Pengalaman Saya dari Hari ke Hari Mengidap Corona: Phantosmia hingga Otak Lemot


Tak pernah terbayang kalau akhirnya saya jadi penyumbang angka-angka harian yang tiap hari dilaporkan Kemenkes sebagai pengidap virus corona. Bagaimana tidak? Saya sudah 2 kali divaksin Sinovac pada Maret 2021 lalu dan hampir selalu di rumah saja.

Namun rupanya, dua upaya tersebut tembus juga. Meski jadi upaya pencegahan, vaksin memang tak menjamin seseorang kebal dari corona. Sedangkan menghabiskan banyak waktu di rumah saja juga tak menjamin seseorang tak kena corona.

Namanya juga usaha manusia, ada saja celahnya. Setidaknya sebelum ada gejala, memang saya sempat mengantarkan mamah berbelanja. Ada juga 1 keluarga depan rumah yang bergejala corona semua tapi tak mau dites karena takut dicovidkan, padahal kami kerap berkontak dengan mereka.

Satu keluarga depan rumah sempat demam semua. Yang paling parah adalah sang ibu yang hingga tanggal 25 Juli 2021 tak nafsu makan, mukanya juga pucat. Ia sudah berobat dan mantri meresepkan obat untuk gejalanya, termasuk vitamin B yang ditunjukkan kepada kami.

Kebetulan saya dan mamah hendak pergi ke pusat perbelanjaan setempat untuk membeli sesuatu hari itu. Di jalan, tetangga tadi kami belikan jeruk dan vitamin C dalam bentuk minuman dan tablet. Sepulangnya, mamah memberikan kedua asupan tersebut agar tetangga kami itu diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan vitamin C-nya dan bisa cepat sembuh.

Esoknya, 26 Juli 2021, saya kerja di rumah seperti biasa. Mamah kerja di tempat kerjanya, tidak WFH karena jaga toko material. Sang ibu tetangga melaporkan sudah kembali nafsu makan. Ia menyebut sudah meminum vitamin C pemberian kami. Tidak pasti apakah itu jadi penyebab nafsu makannya, namun kami turut senang.

Naasnya, siang itu saya justru tidak enak badan. Padahal saat itu saya baru saja mau memulai kerja online piket siang. Sorenya badan saya mulai agak lemas dan badan saya menghangat. Mulai saat itu juga, saya pakai masker dan meminta segenap keluarga mengikutinya.

Awalnya saya menduga ini masuk angin biasa. Karena itu, saya minta tolong kerokan ke mamah. Badan saya agak enakan, tapi tetap menghangat. Biasanya saya akan langsung tidur dan berharap enakan esok harinya. Tapi karena saat itu posisi sedang bekerja hingga jam 12 malam, akhirnya saya minum parasetamol.

27 Juli 2021 (H+1 Gejala)

Saya pergi ke puskesmas karena ingin memastikan kondisi badan. Screening awal menunjukkan suhu dahi saya 36,6 (cukup normal). Namun saya mengeluhkan kondisi seperti demam, pilek, dan batuk. Semua gejala itu bergejala sedang, artinya tidak terlalu parah tapi tetap tidak nyaman di badan.

Dokter menanyai apakah sempat kontak erat dan tidak bisa mencium bau (anosmia). Saya jawab tidak. Sebab, saya tidak bisa mengatakan berkontak erat dengan tetangga saya yang tidak dites corona. Saya juga masih bisa mencium bau.

Puskesmas Cimahi adalah faskes terdekat dari rumah saya.

Ada satu gejala mencurigakan lagi di dada, yakni saat saya bernapas, dada seperti sedikit nge-loss. Tidak sesak, tapi sedikit menimbulkan rasa tidak nyaman. Saya juga sempat menyebut keluhan ini dan bertanya apa ciri-ciri pneumonia. Lalu dokter menjawab, salah satu cirinya adalah napas lebih dari 24 kali. Namun ia menyebut perlunya rontgen untuk memastikan adanya gejala tersebut. Ini tentu butuh rujukan (dan juga biaya).

Dari puskesmas saya diresepkan obat demam (parasetamol), obat alergi untuk pilek (CTM), obat batuk (guaifenesin), dan vitamin B complex. Saya yang biasanya malas minum obat karena efek sampingnya, pun tiba-tiba jadi rajin meminumnya sepulang dari puskesmas.

28 Juli 2021 (H+2 Gejala)

Obat saya minum secara rutin di sela-sela saya bekerja. CTM tiga kali sehari bikin kepala pusing dan mudah mengantuk. Padahal saya harus piket sampai tengah malam.

Tapi obat puskesmas, alhamdulillah, manjur meredakan gejala setelah diminum. Pilek saya mulai mereda sedikit-sedikit. Yang tadinya sempat membuat hidung buntu, kini tidak lagi. Walaupun begitu, tubuh saya masih sedikit lemas.

29 Juli 2021 (H+3 Gejala)

Satu gejala yang bisa dipastikan membaik adalah pilek. Adapun demam masih terasa. Meski demikian, demam turun kalau habis minum obat. Untungnya saya rajin meminumnya dengan dosis 3 kali sehari.

Gejala batuk memang masih ada, tapi tidak memburuk atau membaik. Gejalanya sedang-sedang saja.

Sore hari itu, di tengah waktu kerja ada 1 gejala kunci yang muncul, yakni saya tidak bisa mencium bau. Saya memastikannya dengan mencium minyak kayu putih, bawang merah, hingga pengharum ruangan yang menyengat. Saya masih bisa mencium aromanya dan mengidentifikasi bau dimaksud, tapi sangat samar.

Saya mengkonsultasikan situasi dengan orang kantor untuk izin kerja esok harinya. Sebab, saya mau tes antigen. Saya sebenarnya sudah ingin bed rest sejak ke puskesmas, tapi saya merasa tidak enak izin kerja padahal habis libur 2 hari. Memang sakit ini kadang-kadang waktunya tidak pas ~ ya kalo bisa milih-milih waktu sakit, orang gak mau sakit dong.

Salahnya juga, saya lupa meminta surat sakit. Habisnya dokternya tidak menawarkan, sih. Padahal kan saya WFH. Dikira pengangguran kali ya mentang-mentang berobat ke puskesmas, pakai BPJS lagi yang gratisan haha.

Tampak muka di puskesmas: pucat.

30 Juli 2021 (H+4 Gejala, H+0 Positif)

Pagi itu saya sempat berencana ke rumah sakit untuk tes antigen, tapi saya urungkan. Sebab, jaraknya paling dekat 15 km dan tesnya pun berbayar. Saya juga diberi tahu oleh calon istri saya yang Sarjana Kesehatan Masyarakat itu malam sebelumnya, kalau tes yang mengarah ke gejala corona dan jadi kontak erat di Puskesmas adalah gratis.

Mendengar kata ‘gratis’ saya pun langsung cus ke Puskesmas. Benar saja, saat di lobi sang resepsionis keheranan karena 3 hari lalu saya sudah ke tempat itu. Saya bilang langsung bahwa saya punya gejala corona dan tidak bisa mencium bau.

“Oh, my God,” kata sang resepsionis. Ia pun setengah membanting Kartu Indonesia Sehat saya yang sudah dipegangnya sehabis saya berikan.

Saya menunggu setengah jam, lalu dites antigen. Hasilnya? Dua garis biru, eh, dua garis merah yang menandakan saya positif SARS-CoV-2.

Via chat, saya mengabari orang rumah agar makin waspada. Memakai masker di rumah, memisahkan alat mandi-makan, hingga tak ada lagi kontak langsung hingga setidaknya 10+3 hari ke depan.

Resmilah saya diisolasi. Petugas karantina datang ke rumah lalu saya dites saturasi oksigen menggunakan oximeter. Tes pertama, agak lama, lalu menampilkan hasil 93. Saya sempat panik, sebab kata pengusaha Menkes Budi Gunadi Sadikin, saturasi di bawah 94 mesti pergi ke rumah sakit.

Bidan Puskesmas yang ke rumah saya sempat menanyakan ke aparat desa yang ikut mendampingi apakah ada stok tabung oksigen di desa. Aparat desa yang menjabat bagian Kesra itu menjawab negatif. Saya yang mencoba optimis pun minta dites sekali lagi, hasilnya 95. Alhamdulillah.

Siang itu pihak kantor menghubungi. Oleh atasan saya, Mas Habibi, saya diminta untuk mengajukan oximeter ke tim HRD. Untungnya mereka support. Saya langsung dikirimi benda yang sangat dibutuhkan kala isoman itu, yang kalau dibeli online seharga 150 ribu. Saya juga dikirimi vitamin dan suplemen kesehatan.

Di masa isolasi, tak ada obat khusus yang diresepkan. Dokter Puskesmas memberi obat sesuai gejala yakni obat demam (parasetamol), obat batuk (guaifenesin), dan multivitamin. CTM sudah saya tidak minum lagi karena gejala sudah mereda.

Sebagai gantinya, dokter memberi obat radang (methylpreonisolone). Sebab, saya sempat mengeluhkan gejala baru yakni tenggorokan yang gatal di bawah mulut hingga trakea (gile, bahasanya ilmiah betul, padahal search di gugle dulu).

1 Agustus 2021 (H+5 Gejala, H+1 Positif)

Penciuman saya sudah hilang 100 persen. Sebelumnya saya bisa mencium sedikit aroma yang menandakan bau sebuah benda. Kini ketika saya mencium minyak kayu putih, aromanya nihil.

Belakangan, makanan di mulut pun agak terasa hambar. Saya sempat mengeceknya dengan mengecap garam mentah, untungnya masih ada rasanya. Artinya saya kehilangan sebagian indera perasa, tapi hal itu tidak berlaku untuk makanan yang punya rasa dominan seperti garam-asin atau kecap-manis.

2 Agustus 2021 (H+6 Gejala, H+2 Positif)

Sebagian gejala seperti batuk, radang, dan dada nge-loss sudah mereda. Namun, obat masih rajin saya minum terutama parasetamol.

Menurut saya, parasetamol ini penting dimiliki oleh pasien isoman dan mesti rajin diminum. Sebab, pengalaman rekan kerja saya yang kena corona, dia minum parasetamol pada saat awal gejala saja. Lalu setelah gejala mereda, dia setop meminumnya. Esok harinya, ia demam tinggi lagi.

Penciuman saya mulai kembali. Saya sempat bisa merasa aroma sabun, kuah soto, dan minyak kayu putih meski sangat samar.

Pada hari ini, paket vitamin D dan suplemen dari kantor sampai di rumah. Saya diberi Rhea Health Tone, suplemen tetes berupa minyak esensial. Pada bungkusnya tertulis, suplemen itu bisa memperbaiki sistem imunitas tubuh. Saya coba minum 1 ml malam hari setelah makan.

Ternyata saya kurang cocok dengan suplemen tersebut. Selain rasanya aneh, setelah minum suplemen itu perut saya mual. Saya lihat di YouTube banyak testimoni menarik dari suplemen ini. Tapi malam itu juga saya putuskan menyetop meminumnya lagi.

3 Agustus 2021 (H+7 Gejala, H+3 Positif)

Badan saya mulai enakan untuk dipakai beraktivitas. Apalagi kalau aktivitasnya hanya tidur-tiduran seharian, huh, nikmat sekali ini bagi kuli ketik yang kerjanya 10 jam sehari. Di hari ini, obat radang dan batuk saya setop. Parasetamol pun hanya diminum sekali saat pagi.

Parasetamol kemudian saya setop karena demam sudah mulai reda. Lagipula ini sudah hari ketujuh saya demam. Atasan saya Mas Habibi bilang kalau dia merasa demam hingga hari ke-4.

Saya juga mulai lebih cepat berkeringat setelah minum parasetamol. Belakangan mamah bilang kalau baju saya bau obat. Saya berasumsi kalau obat parasetamol tidak terserap tubuh dan justru keluar dari keringat.

Hanya tinggal anosmia yang masih bercokol. Saya pun bertanya via chat ke petugas isoman mengenai kapan biasanya kehilangan penciuman pasien corona mereda.

“Kalau anosmia memang penyembuhannya lama dan tiap orang beda-beda waktunya, bisa dilatih penciumannya dengan terapi minyak kayu putih sering-sering dihisap aja baunya,” kata petugas karantina itu.

Di hari ini saya mulai pede hendak bekerja kembali karena mendingan. Tapi saya separuh khawatir demam akan kembali lagi dan kondisi badan makin lemas. Akhirnya saya coba pantau dulu beberapa hari ke depan.

4 Agustus 2021 (H+8 Gejala, H+4 Positif)

Hanya tinggal multivitamin saja yang rajin saya minum. Rasa makanan pun sudah mulai kembali menguat. Tidak sehambar biasanya.

Minum vitamin ini juga penting. Terbukti, sejak gejala 1 saya tidak pernah kehilangan nafsu makan. Ini adalah situasi yang patut disyukuri, karena biasanya orang sakit tidak doyan makan. Walhasil pemulihannya jadi lambat.

Hari ini saya merasakan gejala baru selesai tidur siang. Bangun tidur, hidung saya mencium bau asap, seperti bau perangkat elektronik korsleting atau gosong terbakar. Ini seperti mimpi lantaran penciuman saya belum membaik dan merasa masih anosmia. Saya cium minyak kayu putih pun masih samar sekali.

Belakangan saya tahu dari situs IG kawalcovid19.id, bahwa gejala tersebut dinamakan phantosmia. Ini adalah gejala halusinasi penciuman atau hidung membau bau yang sebenarnya tidak ada.

5 Agustus 2021 (H+9 Gejala, H+5 Positif)

Multivitamin masih saya minum. Penciuman yang tadinya sangat samar pun mulai membaik sedikit demi sedikit. Progresnya kira-kira 5 persen lebih jelas daripada hari-hari sebelumnya.

Saya pun sudah minta re-join bekerja kembali. Meski demikian, malamnya saya sempat minum parasetamol lagi karena pusing sebelum tidur.

6 Agustus 2021 (H+10 Gejala, H+6 Positif)

Saya sudah mulai kerja, WFH seperti biasa. Awalnya saya merasa biasa saja karena pekerjaan saya, ngetik, tidak banyak memerlukan aktivitas fisik berat. Tapi beberapa jam kemudian, saya mulai merasa kelelahan.

Agaknya saya tidak memperhitungkan kalau dalam bekerja itu ada faktor menguras mental. Hal itu tentu saja bisa memengaruhi fisik.

Suhu tubuh normal sekitar 36,7-36,8 di termogun, tetapi saya merasakan beberapa kali badan saya menghangat. Mungkin seharusnya saya tidak memaksakan bekerja.

7 Agustus 2021 (H+11 Gejala, H+7 Positif)

Bekerja saat weekend memang tidak terlalu menguras tenaga. Saya merasakan tubuh saya sudah makin enteng untuk dipakai bekerja. Tentu saja ini berkat tidur malam sebelumnya yang cukup nyenyak dan cukup durasinya. Penciuman makin membaik lagi tapi belum pulih total.

8 Agustus 2021 (H+12 Gejala, H+8 Positif)

Bau sabun hingga minyak kayu putih makin tercium jelas aromanya walaupun belum 100 persen. Saya mulai keluar rumah hanya untuk berjemur dan menyirami tanaman. Belakangan saya menyesal baru kali ini berjemur. Padahal badan terasa bertenaga setelah berjemur.

Harusnya saya mulai berjemur saat awal gejala corona muncul. Tapi saat itu saya khawatir sekali menulari orang-orang sekitar kalau keluar masuk rumah. Solusinya: saya keluar masuk lewat jendela kamar, agar tidak melewat ruang tamu dan ruang keluarga yang biasa dipakai keluarga saya lalu lalang.

Hari ini adalah hari terakhir saya minum obat, tepatnya multivitamin. Sebab, tablet berwarna merah muda bertuliskan ‘mf’ pemberian puskesmas itu sudah habis saya minum sehari sekali. Mungkin beberapa waktu ke depan saya bakal menambah asupan dengan suplemen vitamin D3 5000 IU pemberian kantor, tapi tidak akan sering-sering karena dosisnya tinggi.

9 Agustus 2021 (H+13 Gejala, H+9 Positif)

Kerja enteng, penciuman makin terang, gejala lain sudah clear. Itulah kira-kira gambaran kondisi badan saya ketika ditanya pihak kantor pada hari ini.

10 Agustus 2021 (H+14 Gejala, H+10 Positif)

Pekerjaan tidak terlalu hectic, tapi saya butuh waktu ekstra untuk memahami suatu hal. Saya tidak langsung mengerti tentang suatu perintah. Kadang butuh waktu lama memahaminya dan saya harus membaca instruksi atasan berkali-kali agar mengerti.

Saya mengeluhkan lemot otak. Sulit berkonsentrasi dan connecting the dot, mengaitkan satu ide dan ide lainnya. Saya tanya kepada Ketua Satgas COVID-19 di kantor katanya memang itu adalah gejala corona. Sebuah penelitian di Inggris juga menyebut kalau ada gejala penurunan IQ 7 poin bagi mereka yang sudah kena COVID-19.

Saya harap sih hal ini tidak berlangsung lama.

11 Agustus 2021 (H+15 Gejala, H+11 Positif)

Kerja agak santai tapi sudah mulai bosan isolasi.

12 Agustus 2021 (H+16 Gejala, H+12 Positif)

Kerja juga santai. Saya malah sudah mulai bisa membuat tulisan opini lepas yang cukup membutuhkan kemampuan berpikir lumayan mendalam. Sudah mulai lumayan fokus.

13 Agustus 2021 (H+17 Gejala, H+13 Positif)

Isolasi sudah selesai pada tanggal ini. Menurut tracer lho, ya, jadi saya tidak ngarang-ngarang sendiri. Saya sudah mengajukan libur hari ini, dan fokus pergi ke rumah sakit untuk tes antigen yang jaraknya 30 km dari rumah, RS Juanda.

Tampak muka di rumah sakit.

Jauh memang, tapi di kota ini, itu satu-satunya RS yang jadi provider rekanan asuransi swasta fasilitas kantor. Kenapa tidak di puskesmas? Pihak puskesmas ternyata tidak mewajibkan tes lagi setelah isoman. Mereka hanya akan memberi surat keterangan selesai isoman.

Setelah saya cek, memang panduan Kemenkes demikian. Saya kira, tujuannya adalah menjaga stok alat antigen agar tidak cepat habis. Ya, namanya tes gratis, apa mau dikata.

Saya mendaftar pukul 9.30-an, lalu baru selesai diswab 11.45. Cukup lama memang, karena saya baru kali itu mendaftar jadi pasien. Terlebih sepertinya baru kali itu ada orang swab antigen pakai asuransi. Pihak pendaftaran RS pun sempat ragu, memang bisa?

Bisa dong. Selain saya sudah konsul ke call center asuransi, saya juga sudah memastikannya ke costumer care RS bagian asuransi swasta. Prinsip umum asuransi yang dipakai kantor saya sebenarnya sederhana, penyakit apa pun yang terdata di list klaim akan diklaimkan ke asuransi asal: ada penegakkan diagnosis dari dokter.

Jadi, prosedurnya saya bakal konsul dulu dengan dokter umum. Setelahnya saya diberi resep-saran-rujukan untuk tes antigen di RS yang sama. Di situlah diagnosis terbit.

Ya saya bilang saja ke dokter masih lemas dan otak lemot karena post-COVID-19. Lalu dokter tanya ini-itu. Dia tanya memang sudah 13 hari? Saya jawab sudah, saya pun bisa menunjukkan surat positif antigen dan pernyataan isoman dari puskesmas, tapi dokter tak tanya.

“Ya saya kan tinggal dengan keluarga dok, ada lansia juga. Jadi saya mau memastikan saja, kalau saya sudah aman tidak di kamar saja dan bisa mengambil makan sendiri. Karena saya selama ini diambilkan makannya,” kata saya menjelaskan.

Saya akhirnya diberi resep vitamin dan surat rujukan antigen. Taraa. Akhirnya, semua biaya dibebankan ke pihak asuransi. Dan hasil tesnya, alhamdulillah. NEGATIF.

Belakangan, saking senangnya sudah negatif, saya ngechat ke dokter RS tersebut yang sekaligus anak pemilik rumah sakit karena dia kenalan saya. Saya mengapresiasi kalau RS yang didirikan almarhum bapaknya itu sudah terdaftar laboratoriumnya di jejaring Kemenkes sehingga datanya langsung terintegrasi dengan PeduliLindungi. Dia malah bilang padahal kalau tahu saya mau diswab, bakal dibantu permudah. Haha. Orangnya baik sekali. Tahu gitu saya minta tolong ke dia.

Tips-tips

  1. Saat ada gejala corona, sebaiknya langsung ke faskes terdekat, ke puskes saja pakai BPJS pun oke. Semakin awal diketahui gejala dan ditangani, insyallah, risikonya semakin sedikit.
  2. Jika bergejala tapi belum pasti corona, sebaiknya tetap pakai masker di rumah.
  3. Saat dinyatakan positif, tidak perlu panik. Langsung beri tahu keluarga dan minta guideline apa yang harus dilakukan ke pihak tracer.
  4. Kalo isoman, di kamar saja. Batasi pertemuan fisik. Makan minta diambilkan. Pisahkan alat makan-mandi. Kalau bisa nyuci alat makan sendiri.
  5. Satu rumah wajib pakai masker dan cuci tangan tiap selesai aktivitas.
  6. Minum obat yang rutin dan koordinasi selalu dengan pihak tracer.
  7. Kalau ada dana, beli termometer, oximeter, dan masker bedah. Kalau perlu minta ke kantor.
  8. Lakukan hal-hal yang menyenangkan di kamar untuk menambah imun. Ya sambil berdoa.
  9. Kalau memungkinkan keluar rumah tanpa berkontak dengan keluarga, rutinlah berjemur.
  10. Yakinlah sembuh melalui perantara obat yang diberi dokter. Terbukti, obat-obat generik biasa dari puskesmas ini ampuh.
  11. Kalau bosan telepon teman, minta supportnya.
  12. Jangan makan empon-empon, kalo gak doyan. <- Ini gaada hubungannya sih.

No comments

Powered by Blogger.