Menyusun garis besar strategi untuk mengamankan
kepentingan-kepentingan tersebut: kembali kepada strategi offshore balancing
-
Mengembangkan hubungan baru dengan Israel:
memperlakukan Israel sebagai negara normal
-
Mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui
solusi dua negara
-
Mengubah lobi menjadi sebuah kekuatan yang
konstruktif dengan menyuburkan wacana lebih terbuka terhadap isu-isu Israel
Dari serangkaian penjelasan dari
buku ini, Mearsheimer dan Walt memberikan pemaparan dengan level of analysis[2]
dalam tataran dalam negeri. Terkadang mereka menggunakan generalisir terhadap
suatu fenomena namun tetap dikuatkan dengan beragam pendapat-pendapat individu
yang dianggap mewakili. Survei-survei dalam buku ini juga mendukung tesis-tesis
yang diberikan. Pemaparan masalah melalui sudut pandang dalam negeri membuat
kita lebih paham bagaimana kemudian kebijakan luar negeri dibentuk, sehingga
kita tidak hanya mengetahui alasan umum mengapa Amerika berbuat demikian dan
demikian setelah kebijakan tersebut ada atau dibuat, melainkan juga mengetahui
latar belakang yang mempengaruhi kebijakan tersebut secara lebih spesifik
dengan menelusuri black box yang ada
dalam pemerintahan Amerika.
Walaupun buku ini memberikan
data-data yang cukup objektif, akan tetapi Mearsheimer dan Walt tidak bisa menyembunyikan
kepura-puraannya untuk tidak berpihak. Saya yakin bahwa mereka berdua akan
dijuluki anti semit kendatipun mereka berulangkali dalam buku juga tidak
meragukan bahwa Israel adalah teman Amerika. Pada intinya melalui buku ini
Mearsheimer dan Walt ingin membuka mata rakyat Amerika supaya lebih
mengedepankan diskusi yang lebih terbuka mengenai kebijakan Amerika terhadap
Israel sehingga kebijakan yang dihasilkan kedepan bisa lebih objektif dan tepat
guna bagi Amerika Serikat maupun Israel sendiri.
[1]
Anti semit adalah sebuah julukan bagi seseorang yang membenci Yahudi karena siapa mereka. Hal ini tergolong rasisme
yang mana seseorang pasti tidak mau dijuluki orang yang rasis apalagi julukan
tersebut menimpa para tokoh masyarakat di Amerika yang mana akan sulit
mendapatkan citra baik ketika sudah mendapat julukan itu. Dalam hal ini julukan
anti semit digunakan sebagai senjata untuk meredam kritik terhadap Israel di
Amerika.
[2]
Sebuah metode tingkatan analisis yang digunakan dalam sebuah penelitian
hubungan internasional. David Singer memberikan dua tingkatan analisis yaitu negara dan sistem internasional.
Sedangkan Kenneth Waltz memberikan tiga tingkatan analisis, yaitu individu,
negara dan sistem internasional.
No comments