Hoaks dan Kita

P
enangkapan tiga tersangka sindikat Saracen belakangan ini menandai babak baru permasalahan hoaks yang melanda masyarakat kita. Bagaimana tidak, hoaks dan ujaran kebencian, oleh sindikat ini, telah dikapitalisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.


Di era informasi saat ini, tak dapat dimungkiri, hoaks dan ujaran kebencian menjadi suatu ancaman laten yang menimpa kita. Media-media penyebar hoaks diam-diam dapat mengarahkan realitas sosial melalui narasi tertentu. Bila narasi yang didengungkan adalah narasi negatif, maka realitas sosial di masyarakat akan terarah pada hal-hal yang negatif pula.

Kita menjadi mudah diadu domba oleh informasi. Narasi-narasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) juga dimunculkan dengan nada negatif sehingga memecah belah persatuan bangsa. Informasi yang tak pernah jelas asal-usulnya, kita konsumsi. Selama informasi tersebut sesuai dengan apa yang kita sukai, kita dengan mudah menyebarkannya.

Kalau suatu konten media sudah disebar, tak sedikit komentar dari pihak oposan bermunculan. Timbulah forum maya dadakan yang isinya perdebatan. Seringkali di dalam forum tersebut suatu informasi akan dibantah dengan informasi lainnya dari sumber dan isi yang berlawanan. Debat tak berujung itu kemudian berakhir saling hujat. Diskursus ruang publik tak tercipta, fragmentasi masyarakat makin meruncing.

Fenomena Post-Truth

Barangkali hoaks dan ujaran kebenciaan yang marak ini erat kaitannya dengan fenomena post-truth. Istilah yang dinobatkan menjadi kata terpilih tahun 2016 oleh Kamus Oxford tersebut memang santer disebut-sebut di media sosial dan media massa dunia. Istilah itu dipahami sebagai suatu yang ‘berhubungan atau menunjukkan pada hal yang mana fakta objektif tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini publik dibanding pertimbangan emosi dan keyakinan personal.’

Dengan adanya fenomena post-truth ini, masyarakat sedang berada dalam gejala mereka sudah tidak lagi hirau dengan kebenaran informasi yang dikonsumsi. Selama informasi itu sejalan dengan pendapat, emosi, latar belakang, selera, dan hal-hal yang sifatnya subjektif dari diri mereka, mereka tidak akan ragu untuk mengonsumsi dan memberikan afirmasi terhadapnya.

Jika masyarakat sudah berada dalam gejala tersebut, akan sangat berbahaya akibatnya bagi kerukunan sosial. Bangsa bisa terpecah belah akibat dipertentangkan oleh informasi yang berlawanan.

Jika keadaan ini terus dibiarkan, masyarakat juga akan dilanda krisis kebenaran. Lama-lama, masyarakat tidak tahu siapa yang akan dijadikan panutan untuk menentukan kebenaran akibat tergerusnya kredibilitas informasi yang tersebar di ruang-ruang publik maya.

Media adalah Kita

Sebenarnya apa yang terjadi di dunia maya dan digambarkan oleh media tidak semata-mata dikonstruksi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti sindikat Saracen. Media dan dunia maya juga merupakan cerminan dari realitas sosial yang ada. Media adalah kita. Bila dalam realitas sosial kita sudah sakit, niscaya media pun akan terisi oleh konten-konten pesakitan.

Hoaks dan ujaran kebencian yang marak melanda kita adalah bentuk realitas sosial kita yang sedang sakit. Dalam keadaan yang sakit, biasanya seseorang harus dihadapkan oleh pantangan-pantangan agar lekas sembuh. Begitu pula masyarakat kita. Bila ingin lekas sembuh dari masalah hoaks dan ujaran kebencian, masyarakat harus pantang terhadap provokasi. Kita harus sama-sama bisa menahan diri.

Kita tidak perlu bereaksi terhadap informasi-informasi yang sifatnya tak jelas dan menghasut. Dengan begitu, para sindikat pengedar hoaks dan ujaran kebencian akan kehilangan pemirsa. Kalau pemirsa yang merupakan konsumen sudah hilang, seharusnya industri fabrikasi informasi akan tutup dengan sendirinya.

Thinking sebelum posting. Saring sebelum sharing. Hoaks bisa dilawan kalau kita ada kemauan dan usaha. Menahan diri adalah salah satu caranya.

Mari saling santun bermedia. Karena media adalah ruang publik milik kita bersama yang harus dijaga agar bangsa ini rukun, tenteram, dan sejahtera.

--

Tulisan ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat Jawa Barat (31/8/2017).

No comments

Powered by Blogger.