Menyoal Densus Tipikor

Tulisan ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat Jawa Barat, Kamis (26/10/2017).

D
i tengah santernya wacana pelemahan-pembubaran KPK sejak adanya pansus hak angket DPR, Polri bagai ketiban durian runtuh. Bagaimana tidak, dari kejadian tersebut, Polri kini jadi berkesempatan kebagian mengurusi tindak pidana korupsi secara ekstensif dengan wacana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor).

Wacana pembentukan Densus Tipikor sebenarnya sudah dari Juli 2017 lalu dicetuskan. Saat itu Komisi III DPR mendorong Polri untuk membuat Densus ini di tengah rapat kerja dengan Kapolri Tito Karnavian. Saat ini, wacana tersebut makin menjadi realita.

Tidak main-main, Polri telah mengajukan rencana anggaran untuk membikin Densus ini sebesar 2,6 triliun. Tidak masalah memang kalau belum ada lembaga yang mengurus urusan pemberantasan korupsi dan betul terjadi kegentingan untuk itu. Tapi kalau yang melatarbelakangi pembentukan Densus hanya terkesan karena adanya titipan politik, kita tentu harus skeptis.

Pasalnya, wacana pembentukan Densus Tipikor kebetulan hadir di saat KPK sedang mengusut kasus megakorupsi KTP-el yang telah merugikan negara sebesar 2,3 triliun. Ketika KPK mulai memburu oknum parlemen, mereka melawan balik dengan membikin pansus angket yang akhirnya mewacanakan pelemahan-pembubaran KPK.

Tapi nampaknya, usulan pelemahan-pembubaran KPK cukup kontradiktif dengan keinginan rakyat. Saat ini KPK tengah mendapat dukungan kuat dari rakyat sehingga pembubaran KPK dapat menuai kritik. Boleh jadi Densus Tipikor ini adalah jalan tengah agar secara sistematis kewenangan KPK dibatasi dan pada akhirnya, bubar.

Kabar terbaru yang terdengar dalam pewartaan sejumlah media massa saat ini, rencana pengadaan Densus Tipikor bahkan hendak menihilkan peran pemberantasan korupsi oleh KPK. Ke depan KPK direncanakan hanya menjelma sebatas sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi dalam pencegahan korupsi. Adapun penanganan korupsi akan diambil alih langsung oleh kejaksaan dan kepolisian.

Yang lucu dari wacana di atas adalah, apa hakikat nomenklatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalau bukan untuk memberantas korupsi? Kalau fungsinya hanya sebagai pencegah korupsi, ya, namanya bukan Komisi Pemberantasan Korupsi melainkan Komisi Pencegahan Korupsi. Ini tentu merupakan sebuah siasat dari pihak-pihak yang hendak mematikan KPK secara perlahan dan sistematis.

Kalau memang betul ada sejumlah evaluasi yang harus dilakukan KPK terkait lembaganya, mestinya wacananya bukan 'bubarkan' tapi 'perbaiki'. Toh, selama ini rakyat memandang KPK baik-baik saja. Kok tiba-tiba ketika usut-mengusut kasus megakorupsi yang diduga melibatkan oknum parlemen, KPK jadi terkesan tidak baik-baik saja. Kan, aneh?

Justru KPK selama ini telah berperan besar dalam memberantas para koruptor yang menggerogoti uang rakyat. Atau jangan-jangan, yang anti KPK itulah yang ikut-ikutan menggerogoti uang rakyat? Hanya Tuhan dan (mungkin) KPK yang tahu.

Saya yakin seyakin-yakinnya kalau para koruptor yang sudah tertangkap maupun yang akan tertangkap sedang bertepuk tangan kegirangan melihat dagelan pelemahan-pembubaran KPK ini. Lha, wong, yang tadinya menjerumuskan mereka (ke penjara) kini sedang hendak dilemahkan-dibubarkan.

Menunggu Langkah Nyata

Satu hal yang perlu juga diingat oleh masyarakat Indonesia adalah bahwa Presiden Joko Widodo memiliki komitmen untuk memperkuat KPK pada saat kampanye dulu. Yang terjadi sekarang ini adalah sebaliknya. Dalam masa pemerintahannya KPK justru mendapat pukulan bertubi-tubi hingga terancam bubar.

Kita sudah mendengar sikap presiden tidak setuju adanya pelemahan-pembubaran KPK. Itu bagus. Namun sayangnya belum ada langkah nyata untuk melawan upaya tersebut. Bahkan presiden mengakui kalau hak angket itu adalah domain DPR sehingga dia tidak bisa melakukan apa-apa.

Jika suatu saat Presiden Jokowi meneken keputusan pembentukan Densus Tipikor, dan apa yang diwacanakan DPR mengenai KPK akan menjadi lembaga koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi terjadi, apakah hal itu dapat kita anggap sebagai pengingkaran janji? Sudilah kiranya rakyat yang menilai.

Kita tentu mendoakan semoga Presiden dapat mengambil keputusan yang bijak.

Yang jelas, kini kita harus skeptis tentang pembentukan Densus Tipikor ini. Kalaulah niat, pertimbangan, dan perencanaan dianggap baik, bolehlah kita bikin. Kalau tidak, buat apa? Menghabis-habiskan duit negara saja.

---

*Penulis merupakan rakyat Indonesia yang: sampai sekarang belum menerima KTP-el sejak perekaman data pada Desember 2016; tidak sepakat dengan wacana pelemahan-pembubaran KPK; memohon kepada presiden dan jajarannya yang terhormat untuk menunda sambil mengkaji lebih dalam mengenai pembentukan Densus Tipikor; dan mendesak DPR membubarkan pansus angket terhadap KPK.

No comments

Powered by Blogger.