Yang Eropa Harus Mengerti


Belum lama ini salah satu merk perlengkapan olahraga dari Amerika Serikat mengeluarkan produk yang memudahkan perempuan muslim berolahraga tanpa melanggar syariat. 

Merk ini agaknya mengerti bagaimana bisa mengakomodir seorang atlet yang juga ingin menaati agamanya ketika berolahraga di ruang publik. Namun tak lama berselang, di Eropa muncul suatu keputusan yang berpotensi menyulitkan perempuan muslim, bahkan untuk memiliki pekerjaan.

Pada Selasa (14/3/2017) Mahkamah Eropa (ECJ) mengeluarkan keputusan kontroversial tentang dibolehkannya perusahaan melarang penggunaan simbol-simbol politik, filosofis atau agama yang tampak bagi karyawannya. Keputusan ini merupakan jawaban atas kasus Samira Achbita (nomor C-157/15) yang bekerja sebagai resepsionis di perusahaan keamanan G4S di Belgia dan kasus Asma Bougnaoui (nomor C-188/15) yang bekerja di perusahaan Micropole di Perancis sebagai insinyur desain.

Keduanya merupakan perempuan beragama islam yang menggunakan jilbab saat bekerja. Samira, dalam masa karirnya, terpaksa tak bisa menggunakan jilbab saat perusahaan memberlakukan pelarangan secara generik untuk menggunakan simbol-simbol agama ketika bekerja. Adapun Asma, diminta melepaskan jilbabnya demi netralitas kerja ketika seorang klien melakukan komplain terhadap perusahaan.

Keputusan ini, menurut Mahkamah Eropa, tidak menimbulkan apa yang disebut sebagai ‘diskriminasi langsung’. Sedangkan, dalam hal pelarangan simbol agama akan menyebabkan ‘diskriminasi tidak langsung’, maka itu tetap dibenarkan demi urusan pekerjaan yang menuntut netralitas.

Memang, pelarangan generik ‘penggunaan simbol agama’ tidak menimbulkan diskriminasi langsung terhadap satu pihak tertentu. Ini berarti, penggunaan simbol agama seperti kalung salib oleh penganut nasrani atau kopiah bagi penganut yahudi pun bisa saja dilarang.

Sekilas memang tak ada yang salah dengan tuntutan netralitas kerja tanpa melibatkan simbol-simbol tertentu. Namun ada yang terlewat, sesuatu yang Eropa perlu mengerti bahwa jilbab merupakan tuntutan yang wajib dijalankan oleh muslimah.

Jika dirujuk pada ayat Al Quran dan hadis sebagai pegangan umat islam, kewajiban mengenakan jilbab salah satunya ditemukan di surat An Nur ayat 31, “... dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” Dalam hadis dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhum berkata, “Sesungguhnya wanita yang telah baligh dan haid tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan dengan wajah dan kedua telapak tangan).”

Dalam konteks ini, jilbab tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah simbol agama semata. Ia juga bukan merupakan sekadar identitas khusus bagi umat islam. Umat islam tidak sedang mengekslusifkan diri dengan menggunakan jilbab. Melainkan hal itu merupakan sebuah kewajiban dan ajaran dalam beragama.

Tinjauan Hukum dan HAM
Dalam kehidupan sosial yang toleran tentunya kita harus saling mengerti setiap agama memiliki ajarannya masing-masing. Membiarkan orang lain bebas menganut dan menjalankan suatu perintah agama merupakan salah satu hak dasar manusia. Kalau ditarik dasarnya ke kaidah universal, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah menyebutkan bahwa kebebasan merupakan hak dasar utama. Bahkan ia disandingkan dengan hak hidup dan hak mendapatkan keamanan.

Apa yang diputuskan dalam Mahkamah Eropa juga tidak sesuai dengan pasal 9 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang menyatakan, “Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama,” termasuk lanjutnya, “menunjukkan agama dan keyakinannya dalam ibadah, pengajaran, praktik, dan ketaatan.” Padahal, dalam legal context yang dibawakan pada putusan kasus Samira dan Asma, Mahkamah Eropa mengutip pasal 6 Traktat Uni Eropa yang salah satu poinnya menghormati hak dasar sebagaimana dijamin oleh Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.

Tentunya putusan ini, selain bersimpangan dengan kaidah pergaulan sosial secara umum, juga bertentangan dengan kaidah hukum itu sendiri. Dalam teori tingkatan hukum (stufenbau des rechts theorie), Hans Kelsen (1945) menulis bahwa pembuatan suatu hukum yang tingkatannya rendah perlu mengikuti kaidah hukum lainnya yang tingkatannya lebih tinggi.

Maka dari itu, seharusnya putusan Mahkamah Eropa yang membolehkan larangan menunjukkan simbol agama batal demi hukum karena bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Traktat Uni Eropa dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. Jika putusan ini dilanjutkan pemberlakuannya, ditakutkan akan menjadi preseden hukum menyesatkan bagi putusan-putusan hukum Eropa di masa yang akan datang.

Eropa harus mengerti bahwa penggunaan jilbab di ruang publik bagi muslimah merupakan sebuah praktik beragama dan hal tersebut dilindungi oleh hukum. Apakah Eropa menutup mata terhadap fakta ini? Di tengah semangat prinsip kesetaraan yang dijunjung Eropa sejak lampau, apakah kini benua tersebut telah menutup diri pada keterbukaan?

Kita berharap Eropa segera sadar akan hal ini demi dijunjungnya nilai-nilai hukum, HAM, dan kesetaraan yang setiap saat menjadi ruh masyarakat di benua tersebut. Ironi sebenarnya bila nilai tersebut dimunculkan oleh orang-orang Eropa, tapi oleh mereka dilanggar sendiri.

No comments

Powered by Blogger.