Purwokerto, Yogyakarta, Semarang: Deal With My Loneliness

Ramai dalam kesendirian dan sendiri dalam keramaian. Itulah ungkapan yang mewakili perasaan saya terhadap lingkungan sekitar akhir-akhir ini. Perasaan itu kemudian bertransformasi menjadi hasrat ingin mengasingkan diri ke tempat yang jauh: sendiri. Ya, sendiri saja, tanpa ditemani siapapun.

Tempat pengasingan yang saya pilih adalah Purwokerto, Yogyakarta dan Semarang. Entah mengapa ketiga tempat ini dipilih. Setidaknya di tempat-tempat tersebut saya berharap dapat melepas penat karena terlalu lama berdiam diri dirumah tanpa bersosialisasi dengan siapa-siapa.

Pengasingan itu saya beri judul Tour de Java: Deal With My Loneliness karena pengasingan tersebut saya bingkai dalam bentuk touring menaiki sepeda motor yang mengitari hampir separuh Provinsi Jawa Tengah (ditambah DIY) yang identik dengan bahasa Jawanya. Sedangkan kesendirian/kesepian adalah motif mengapa touring tersebut perlu dilakukan. Sehingga dengan adanya touring tersebut diharapkan saya dapat berdamai dengan sepi. (Kok rasanya seperti menulis makalah ya? Ada latar belakang segala)

Touring ini sebenarnya merupakan rencana dadakan sekali. Sebelumnya, touring ini bahkan hampir dibatalkan karena saya mendapat mandat untuk mengantarkan saudara saya tes seleksi perguruan tinggi di Bandung. Untungnya saja tes tersebut tidak jadi dilakukan lantaran saudara saya tersebut sudah memutuskan untuk masuk di universitas yang lain saja yang sudah menerimanya secara pasti. Namun meski dadakan, saya tetap membuat rencana perjalanan. Ini hal terpenting dalam bepergian, tentunya agar kita tahu tempat apa saja yang kita ingin tuju dan apa yang kita akan lakukan di sana. Saya menyebut rencana ini sebagai bucket list, saya menuliskannya di sticky note warna kuning milik saya yang hanya tersisa kira-kira 15 lembar lagi. Biasanya orang-orang Barat menggunakan bucket list ini untuk mendata hal apa saja yang harus dilakukan atau dicapai sebelum mereka mencapai umur tertentu atau menginggal dunia, ya semacam target hidup.

Ketika Jumat sore saya diberitahu tidak jadi berangkat ke Bandung, saat itu pula saya langsung packing barang-barang untuk berangkat touring esok paginya. Selain barang-barang, kondisi kendaraan juga saya cek barangkali ada masalah yang dapat mengganggu kenyamanan dalam mengendarainya. Setelah beres, saya bergegas untuk istirahat agar berada dalam kondisi fit saat esok paginya berangkat.

Sabtu (16/7/2016) pagi saya berangkat menuju Purwokerto terlebih dahulu. Dengan kecepatan rata-rata 50 km/jam saya memacu kendaraan memotong jalan melalui daerah Ketanggungan yang biasa dilalui trayek bus Citra Adi Lancar jurusan Kuningan-Yogyakarta. Berbeda seperti pada saat mudik, kondisi jalan Ketanggungan-Bumiayu-Purwokerto tidaklah macet saat saya lewati. Beruntunglah saya memilih waktu berangkat yang agak jauh dari hari lebaran tepatnya H+10 lebaran sehingga tidak ada arus balik yang begitu ramai di jalan ini.


Sekitar pukul 11.00, saya sampai di Purwokerto, tepatnya di Baturraden. Saya penasaran dengan tempat ini karena konon merupakan salah satu objek wisata yang cukup populer. Setelah memarkirkan motor di tempat parkir dengan biaya yang cukup mahal (Rp4.000), saya kemudian masuk ke Lokawisata Baturraden. Selain biaya parkir, tiket masuk di Baturraden ini sama mahalnya, di loket pembelian karcis ditulis “rata-rata 14.000”. Saya tidak tahu maksudnya apa otoritas di sana menyematkan kata ‘rata-rata’, yang jelas saya dikenai tarif angka yang tertera yaitu Rp14.000.

Saat saya masuk, saya disuguhi pemandangan yang cukup indah. Memang sejatinya Baturraden memiliki alam yang luar biasa, ditambah lagi oleh pemerintah setempat disulap menjadi lokawisata yang memiliki berbagai wahana seperti misalnya sepeda air, kolam renang, bioskop yang menampilkan film pendek, serta tempat pemandian air panas. Belum lagi jika dihitung dengan para penjaja dagangan yang cukup lengkap di sini, tentu ini menambah nilai jual lokawisata Baturraden.

Saya berjalan mengelilingi lokawisata tersebut sambil mengambil beberapa foto objek dan selfie. Maklum saya harus selfie karena saya datang sendiri, tanpa kekasih (loh kok seperti lirik lagunya Ello yah?). Ketika saya membeli mendoan[1] sayapun ditanyai oleh penjualnya,“Lha kok piyambaan mawon, Mas? Koncone ing pundi?”[2] Saat itu pula saya ngeles, “Nggih piyambak mawon, ribet saumpama sareng konco.”[3] Padahal saya sebelumnya mengajak teman saya, Rizal, hanya saja dia sedang sibuk dengan kegiatannya sehingga tidak bisa ikut.

Nah ini foto saya, hasil minta tolong difotokan oleh orang-orang yang lewat, hihihi
Memang di Baturraden ini sangat cocok untuk wisata keluarga karena Anda akan kebingungan mau melakukan apa ketika datang sendiri. Sendiri di sini akan biasa-biasa saja rasanya dibandingkan dengan keluarga. Misalnya saja Anda ingin mencoba kuliner, taruhlah makan jagung bakar, ndak enak tho kalau sendirian saja makannya? Atau Anda ingin mencoba sepeda air, ndak enak juga pasti karena ketika mengendarai sepeda air tidak ada teman yang bisa diajak menjadi lawan bicara.

Pintu masuk lokawisata Baturraden


Beberapa pemandangan yang kita dapat lihat di Baturraden

Mohon tidak berhenti di jembatan! Orang-orang malah mengambil foto di sini.

Jika Anda ingin menaiki sepeda air jangan sendiri.
Bukan apa-apa, takutnya apabila tercebur tidak ada yang menolong

Tampak Lokawisata Baturraden secara keseluruhan
Setelah lelah mengelilingi lokawisata tersebut, kebetulan sekali tiba waktu sholat. Saya langsung bergegas mengambil air wudu dan sholat. Kemudian, saya baru ingat saya harus segera ke kawasan Kota Purwokerto tepatnya mengunjungi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dan makan di daerah GOR Satria, karena kedua tempat tersebut sudah tercantum di bucket list saya.

Dari Baturraden, penunjuk jalan menunjukkan pusat kota hanya tinggal turun ke bawah ke arah selatan sekitar 15 km. Perjalanan tersebut hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Ketika melewati pom bensin (entah pom bensin apa namanya) saya tidak sadar saya sedang melewati kampus FISIP Unsoed. Setelah saya foto tampak depan fakultasnya secara terburu-buru (karena saya memotret dari pinggir jalan dan dekat dengan lampu lalu lintas) saya kemudian bergegas mencari rektorat Unsoed yang tidak membutuhkan waktu lama untuk ditemukan karena bersebelahan dengan FISIP dan hanya dipisahkan oleh Jl. Kampus serta satu lampu lalu lintas. Ketika saya masuk gerbang rektorat yang di sebelah kirinya ada lapangan luas, saya langsung ditawari soal-soal SPMB Unsoed oleh beberapa orang yang ada di sana, sekitar 3-4 orang laki-laki dan perempuan. Barangkali oleh mereka saya dikira calon peserta SPMB Unsoed 2016. Memang Unsoed tiap tahun selalu mengadakan seleksi masuk Mandiri selain jalur SNMPTN dan SBMPTN, jadi bagi teman-teman yang masih ingin masuk PTN setelah gagal di kedua jalur tersebut, mungkin Unsoed dapat dijadikan alternatif selanjutnya.

Fotonya terpotong karena terburu-buru
Di area Rektorat Unsoed ini kalau tidak salah hanya ada FEB dan Fakultas Hukum saja sehingga saya kemudian masih penasaran dan mencari kampus yang wilayahnya paling besar di kawasan Karangwangkal. Setelah melihat peta digital yang ada di gawai saya, saya langsung bergegas ke sana. Hanya saja ketika sampai masuk Jl. Gn. Muria saya malah berbelok ke kiri dan masuk ke daerah Djaelani. Akibatnya saya harus memutar dan nyasar ke Jl. Senopati yang kemudian harus kembali lagi Jl. DR. Soeparno yang merupakan jalan lintasan utama sepanjang Unsoed Karangwangkal, dari arah selatan. Kejadian paling tidak disangka adalah ketika saya melalui SBC Purwokerto[4] saya dipaksa melipir sebentar kesana karena melihat penampakan. Alhamdulillah saya tidak jantungan setelah melihat dan melakukan kontak dengan penampakan tersebut dan kembali melanjutkan perjalanan melihat Unsoed Karangwangkal yang sudah tidak kelihatan istimewa lagi setelah saya melihat penampakan tadi.

Sayapun hanya lewat saja sambil melihat kiri-kanan kampus Unsoed Karangwangkal dan bergegas menuju kawasan GOR Satria karena sudah terlalu sore. Untung saja saya tidak terlalu lama di Unsoed dan Makan di GOR Satria, karena bucket list saya selanjutnya yang saya kunjungi, Pemandian ‘Tirto Husodo’ Kalibacin hampir saja tutup saat saya sampai di sana.

Pemandian ini dari namanya saja sudah tidak enak didengar, Kalibacin artinya kira-kira ‘Sungai Tengik’ setelah diterjemahkan dari bahasa Jawa. Namun tentunya bukan tanpa tujuan saya kesini, pemandian ini dipercaya dapat menjadi perantara penyembuhan penyakit kulit, tulang dan saraf. Nama aslinya sebenarnya Tirto Husodo yang artinya Air (bagi) Pengobatan. Nah motif kesehatan inilah yang melatarbelakangi saya kesini, untuk jaga-jaga saja, lumayan juga hitung-hitung mandi dalam perjalanan. Kalibacin sebenarnya hanya julukan saja karena airnya memang sedikit bacin (tengik) karena mengandung belerang (sulfur) yang cukup tinggi. Biaya mandi di sini cukup murah, hanya seharga Rp3.600 saja termasuk asuransi Rp100.

Ketika saya sampai di pemandian ini kira-kira pukul tiga sore, saya heran mengapa gerbang depannya yang ada pohon beringin besarnya ini tertutup. Akhirnya saya mencoba memutar ke belakang dan ternyata pemandian ini masih buka. FYI, pemandian ini sepertinya lazim dimasuki dari belakang, fakta ini juga saya dapatkan di internet saat menyiapkan rencana perjalanan sebelumnya. Itulah yang menyebabkan saya tidak langsung pergi setelah tahu gerbang depan pemandian ini tertutup.

Tampak depan pintu masuk pemandian yang tertutup.
Kalau Anda kemari dan tertutup seperti ini, lebih baik Anda masuknya memutar ke belakang.
Saat saya masuk, saya melihat bapak-bapak yang sudah cukup tua (atau lebih tepatnya saya panggil Mbah-mbah) yang duduk di sebelah kolam mengamati anak-anak yang sedang mandi. Mbah-mbah ini cukup cool, berpenampilan mengenakan kacamata berwarna coklat lebar, celana pendek dan polo shirt, duduk santai menyampirkan kaki satu ke paha kaki yang lain, sambil membawa sempritan[5]. Saya mengucapkan salam dan mengatakan maksud saya kesana untuk mandi. Setelah membayar biaya retribusi, saya dituntun ke sebuah kamar mandi dan diarahkan untuk mandi di sana. Saya kira saya ikut mandi bersama anak-anak kemarin sore yang kecebang-kecebong di kolam yang tidak terlalu besar yang saya lihat pertama kali saat saya memasuki pemandian ini. Ketika saya menyatakan keheranan tersebut, Mbah-mbah penjaga pemandian bilang bahwa kolam itu sudah sedikit kandungan belerangnya, sehingga lebih baik mandi di dalam saja. Alhamdulillah, kan ndak cool kalau saya harus kecebang-kecebong mandi dengan anak-anak ini. Saat saya masuk kamar mandi tersebut, saya merasa, wah sepertinya seru mandi di kolam kecebang-kecebong dengan anak-anak tadi. Akhirnya saya memutuskan berendam di kolam tadi dulu sebelum mandi di kamar mandi tersebut, hehe.


Nah ini kolam pemandian Kalibacin.
Ukurannya memang tidak terlalu besar namun cukup untuk bermain anak-anak.
Saya berendam di kolam tadi selama sekitar lima belas menit. Kolam yang terdiri dari tiga tingkat kedalaman tersebut paling dalam hanya sedalam setengah meter. Memang kolam tersebut lebih cocok untuk bermain anak-anak ketimbang untuk berenang orang dewasa. Saya yang tidak bisa renang pun ikut kecebang-kecebong berputar di kolam yang tidak terlalu dalam itu, sembari mengamati anak-anak bermain dengan senangnya. Ketika saya sedang ngaso di pinggir kolam tiba-tiba saya mendengar suara sempritan yang ditiup oleh Mbah-mbah tadi, priittttt,”Ojo mlayu-mlayu ning pinggir kolam, mengko tiba”[6]. Dari pemandangan itu saya menyadari bahwa peluit yang dibawa Mbah-mbah tadi berfungsi untuk mengingatkan anak-anak yang berlarian atau melakukan ‘pelanggaran’ di sekitar kolam.

Setelah beres di kolam, barulah saya mandi di dalam kamar mandi khusus yang disediakan oleh Mbah-mbah tadi. Kamar mandinya cukup besar, mungkin cukup untuk mandi beramai-ramai sekitar 5-7 orang. Hanya saja kran air belerangnya memang hanya satu, namun debit air yang dikeluarkan dari sana cukup besar. Saat saya kucurkan air dari kran, saya mencium bau belerang dari airnya dan baunya cukup tengik. Hingga saat itu pula saya sadar bahwa Kalibacin bukanlah merupakan julukan semata, melainkan benar-benar realita.

'The Cool' Mbah Budi (kiri), penjaga pemandian Kalibacin
Keluar dari kamar mandi, saya yang sudah rapi menggunakan baju ganti kemudian ngobrol-ngobrol sebentar dengan Mbah-mbah tadi. Dari situ saya ketahui namanya adalah Mbah Budi. Beliau sempat menanyakan darimana asal saya, saya sekolah dimana, dalam rangka apa saya kesini dan mau kemana setelah itu. Lumayan enak ngobrol-ngobrol dengan Mbah Budi karena beliau cukup friendly. Dari situ saya tahu bagaimana sejarah pemandian tersebut dan manfaatnya apa. Hal terkeren yang saya dapati adalah ketika beliau menjelaskan kepada saya dan orang-orang yang habis mandi mengenai bacaan aksara jawa yang tertera di depan tembok kamar mandi.

Teks sejarah pemandian Kalibacin yang ditulis menggunakan aksara jawa
Mbah Budi menjelaskan teks aksara jawa sejarah Kalibacin di atas

Di akhir saya mohon pamit kepada Mbah Budi untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi saya sempat meminta selfie terlebih dahulu dengan beliau yang cool dengan kacamata coklat lebarnya. Beliau berharap semoga kapan-kapan saya dapat kembali lagi bersilaturahim dan mandi di tempat tersebut. Saya amiin-kan.

Setelah sholat ashar saya lanjutkan perjalanan ke arah selatan yang mengarah menuju Jogja. Saya sempat istirahat maghrib dan isya di masjid Baiturohman di daerah Tambak. Di tengah perjalanan yang melelahkan, istirahat sembari sholat seperti ini memang anugerah yang luar biasa, apalagi masjid tersebut nyaman dan bersih. Setelah jamaah sholat maghrib selesai pulang, saya bisa tiduran sebentar dan mengisi daya baterai gawai saya. Barulah setelah isya selesai dilaksanakan, saya kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan saya baru ingat bahwa saya belum makan malam. Akhirnya saya harus berhenti sebentar di daerah Karang Bolong mau mendekati Kebumen.

Selesai makan, waktu menunjukkan pukul 21.00. Rasa kantuk dan pegal perjalanan mulai menyerang. Saya kemudian merencanakan istirahat ketika sampai di Kebumen. Waktu itu saya langsung mencari masjid terbesar dan biasanya yang seperti itu letaknya di pusat kota atau alun-alun kota. Dan benar saja di sana ada masjid (saya tidak tahu nama masjidnya karena berbahasa arab dan bahasa arabnya tidak terbaca, entah karena saya ngantuk atau benar-benar tidak memahami bacaannya). Saya istirahat ribat di teras masjidnya kurang lebih selama dua jam. Kurang lebih tengah malam saya melanjutkan perjalanan kembali.

Sebenarnya kalau cepat, Kebumen-Jogja dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam, dan barangkali yang berkapasitas melakukan itu adalah bus-bus besar. Meskipun begitu, saya tetap nyantai dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam. Ini saya lakukan karena di jalan suhu lumayan dingin sehingga kalau kendaraan saya kebut dengan kecepatan tinggi, justru angin malam akan membuat saya kedinginan. Ditambah lagi saya menjadwalkan baru sampai Jogja pukul setengah lima pagi ketika subuh, sehingga saya langsung bisa shalat subuh di Jogja, tepatnya saya mengincar sholat di Masjid Jogokariyan yang katanya cukup terkenal.

Perkiraan waktu tempuh di Jogokariyan ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Saya sempat istirahat lagi di jalan selama satu kali dan kali itu benar-benar tidur. Saya terlalu lama tidur di pom bensin Purworejo karena itu saya telat sampai Jogokariyan pada pukul lima. Ada yang menarik ketika saya sampai di persimpangan Kota Wates. Saat saya melihat peta digital di lampu merah, ada mobil berhenti tepat di belakang saya. Pengendaranya turun dan menanyakan kepada saya, “Mas, Terminal Wates ke arah mana ya?” Saya menjawab,”Wah saya juga bukan orang sini Mas, tapi barangkali bisa dilihat di GPS saya.” Sayapun kembali melihat peta digital di gawai saya dan mengarahkan GPS ke Terminal Wates. Ternyata tidak terlalu jauh dari tempat saya berhenti sekarang, “Oh, ini Pak di samping kiri lampu merah di depan.” Setelah Bapak itu mengucapkan terimakasih, mereka berlalu sambil memberi klakson, tanda terima kasih yang kedua. Waktu saya memasukkan gawai ke tas, saya melihat ternyata mobil tersebut cukup mewah, Pajero Sport. Yang membuat saya heran, apakah di mobil semewah itu tidak ada GPS sama sekali? Mungkin telepon pintar mereka kehabisan daya baterai barangkali, hehe.

Memasuki kota Jogja, saya memutar melewati Ringroad ke selatan, menuju Jogokariyan. Sampai di Jogokariyan, saya mendapati orang-orang masih ramai duduk baik laki-laki maupun  perempuan, saya kira baru saja selesai sholat dan sedang wirid, ternyata mereka sedang mendengar kajian setelah shubuh, masya Allah. Saya juga heran, sholat subuh di sini ramainya seperti sholat Jumat, laki-laki maupun perempuan porsinya hampir seimbang, yang sakit menggunakan kursi roda pun turut serta, saya malu dibuatnya. Saya kemudian mengganti baju di kamar mandi masjid terlebih dahulu sebelum sholat. Setelah sholat barulah saya istirahat sejenak sambil tilawah.


Sebenarnya, rencana selanjutnya adalah istirahat di homestay yang sudah saya pesan sejak dua hari yang lalu. Namun karena saya sudah keburu lapar, saya malah memiliki ide untuk mengajak sarapan pagi teman sefakultas saya yang tinggal di Jogja, yaitu Rifqi Pradipta. Alhamdulillah, ketika saya ajak, dia mau sarapan bersama saya. Setengah jam kemudian dia sampai di Masjid Jogokariyan. Kami mengobrol sejenak tentang lingkungan masjid yang menurut saya sangat baik ini. Memang Rifqi ini adalah teman saya yang sering cerita tentang kehebatan Masjid Jogokariyan, makanya saya kemari. Dia bercerita bahwa di lingkungan sekitar masjid, dulu masyarakatnya banyak yang percaya dengan hal-hal berbau klenik[7] dan bertindak seperti itu tanpa tuntunan Quran dan hadist. Alhamdulillah, dengan sedikit dakwah islam mengenai tauhid dan sunnah yang benar, orang-orang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan klenik-nya dan beramai-ramai datang ke masjid. Hebatnya, jamaah di masjid ini kalau mau berangkat ke masjid pasti mengajak tetangganya sehingga meski ikut-ikutan, banyak yang sholat berjamaah, padahal masjid ini termasuk masjid kampung biasa yang notabene bukan masjid agung seperti yang biasa kita temui di pusat kota.

Kehebatan lain dari masjid ini, selain jamaahnya kompak, pengurus masjidnya juga mantap. Ketika saya ganti baju, saya melihat setiap kamar mandi masjid diberi nomor masing-masing beserta nama orang yang bertanggung jawab terhadap kamar mandi tersebut. Akibatnya kamar mandinya sangatlah bersih dan terawat. Sayangnya pemandangan itu tidak saya foto. Saya juga melihat di pelataran masjid ada sebuah mobil yang bertuliskan “Mobil Tahfidz Masjid Jogokariyan” terparkir di sana. Entah apa gunanya mobil tersebut, namun tulisan tersebut barangkali sudah cukup menjelaskan kepada kita kira-kira gambarannya seperti apa. Teman saya Rifqi bercerita bahwa sebenarnya ada satu unit mobil lagi milik masjid ini yang fungsinya untuk berkeliling membersihkan masjid/mushola lain di kota Jogja yang perlu dibersihkan.

Mobil Tahfidz Masjid Jogokariyan
Puas mengobrol dan singgah di Masjid Jogokariyan, saya dan Rifqi bergegas mencari sarapan. Rifqi merekomendasikan gudeg, saya menyetujuinya. Makanan khas Jogja yang berbahan dasar tewel[8] itu memang sudah lama sekali tidak saya rasakan. Saya sungguh rindu dengan rasa manisnya yang khas. Rifqi mengajak saya makan gudeg di daerah pasar dekat-dekat daerah Jogokariyan tadi, tidak tahu tepatnya pasar apa. Hari itu adalah Minggu (17/7/2016) pagi dimana saya dapat melihat aktivitas orang-orang Jogja sedang lumayan sibuk-sibuknya. Kata Rifqi, pagi-pagi seperti itu memang saat yang tepat untuk melihat bagaimana orang Jogja beraktivitas. Saya melihat beberapa orang menaiki sepeda ontel[9] tipe lama yang saya lupa apa disebutnya, pokoknya joknya tinggi, diameter ban sepedanya lebar dan kalau tidak salah sepeda seperti itu biasa digunakan pada zaman Belanda dulu.

Rifqi (jaket abu) sedang ngantri menu gudeg
Nah, ini gudegnya
“Sareng nopo, Mas[10]” Ibu-ibu penjual gudeg menanyai Rifqi dan saya. Rifqi menjawab,”Kagem endog mawon, Bu[11]”. Menu lauk saya akhirnya disamakan dengan Rifqi saja. Akhirnya teman nasi kami yang satu set dengan gudeg adalah daun singkong rebus, rambak[12] dan telur rebus yang dimasak dengan kecap, hanya saja saya menambah krupuk dua buah. Setelah sarapan, Rifqi pamit pulang karena akan berangkat ke Jakarta pukul 09.00, sedangkan saya langsung bergegas pergi mencari homestay tempat saya menginap. Saat sampai homestay, saya pindahkan barang-barang bawaan dari motor ke kamar, lalu tidur lelap selama dua jam melampiaskan kelelahan berkendara sejauh hampir 300 km Kuningan-Jogja yang mengganggu waktu tidur malam saya hari sebelumnya.

Saya memang sengaja hanya tidur dua jam dan bangun pukul 10.00 karena ada bucket list yang perlu dicentang kembali yaitu Kampus UGM dan Candi Prambanan. Sedikit mengucek mata dan keluar dari kamar, saya langsung bergegas mandi. Selesai mandi, motor saya nyalakan dan melihat gawai saya, membuka peta digital yang menunjukkan arah kampus UGM. Gawai saya masukkan dan memacu motor saya keluar teras homestay. Anehnya walaupun saya sudah melihat peta ke arah UGM, tetap saja sempat menyasar berkali-kali. Inilah barangkali akibat penyakit kesotoyan saya dalam memilih jalan. Saya memang agak malas jika harus terus-terusan melihat peta. Karena takutnya saya tidak dapat belajar membaca arah jalan secara langsung tanpa bergantung pada teknologi.

Sampai di jalan yang membelah kampus UGM, saya bingung mencari jalan masuk ke dalam kampusnya (terutama rektoratnya) karena semuanya dipagar. Ternyata ketika saya menemukan jalan masuk, UGM menerapkan sistem karcis keamanan bagi kendaran yang akan masuk. Motor saya didata plat nomornya dan saya diberi karcis yang nantinya ketika keluar harus diserahkan kembali kepada petugas di gerbang keluar. Wah keamanan di sana memang ketat sekali, berbeda dengan kampus saya (kampus saya di mana ya? hehe) yang siapapun bisa masuk tanpa perlu ijin terlebih dahulu, bahkan anak-anak kecil alay yang menaiki motor bonceng tiga.

Gedung University Club UGM
Masjid UGM

Penunggu Masjid UGM yang sedang tidur di dekat bedug Masjid
Bisa dibilang saya hanya lewat dan numpang sholat di UGM, karena tidak ada yang urgen untuk didatangi, hanya membunuh rasa penasaran saja, melihat-lihat seperti apa sih kampus orang.

Saya kemudian lanjut berkendara ke Prambanan yang jauhnya sekitar 15 kilometer dari pusat kota Jogja. Di jalan, saya makan siang melipir di warung Soto Kudus. Rasanya enak, namun yang menjadi perhatian khusus saya adalah minuman yang saya pesan, yaitu Es Kawista. Sebelumnya, saya penasaran ketika membaca namanya di menu. Lalu saya bertanya kepada penjualnya,”Mas, es Kawista rasane pripun?”[13] Sambil berpikir sejenak masnya menjawab,”Rasane... seger.”[14] Tentu bukan jawaban yang saya harapkan, namun saya tetap memesan es tersebut. Kawista ini ternyata adalah nama sirup yang dibuat dari buah kawis. Buah tersebut cukup langka meskipun termasuk ke dalam kategori jeruk dan kerabat dekat buah maja. Nama latinnya Limonia acidissima synferonia (buset tiba-tiba saya pandai biologi ya, padahal barusan baca dari internet). Setelah saya coba minum, memang benar es Kawista ini menyegarkan (namanya juga es), lebih spesifiknya menurut lidah saya rasanya mirip es teh yang bercampur dengan cola hanya saja tidak bersoda.

Warung Soto Kudus sing tak rawuhi (tak datangi)
Air di dalam gelas berisi Es Kawista yang belum diaduk, jadi warnanya masih putih
Setelah makan, saya melanjutkan perjalanan yang terpotong tadi. Kira-kira lima menit dari tempat makan tadi, akhirnya saya sampai juga ke Prambanan. Sebenarnya saya sudah pernah ke tempat ini ketika SLIPAS[15], namun karena ada yang sakit akhirnya saya tidak jadi masuk melihat candi-candi di dalamnya untuk menjaga yang sakit di bus takut ada apa-apa. Jadilah saya kemari untuk melampiaskan rasa penasaran yang sudah saya tahan selama tiga tahun. Sejak saat itu, tiket masuk Prambanan yang tidak digunakan (karena tidak jadi masuk) masih saya simpan, barangkali dapat terpakai ketika saya kemari lagi. Dan benar saya ke Prambanan lagi, namun naas, sistem tiket masuk sudah ganti menjadi tiket barcode sehingga tiket lama tidak dapat digunakan lagi, Rp30.000 pun keluar dari kocek untuk membeli tiket yang baru. Nasib, nasib.

Tiket masuk Prambanan yang sudah saya simpan sejak tiga tahun lalu
Sehabis membeli tiket, saya langsung bergegas ke pintu masuk kompleks wisata candi. Di sana ada beberapa orang petugas yang membantu –atau lebih tepatnya mengawasi para wisatawan untuk menempelkan tiket yang sudah dibeli ke sensor barcode. Saya memberikan tiket tersebut kepada seorang bapak yang menjadi salah satu petugas tersebut. Bapak tersebut menerima tiket saya, melihat saya dan tiket bergantian sedikit menaruh muka curiga,”Sendiri saja, Mas!” Saya kaget,”Iya sendiri saja.” Lantas memangnya kenapa kalau saya sendiri saja, batin saya kesal. Entah mengapa ‘sendiri’ menjadi kalimat yang cukup sensitif saat itu. Setidaknya kata tersebut sudah disinggung beberapa kali: (1) saat bertemu penjual gorengan di Baturraden, (2) saat bertemu penampakan di SBC Purwokerto, (3) saat bertemu Mbah Budi, penjaga Pemandian Kalibacin, (4) saat bertemu Rifqi, (5) saat bertemu dengan Mbak-mbak pemilik homestay dan (6) saat ditanyai sinis oleh petugas tiket Candi Prambanan.
Turis asing yang berjalan ke arah Candi Prambanan
Memasuki kompleks candi, saya mengikuti arah jalan orang-orang yang baru masuk, tidak tahu mereka mau kemana. Saya melihat beberapa turis asing yang dengan santainya memakai kaos lekbong[16] dan celana pendek sambil berjalan dipandu oleh pemandu lokal. Saya salut dengan para pemandu yang dengan fasihnya memberikan guide kepada para turis asing tersebut. Saking fasihnya, saya sampai tidak paham dengan apa yang dijelaskan, barangkali lebih karena listening skill saya pas-pasan sih. Apalagi konteks yang dijelaskan adalah peninggalan masa lampau yang barangkali hanya disinggung sedikit di bangku sekolah. Saya sendiri tidak begitu tertarik dengan konteks kesejarahan dari bangunan-bangunan kuno tersebut. Sedari tadi di tempat ini, kuriositas saya hanya menimbulkan pertanyaan, bagaimana bangunan tersebut dibuat dan apa tujuannya? Kok bisa gitu lho? Pasalnya candi-candi ini ketika saya naiki lebih mirip benteng pertahanan (bayangan ini mungkin saya dapat karena kebanyakan main game).

Tampak keseluruhan Candi Prambanan
Say Hello from Prambanan
Puas melihat Candi Prambanan, saya lantas berjalan menuju Candi Sewu yang berjarak sekitar 800 meter ke utara. Memang di kompleks Candi Prambanan ada beberapa candi lain selain Candi Prambanan, namun ukuran candi dan luasnya lebih kecil dari Prambanan, salah satunya adalah Candi Sewu. Penamaan Candi Sewu (Candi Seribu) mengikuti legenda Loro Jonggrang, yang mana terdapat kisah seorang wanita ketika hendak dinikahi memberikan syarat kepada calon suaminya untuk membangun seribu candi dalam satu malam. Kalau calon istri saya seperti itu, mungkin saya bakal mundur duluan deh, monggo yang lain saja, haha.

Candi Sewu yang sebagian bangunannya rusak akibat gempa
Saat membaca sepintas di papan informasi, dikatakan konsep denah Candi Sewu membentuk pola mandala. Mandala adalah perwujudan pola alam semesta (kosmos) yang dipercaya oleh pengikut Buddha. Karakteristiknya adalah adanya suatu pusat yang menjadi sentral perhatian (bangunan candi utama yang paling besar) dikelilingi oleh candi-candi yang lebih kecil (berjumlah delapan bangunan candi). Berbicara mengenai mandala, saya jadi ingat, Indonesia juga mengadopsi konsep ini pada kebijakan luar negerinya untuk kerjasama kawasan, yaitu pada seri lingkaran konsentris. Dalam konteks hubungan internasional, menurut Moertono, konsep mandala sendiri dijabarkan sebagai hubungan geopolitik yang kompleks yang bersinggungan dengan batas negara dan penjalinan kontak dengan negara lain. Doktrin ini menekankan adanya ekspansi, sebuah hal yang perlu dipacu demi eksistensi, penonjolan diri dan dominasi dunia serta faktor dinamis yang dikalkulasi agar mendobrak keseimbangan hubungan antar negara.[17] <- Ini lama-lama kalau dilanjutkan malah menjadi artikel HI nih, jadi lebih baik diakhiri saja cerita tentang mandalanya.

Selesai melihat Candi Sewu, saya yang sudah kelelahan berjalan sempoyongan sambil menghindari sengatan matahari dengan melintasi jalanan di bawah bayangan-bayangan pohon. Ketika sampai di dekat gerbang keluar, saya melihat ada banyak rusa yang dipelihara di tempat ini. Saya pun yang cinta binatang dan masih mencintai mantan akhirnya mendekati beberapa rusa yang hidup dibatasi pagar tersebut. Ketika saya dekati dan panggil-panggil rusanya –dengan sedikit skill bahasa hewan yang saya kuasai– ada satu rusa yang mendekat. Saya abadikan momen tersebut dalam jepretan selfie.

Rusanya ganteng dan menurut saat diajak foto
--

Mandi, selain dapat menghilangkan kotoran di tubuh juga dapat mengurangi rasa lelah akibat seharian beraktivitas dari UGM hingga Prambanan. Saat itu pukul 17.00, setelah mandi, saya leyeh-leyeh ngeluk geger[18] di homestay menunggu maghrib tiba. Saya hendak sholat maghrib dan isya di Masjid Jogokariyan saat itu, setelahnya baru ke Malioboro.

Keramaian di Malioboro, orang-orang berkumpul
menyaksikan pertunjukkan seni jalanan
Di Malioboro saya hanya melihat-lihat keramaian saja, sekadar mencentang bucket list dan tidak bermaksud membeli apa-apa. Hanya saja karena belum makan, saya memutuskan untuk membeli lontong-sate yang dijual oleh ibu-ibu di pinggir-pinggir trotoar Jl. Malioboro. Terakhir saya kemari, pada saat kelas 2 SMA, satu porsi kecil berisi 5/6 tusuk sate dan beberapa irisan lontong masih dihargai sekitar Rp5.000-Rp7.500. Pada saat bertanya kepada salah satu penjual sate, saya ditawari Rp15.000. Wah inflasi Indonesia yang rata-rata 7,5 % setahun sampai saat ini telah memengaruhi harga sate begitu signifikan, batin saya. “Kok larang nggih, Bu?[19]”, saya mengeluhkan harga yang ditawarkan. Kemudian ibu penjual sate tersebut melunak membolehkan saya membeli Rp10.000, hanya porsinya dikurangi.

Saat duduk menunggu sate saya siap dihidangkan di sebelah ibu penjual sate tadi, seorang turis perempuan berkulit putih lewat di depan kami. Sambil membawa gawai, turis perempuan setengah baya tersebut hendak memfoto ibu-ibu penjual sate sedang mengipasi sate yang akan saya santap. Melihat saya memandanginya –karena mungkin merasa tidak enak– dia berkata kepada penjual sate,”Can I take your picture?” Ibu-ibu penjual sate meresponnya dengan menawarkan dagangannya dengan bahasa Indonesia,”Monggo-monggo Madam, Sate.” Saya yang juga dipandanginya akhirnya angkat bicara,”Do you know what it is, Ma'am?” Dengan agak malu-malu dia mendekat,”This is chicken, right?” sambil menunjuk-nunjuk tusuk sate yang belum dibakar.


“Yes, you right, this is chicken. But do you know the name of the dish in specific?” dia menggeleng.
Penjual sate memotong,”Mas-mas coba ditawarkan Mas barangkali mau beli.”

Saya mengangguk. Kemudian saya menjelaskan dengan sedikit demi sedikit apa itu sate dan apa itu lontong yang dijual Ibu ini. Kemudian saya menawarkannya untuk membeli sate dengan harga awal yang si Ibu tawarkan ke saya. Dia yang tidak hendak membeli beralasan ketinggalan rombongan, tapi saya memberinya tester supaya dia tidak penasaran. Saat dia menggigit sate yang saya berikan, dia berkomentar,”Mmmh, wow” entah maksudnya apa.

Kami ngobrol sebentar setelah itu, bertanya asal masing-masing dan mendapati bahwa dia adalah orang Spanyol. Saat saya mencoba mencari-cari apa yang berkaitan dengan Spanyol (supaya kelihatan tahu ada negara yang bernama Spanyol dan supaya terlihat internasionalis, hehe) dia malah lebih dulu memberikan clue, “Mm, do you know Barcelona? Do you like football?” Saya mengiyakan, tapi mengaku jarang nonton bola kalau ada pertandingan. Ketika saya berpikir, yang muncul di benak saya adalah Messi dan Christiano Ronaldo. Memang benar mereka berdua main di La Liga Spanyol tapi setelah saya pikir ulang mereka masing-masing adalah orang Argentina dan Portugal, untung hasil pikiran tersebut urung saya ungkapkan. Di akhir kami berkenalan hingga saya tahu namanya adalah Maria. Kami mengambil foto bersama untuk kenang-kenangan dan dia juga minta ijin mengambil foto saya saat sedang makan sate. Akward moment terjadi saat dia mengajak salaman saat kami hendak berpisah, “I’m so sorry I am a muslim, I hope you understand.” Untungnya dia tersenyum, semoga saja di pikirannya tidak terlintas kata teroris pada saat saya mengucapkan kata muslim, ujar saya dalam hati.

Ini Maria (kanan) dari Spanyol
Malioboro sudah dicentang.

Esoknya (18/7/2016) saya meninggalkan homestay bergegas menuju Semarang. Di Semarang saya hanya ingin melihat UNDIP, sholat di Masjid Agung dan berhenti sejenak makan di daerah Simpang Lima. Karena waktunya sudah mepet, saya ringkas perjalanan secepat mungkin untuk mengejar sampai ke Kuningan sebelum malam. Sedangkan pada saat itu saya baru sampai di UNDIP Tembalang pukul 11.00. Akhirnya saya hanya memutari kampusnya saja karena saya berencana sholat dzuhur di Masjid Agung Jawa Tengah yang berada di Jl. Gadjah Raya. Meskipun sudah saya kebut, tetap saja saya tidak sampai tepat waktu. Ini karena saya sempat nyasar di daerah Kedungmundu. Sebagai orang yang pernah tinggal di Semarang selama tujuh tahun, nyasar seperti itu adalah hal yang sungguh memalukan.

Tampak dalam Masjid Agung

Teras Masjid Agung
Tiba di Kompleks Masjid Agung, saya lantas memarkirkan motor dan berjalan ke arah masjid. Matahari sedang terik-teriknya saat itu sedangkan saya harus melewati teras keramik masjid yang langsung kena sinar matahari. Jika yang dilewati hanya 5-10 meter tidak masalah, hanya saja ini teras masjidnya sangat luas sekitar 50 meter lebih. Alhasil kaki telanjang saya kepanasan ketika melewatinya. Padahal di teras masjid tersebut memiliki atap payung portable yang bisa dibuka tutup seperti pada masjid Nabawi. Hanya saja payung ini dibuka saat-saat tertentu saja seperti ketika sholat Jumat, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Dulu saat masih duduk di bangku SD-SMP, saya sering ke masjid ini setiap hari Minggu, sayangnya bukan untuk sholat melainkan untuk bersepeda bersama teman-teman yang mana diakhiri dengan jajan dan nongkrong di sekitar masjid ini. Jujur saja baru kali ini saya masuk Masjid Agung ini dan sholat di sana, sebelumnya belum pernah.

Ya, memang dulu setiap hari Minggu di kompleks masjid ini (tepatnya di area parkir sebelah Utara masjid) ramai sekali karena dijadikan tempat berjualan mirip seperti pasar rakyat. Biasanya ketika saya pamit ke masjid ini saya dibekali uang seribu rupiah untuk jajan. Saya masih ingat jajanan yang sering saya beli: Rp500 untuk membeli fried chicken yang kebanyakan tepungnya sedangkan dagingnya hampir tidak ada, dan Rp500 sisanya untuk membeli es teh atau jenis minuman yang lain. Sekarang di kompleks masjid ini kalau tidak salah sudah tidak boleh ada yang berjualan lagi seperti dulu.

Selesai sholat di Masjid Agung dan mengambil beberapa foto di sana saya langsung meluncur ke arah Simpang Lima melalui Citarum. Sebenarnya saya bisa memotong jalan dari sana ke arah Mayjen Sutoyo, namun saya sengaja lewat Citarum dari SMP 4 karena ingin mampir di warung Tahu Gimbal di daerah Tambak Dalam dekat jembatan glodak-glodak[20] yang memotong sungai Banjirkanal Timur. Naas saya kurang beruntung karena sepertinya warungnya tutup atau pindah tak tahu kemana, akhirnya saya jalan terus ke arah Simpang Lima. Sebelumnya saya sempat mampir membeli lumpia titipan mamah di gang depan Mall Sri Ratu Jl. Pemuda. Meskipun hanya tiga biji, kocek yang saya rogoh untuk membelinya tidak sedikit, karena satu lumpia harganya mencapai Rp14.000.

Sampai Simpang Lima saya tidak menemukan apapun. Maksudnya kondisi dari pusat kota Semarang itu sangat berbeda dengan yang dulu. Kini tidak ada orang yang berjualan lagi di sekitar alun-alun. Memang tampak bersih, tapi alun-alun tersebut hanya menampakkan ruang publik biasa yang tidak dapat dijadikan tempat belanja atau mencari makan, berbeda dengan yang dulu.

Kalau sedang senggang, dulu keluarga saya sering datang ke Simpang Lima ini untuk sekedar jalan-jalan. Biasanya di malam hari, di lapangan alun-alun ada penampilan Kuda Lumping yang dipertontonkan secara umum. Saya sering menontonnya walaupun kadang ngeri melihat orang-orang yang tengah kesurupan sambil loncat-loncat dengan Kuda Lumping mengunyah bohlam atau membuka buah kelapa dengan gigi.

Cukup nostalgianya. Cerita ini sudah hampir habis.

Saya keluar Semarang pukul 14.00 dalam keadaan belum makan siang. Saya melanjutkan perjalanan ke Kuningan, berhenti di jalan hanya untuk sholat saja dan makan di daerah Pemalang. Meskipun sudah dikebut, tetap saja saya sampai rumah cukup malam sekitar pukul 21.00. Saat sampai rumah, lumpia yang saya beli di Semarang tadi langsung digoreng dan dimakan orang-orang rumah, pertanda saya kembali diterima di rumah ini. Setelah mandi dengan air hangat,  saya meletakkan badan di kasur dan terlelap hingga pagi, mengistirahatkan tubuh yang kelelahan setelah berkendara selama sekitar 3 hari. Sudah dulu ya, sampai ketemu di pengasingan selanjutnya, di tempat KKN yang tak tahu entah dimana.



[1] Makanan khas Purwokerto berupa tempe yang diiris tipis-lebar dan digoreng dengan dilapisi tepung berbumbu, enak disantap saat panas.
[2] Kok sendirian saja, Mas? Temannya dimana?
[3] Ya sendiri saja karena ribet jika membawa teman.
[4] Salah satu tempat makan mahasiswa/i Unsoed yang menyajikan, kalau tidak salah ayam atau ikan sebagai menu utama.
[5] Peluit (Jawa)
[6] Jangan lari-lari di pinggir kolam, nanti jatuh.
[7] Mistis, semisal memberikan sesajen di bawah pohon besar untuk arwah leluhur atau mengagungkan benda-benda tertentu.
[8] Buah nangka muda.
[9] Kayuh
[10] Dengan apa mas (lauknya)?
[11] Sama telur saja Bu.
[12] Sebutan orang Semarang untuk kulit sapi. Saya lupa Rifqi menyebutnya dengan versi yang berbeda.
[13] Mas, Es Kawista rasanya seperti apa?
[14] Rasanya segar.
[15] Studi Lapangan Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial, nama field trip pada saat SMA.
[16] Kelek bolong, kaos yang jika dipakai akan menampakkan ketiak sang pengguna.
[17] Dalam Sebastian, L. C. & Lanti, I. G., 2010. Perceiving Indonesian approaches to international relations theory. Dalam: A. Acharya & B. Buzan, penyunt. Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and beyond Asia. New York: Routledge, pp. 148-173.
[18] Istirahat meluruskan pinggang.
[19] Kok mahal ya, Bu.
[20] Saya sebenarnya tidak tahu persis nama jembatannya apa, namun sering disebut jembatan glodak-glodak karena alas jembatan yang menggunakan kayu ketika dilewati kendaraan menghasilkan suara glodak-glodak yang sangat keras.

No comments

Powered by Blogger.