Narasi
Purwokerto, Yogyakarta, Semarang: Deal With My Loneliness
Ramai dalam kesendirian dan sendiri dalam keramaian. Itulah
ungkapan yang mewakili perasaan saya terhadap lingkungan sekitar akhir-akhir
ini. Perasaan itu kemudian bertransformasi menjadi hasrat ingin mengasingkan
diri ke tempat yang jauh: sendiri. Ya, sendiri saja, tanpa ditemani siapapun.
Tempat pengasingan yang saya
pilih adalah Purwokerto, Yogyakarta dan Semarang. Entah mengapa ketiga tempat
ini dipilih. Setidaknya di tempat-tempat tersebut saya berharap dapat melepas
penat karena terlalu lama berdiam diri dirumah tanpa bersosialisasi dengan
siapa-siapa.
Pengasingan itu saya beri judul Tour de Java: Deal With My Loneliness
karena pengasingan tersebut saya bingkai dalam bentuk touring menaiki sepeda motor yang mengitari hampir separuh Provinsi
Jawa Tengah (ditambah DIY) yang identik dengan bahasa Jawanya. Sedangkan kesendirian/kesepian
adalah motif mengapa touring tersebut perlu dilakukan. Sehingga dengan adanya touring tersebut diharapkan saya dapat berdamai dengan sepi. (Kok rasanya seperti menulis makalah
ya? Ada latar belakang segala)
Touring ini sebenarnya merupakan rencana dadakan sekali.
Sebelumnya, touring ini bahkan hampir
dibatalkan karena saya mendapat mandat untuk mengantarkan saudara saya tes
seleksi perguruan tinggi di Bandung. Untungnya saja tes tersebut tidak jadi
dilakukan lantaran saudara saya tersebut sudah memutuskan untuk masuk di
universitas yang lain saja yang sudah menerimanya secara pasti. Namun meski
dadakan, saya tetap membuat rencana perjalanan. Ini hal terpenting dalam
bepergian, tentunya agar kita tahu tempat apa saja yang kita ingin tuju dan apa
yang kita akan lakukan di sana. Saya menyebut rencana ini sebagai bucket list, saya menuliskannya di sticky note warna kuning milik saya yang
hanya tersisa kira-kira 15 lembar lagi. Biasanya
orang-orang Barat menggunakan bucket list
ini untuk mendata hal apa saja yang harus dilakukan atau
dicapai sebelum mereka mencapai umur tertentu atau menginggal dunia, ya semacam
target hidup.
Ketika Jumat sore saya diberitahu
tidak jadi berangkat ke Bandung, saat itu pula saya langsung packing barang-barang untuk berangkat touring esok paginya. Selain
barang-barang, kondisi kendaraan juga saya cek barangkali ada masalah yang
dapat mengganggu kenyamanan dalam mengendarainya. Setelah beres, saya bergegas
untuk istirahat agar berada dalam kondisi fit saat esok paginya berangkat.
Sabtu (16/7/2016) pagi saya
berangkat menuju Purwokerto terlebih dahulu. Dengan kecepatan rata-rata 50
km/jam saya memacu kendaraan memotong jalan melalui daerah Ketanggungan yang
biasa dilalui trayek bus Citra Adi Lancar jurusan Kuningan-Yogyakarta. Berbeda
seperti pada saat mudik, kondisi jalan Ketanggungan-Bumiayu-Purwokerto tidaklah
macet saat saya lewati. Beruntunglah saya memilih waktu berangkat yang agak
jauh dari hari lebaran tepatnya H+10 lebaran sehingga tidak ada arus balik yang
begitu ramai di jalan ini.
Sekitar pukul 11.00, saya sampai
di Purwokerto, tepatnya di Baturraden. Saya penasaran dengan tempat ini karena
konon merupakan salah satu objek wisata yang cukup populer. Setelah memarkirkan
motor di tempat parkir dengan biaya yang cukup mahal (Rp4.000), saya kemudian
masuk ke Lokawisata Baturraden. Selain biaya parkir, tiket masuk di Baturraden
ini sama mahalnya, di loket pembelian karcis ditulis “rata-rata 14.000”. Saya
tidak tahu maksudnya apa otoritas di sana menyematkan kata ‘rata-rata’, yang
jelas saya dikenai tarif angka yang tertera yaitu Rp14.000.
Saat saya masuk, saya disuguhi
pemandangan yang cukup indah. Memang sejatinya Baturraden memiliki alam yang
luar biasa, ditambah lagi oleh pemerintah setempat disulap menjadi lokawisata
yang memiliki berbagai wahana seperti misalnya sepeda air, kolam renang,
bioskop yang menampilkan film pendek, serta tempat pemandian air panas. Belum
lagi jika dihitung dengan para penjaja dagangan yang cukup lengkap di sini,
tentu ini menambah nilai jual lokawisata Baturraden.
Saya berjalan mengelilingi
lokawisata tersebut sambil mengambil beberapa foto objek dan selfie. Maklum saya harus selfie karena
saya datang sendiri, tanpa kekasih (loh kok seperti lirik lagunya Ello yah?).
Ketika saya membeli mendoan[1]
sayapun ditanyai oleh penjualnya,“Lha kok piyambaan mawon, Mas? Koncone ing
pundi?”[2]
Saat itu pula saya ngeles, “Nggih
piyambak mawon, ribet saumpama sareng konco.”[3]
Padahal saya sebelumnya mengajak teman saya, Rizal, hanya saja dia sedang sibuk
dengan kegiatannya sehingga tidak bisa ikut.
Nah ini foto saya, hasil minta tolong difotokan oleh orang-orang yang lewat, hihihi |
Memang di Baturraden ini sangat
cocok untuk wisata keluarga karena Anda akan kebingungan mau melakukan apa
ketika datang sendiri. Sendiri di sini akan biasa-biasa saja rasanya
dibandingkan dengan keluarga. Misalnya saja Anda ingin mencoba kuliner,
taruhlah makan jagung bakar, ndak enak
tho kalau sendirian saja makannya? Atau Anda ingin mencoba sepeda air, ndak enak juga pasti karena ketika
mengendarai sepeda air tidak ada teman yang bisa diajak menjadi lawan bicara.
Pintu masuk lokawisata Baturraden |
Beberapa pemandangan yang kita dapat lihat di Baturraden |
Mohon tidak berhenti di jembatan! Orang-orang malah mengambil foto di sini. |
Jika Anda ingin menaiki sepeda air jangan sendiri. Bukan apa-apa, takutnya apabila tercebur tidak ada yang menolong |
Tampak Lokawisata Baturraden secara keseluruhan |
Setelah lelah mengelilingi
lokawisata tersebut, kebetulan sekali tiba waktu sholat. Saya langsung bergegas
mengambil air wudu dan sholat. Kemudian, saya baru ingat saya harus segera ke
kawasan Kota Purwokerto tepatnya mengunjungi Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed) dan makan di daerah GOR Satria, karena kedua tempat tersebut sudah
tercantum di bucket list saya.
Dari Baturraden, penunjuk jalan
menunjukkan pusat kota hanya tinggal turun ke bawah ke arah selatan sekitar 15
km. Perjalanan tersebut hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Ketika
melewati pom bensin (entah pom bensin apa namanya) saya tidak sadar saya sedang
melewati kampus FISIP Unsoed. Setelah saya foto tampak depan fakultasnya secara
terburu-buru (karena saya memotret dari pinggir jalan dan dekat dengan lampu
lalu lintas) saya kemudian bergegas mencari rektorat Unsoed yang tidak
membutuhkan waktu lama untuk ditemukan karena bersebelahan dengan FISIP dan
hanya dipisahkan oleh Jl. Kampus serta satu lampu lalu lintas. Ketika saya
masuk gerbang rektorat yang di sebelah kirinya ada lapangan luas, saya langsung
ditawari soal-soal SPMB Unsoed oleh beberapa orang yang ada di sana, sekitar
3-4 orang laki-laki dan perempuan. Barangkali oleh mereka saya dikira calon
peserta SPMB Unsoed 2016. Memang Unsoed tiap tahun selalu mengadakan seleksi
masuk Mandiri selain jalur SNMPTN dan SBMPTN, jadi bagi teman-teman yang masih
ingin masuk PTN setelah gagal di kedua jalur tersebut, mungkin Unsoed dapat
dijadikan alternatif selanjutnya.
Fotonya terpotong karena terburu-buru |
Di area Rektorat Unsoed ini kalau
tidak salah hanya ada FEB dan Fakultas Hukum saja sehingga saya kemudian masih
penasaran dan mencari kampus yang wilayahnya paling besar di kawasan
Karangwangkal. Setelah melihat peta digital yang ada di gawai saya, saya
langsung bergegas ke sana. Hanya saja ketika sampai masuk Jl. Gn. Muria saya
malah berbelok ke kiri dan masuk ke daerah Djaelani. Akibatnya saya harus
memutar dan nyasar ke Jl. Senopati yang kemudian harus kembali lagi Jl. DR.
Soeparno yang merupakan jalan lintasan utama sepanjang Unsoed Karangwangkal,
dari arah selatan. Kejadian paling tidak disangka adalah ketika saya melalui
SBC Purwokerto[4] saya
dipaksa melipir sebentar kesana
karena melihat penampakan. Alhamdulillah saya tidak jantungan setelah
melihat dan melakukan kontak dengan penampakan tersebut dan kembali melanjutkan
perjalanan melihat Unsoed Karangwangkal yang sudah tidak kelihatan istimewa
lagi setelah saya melihat penampakan tadi.
Sayapun hanya lewat saja sambil
melihat kiri-kanan kampus Unsoed Karangwangkal dan bergegas menuju kawasan GOR
Satria karena sudah terlalu sore. Untung saja saya tidak terlalu lama di Unsoed
dan Makan di GOR Satria, karena bucket
list saya selanjutnya yang saya kunjungi, Pemandian ‘Tirto Husodo’
Kalibacin hampir saja tutup saat saya sampai di sana.
Pemandian ini dari namanya saja
sudah tidak enak didengar, Kalibacin artinya kira-kira ‘Sungai Tengik’ setelah
diterjemahkan dari bahasa Jawa. Namun tentunya bukan tanpa tujuan saya kesini,
pemandian ini dipercaya dapat menjadi perantara penyembuhan penyakit kulit,
tulang dan saraf. Nama aslinya sebenarnya Tirto Husodo yang artinya Air (bagi)
Pengobatan. Nah motif kesehatan inilah yang melatarbelakangi saya kesini, untuk
jaga-jaga saja, lumayan juga hitung-hitung mandi dalam perjalanan. Kalibacin
sebenarnya hanya julukan saja karena airnya memang sedikit bacin (tengik)
karena mengandung belerang (sulfur) yang cukup tinggi. Biaya mandi di sini
cukup murah, hanya seharga Rp3.600 saja termasuk asuransi Rp100.
Ketika saya sampai di pemandian
ini kira-kira pukul tiga sore, saya heran mengapa gerbang depannya yang ada
pohon beringin besarnya ini tertutup. Akhirnya saya mencoba memutar ke belakang
dan ternyata pemandian ini masih buka. FYI, pemandian ini sepertinya lazim
dimasuki dari belakang, fakta ini juga saya dapatkan di internet saat
menyiapkan rencana perjalanan sebelumnya. Itulah yang menyebabkan saya tidak langsung
pergi setelah tahu gerbang depan pemandian ini tertutup.
Tampak depan pintu masuk pemandian yang tertutup. Kalau Anda kemari dan tertutup seperti ini, lebih baik Anda masuknya memutar ke belakang. |
Saat saya masuk, saya melihat
bapak-bapak yang sudah cukup tua (atau lebih tepatnya saya panggil Mbah-mbah)
yang duduk di sebelah kolam mengamati anak-anak yang sedang mandi.
Mbah-mbah ini cukup cool, berpenampilan
mengenakan kacamata berwarna coklat lebar, celana pendek dan polo shirt, duduk santai menyampirkan
kaki satu ke paha kaki yang lain, sambil membawa sempritan[5].
Saya mengucapkan salam dan mengatakan maksud saya kesana untuk mandi. Setelah
membayar biaya retribusi, saya dituntun ke sebuah kamar mandi dan diarahkan untuk
mandi di sana. Saya kira saya ikut mandi bersama
anak-anak kemarin sore yang kecebang-kecebong
di kolam yang tidak terlalu besar yang saya lihat pertama kali saat saya
memasuki pemandian ini. Ketika saya menyatakan keheranan tersebut, Mbah-mbah
penjaga pemandian bilang bahwa kolam itu sudah sedikit kandungan
belerangnya, sehingga lebih baik mandi di dalam saja. Alhamdulillah, kan ndak cool kalau saya harus kecebang-kecebong mandi dengan anak-anak
ini. Saat saya masuk kamar mandi tersebut, saya merasa, wah sepertinya seru mandi di kolam kecebang-kecebong dengan anak-anak
tadi. Akhirnya saya memutuskan berendam di kolam tadi dulu sebelum mandi di
kamar mandi tersebut, hehe.
Nah ini kolam pemandian Kalibacin. Ukurannya memang tidak terlalu besar namun cukup untuk bermain anak-anak. |
Saya berendam di kolam tadi
selama sekitar lima belas menit. Kolam yang terdiri dari tiga tingkat kedalaman
tersebut paling dalam hanya sedalam setengah meter. Memang kolam tersebut lebih
cocok untuk bermain anak-anak ketimbang untuk berenang orang dewasa. Saya yang
tidak bisa renang pun ikut kecebang-kecebong
berputar di kolam yang tidak terlalu dalam itu, sembari mengamati anak-anak
bermain dengan senangnya. Ketika saya sedang ngaso di pinggir kolam tiba-tiba saya mendengar suara sempritan
yang ditiup oleh Mbah-mbah tadi, priittttt,”Ojo
mlayu-mlayu ning pinggir kolam, mengko tiba”[6]. Dari
pemandangan itu saya menyadari bahwa peluit yang dibawa Mbah-mbah tadi
berfungsi untuk mengingatkan anak-anak yang berlarian atau melakukan
‘pelanggaran’ di sekitar kolam.
Setelah beres di kolam, barulah
saya mandi di dalam kamar mandi khusus yang disediakan oleh Mbah-mbah tadi.
Kamar mandinya cukup besar, mungkin cukup untuk mandi beramai-ramai sekitar 5-7
orang. Hanya saja kran air belerangnya memang hanya satu, namun debit air yang
dikeluarkan dari sana cukup besar. Saat saya kucurkan air dari kran, saya mencium bau belerang dari airnya dan baunya cukup tengik. Hingga saat itu pula
saya sadar bahwa Kalibacin bukanlah merupakan julukan semata, melainkan
benar-benar realita.
'The Cool' Mbah Budi (kiri), penjaga pemandian Kalibacin |
Keluar dari kamar mandi, saya
yang sudah rapi menggunakan baju ganti kemudian ngobrol-ngobrol sebentar dengan
Mbah-mbah tadi. Dari situ saya ketahui namanya adalah Mbah Budi. Beliau sempat
menanyakan darimana asal saya, saya sekolah dimana, dalam rangka apa saya
kesini dan mau kemana setelah itu. Lumayan enak ngobrol-ngobrol dengan Mbah
Budi karena beliau cukup friendly. Dari
situ saya tahu bagaimana sejarah pemandian tersebut dan manfaatnya apa. Hal
terkeren yang saya dapati adalah ketika beliau menjelaskan kepada saya dan
orang-orang yang habis mandi mengenai bacaan aksara jawa yang tertera di depan tembok kamar mandi.
Teks sejarah pemandian Kalibacin yang ditulis menggunakan aksara jawa |
Mbah Budi menjelaskan teks aksara jawa sejarah Kalibacin di atas
Di akhir saya mohon pamit kepada Mbah
Budi untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi saya sempat meminta selfie
terlebih dahulu dengan beliau yang cool dengan
kacamata coklat lebarnya. Beliau berharap semoga kapan-kapan saya dapat kembali
lagi bersilaturahim dan mandi di tempat tersebut. Saya amiin-kan.
Setelah sholat ashar saya
lanjutkan perjalanan ke arah selatan yang mengarah menuju Jogja. Saya sempat
istirahat maghrib dan isya di masjid Baiturohman di daerah Tambak. Di tengah
perjalanan yang melelahkan, istirahat sembari sholat seperti ini memang anugerah
yang luar biasa, apalagi masjid tersebut nyaman dan bersih. Setelah jamaah
sholat maghrib selesai pulang, saya bisa tiduran sebentar dan mengisi daya
baterai gawai saya. Barulah setelah isya selesai dilaksanakan, saya kembali
melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan saya baru ingat bahwa saya belum
makan malam. Akhirnya saya harus berhenti sebentar di daerah Karang Bolong mau
mendekati Kebumen.
Selesai makan, waktu menunjukkan
pukul 21.00. Rasa kantuk dan pegal perjalanan mulai menyerang. Saya kemudian
merencanakan istirahat ketika sampai di Kebumen. Waktu itu saya langsung
mencari masjid terbesar dan biasanya yang seperti itu letaknya di pusat kota
atau alun-alun kota. Dan benar saja di sana ada masjid (saya tidak tahu nama
masjidnya karena berbahasa arab dan bahasa arabnya tidak terbaca, entah karena
saya ngantuk atau benar-benar tidak memahami bacaannya). Saya istirahat ribat di teras masjidnya kurang lebih
selama dua jam. Kurang lebih tengah malam saya melanjutkan perjalanan kembali.
Sebenarnya kalau cepat,
Kebumen-Jogja dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam, dan barangkali yang
berkapasitas melakukan itu adalah bus-bus besar. Meskipun begitu, saya tetap
nyantai dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam. Ini saya lakukan karena di jalan
suhu lumayan dingin sehingga kalau kendaraan saya kebut dengan kecepatan
tinggi, justru angin malam akan membuat saya kedinginan. Ditambah lagi saya
menjadwalkan baru sampai Jogja pukul setengah lima pagi ketika subuh, sehingga
saya langsung bisa shalat subuh di Jogja, tepatnya saya mengincar sholat di
Masjid Jogokariyan yang katanya cukup terkenal.
Perkiraan waktu tempuh di
Jogokariyan ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Saya sempat istirahat
lagi di jalan selama satu kali dan kali itu benar-benar tidur. Saya terlalu
lama tidur di pom bensin Purworejo karena itu saya telat sampai Jogokariyan
pada pukul lima. Ada yang menarik ketika saya sampai di persimpangan Kota
Wates. Saat saya melihat peta digital di lampu merah, ada mobil berhenti tepat
di belakang saya. Pengendaranya turun dan menanyakan kepada saya, “Mas,
Terminal Wates ke arah mana ya?” Saya menjawab,”Wah saya juga bukan orang sini
Mas, tapi barangkali bisa dilihat di GPS saya.” Sayapun kembali melihat peta
digital di gawai saya dan mengarahkan GPS ke Terminal Wates. Ternyata tidak
terlalu jauh dari tempat saya berhenti sekarang, “Oh, ini Pak di samping kiri
lampu merah di depan.” Setelah Bapak itu mengucapkan terimakasih, mereka
berlalu sambil memberi klakson, tanda terima kasih yang kedua. Waktu saya
memasukkan gawai ke tas, saya melihat ternyata mobil tersebut cukup mewah, Pajero Sport. Yang membuat saya heran,
apakah di mobil semewah itu tidak ada GPS sama sekali? Mungkin telepon pintar
mereka kehabisan daya baterai barangkali, hehe.
Memasuki kota Jogja, saya memutar
melewati Ringroad ke selatan, menuju Jogokariyan. Sampai di Jogokariyan, saya
mendapati orang-orang masih ramai duduk baik laki-laki maupun perempuan, saya kira baru saja selesai sholat
dan sedang wirid, ternyata mereka sedang mendengar kajian setelah shubuh, masya
Allah. Saya juga heran, sholat subuh di sini ramainya seperti sholat Jumat,
laki-laki maupun perempuan porsinya hampir seimbang, yang sakit menggunakan
kursi roda pun turut serta, saya malu dibuatnya. Saya kemudian mengganti baju
di kamar mandi masjid terlebih dahulu sebelum sholat. Setelah sholat barulah
saya istirahat sejenak sambil tilawah.
Sebenarnya, rencana selanjutnya
adalah istirahat di homestay yang
sudah saya pesan sejak dua hari yang lalu. Namun karena saya sudah keburu lapar,
saya malah memiliki ide untuk mengajak sarapan pagi teman sefakultas saya yang
tinggal di Jogja, yaitu Rifqi Pradipta. Alhamdulillah, ketika saya ajak, dia
mau sarapan bersama saya. Setengah jam kemudian dia sampai di Masjid
Jogokariyan. Kami mengobrol sejenak tentang lingkungan masjid yang menurut saya
sangat baik ini. Memang Rifqi ini adalah teman saya yang sering cerita tentang
kehebatan Masjid Jogokariyan, makanya saya kemari. Dia bercerita bahwa di lingkungan
sekitar masjid, dulu masyarakatnya banyak yang percaya dengan hal-hal berbau klenik[7]
dan bertindak seperti itu tanpa tuntunan Quran dan hadist. Alhamdulillah,
dengan sedikit dakwah islam mengenai tauhid dan sunnah yang benar, orang-orang
mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan klenik-nya
dan beramai-ramai datang ke masjid. Hebatnya, jamaah di masjid ini kalau mau
berangkat ke masjid pasti mengajak tetangganya sehingga meski ikut-ikutan,
banyak yang sholat berjamaah, padahal masjid ini termasuk masjid kampung biasa
yang notabene bukan masjid agung seperti yang biasa kita temui di pusat kota.
Kehebatan lain dari masjid ini,
selain jamaahnya kompak, pengurus masjidnya juga mantap. Ketika saya ganti
baju, saya melihat setiap kamar mandi masjid diberi nomor masing-masing beserta
nama orang yang bertanggung jawab terhadap kamar mandi tersebut. Akibatnya
kamar mandinya sangatlah bersih dan terawat. Sayangnya pemandangan itu tidak
saya foto. Saya juga melihat di pelataran masjid ada sebuah mobil yang bertuliskan
“Mobil Tahfidz Masjid Jogokariyan” terparkir di sana. Entah apa gunanya mobil
tersebut, namun tulisan tersebut barangkali sudah cukup menjelaskan kepada kita
kira-kira gambarannya seperti apa. Teman saya Rifqi bercerita bahwa sebenarnya
ada satu unit mobil lagi milik masjid ini yang fungsinya untuk berkeliling
membersihkan masjid/mushola lain di kota Jogja yang perlu dibersihkan.
Mobil Tahfidz Masjid Jogokariyan |
Puas mengobrol dan singgah di
Masjid Jogokariyan, saya dan Rifqi bergegas mencari sarapan. Rifqi
merekomendasikan gudeg, saya menyetujuinya. Makanan khas Jogja yang berbahan
dasar tewel[8]
itu memang sudah lama sekali tidak saya rasakan. Saya sungguh rindu dengan rasa
manisnya yang khas. Rifqi mengajak saya makan gudeg di daerah pasar dekat-dekat
daerah Jogokariyan tadi, tidak tahu tepatnya pasar apa. Hari itu adalah Minggu
(17/7/2016) pagi dimana saya dapat melihat aktivitas orang-orang Jogja sedang
lumayan sibuk-sibuknya. Kata Rifqi, pagi-pagi seperti itu memang saat yang
tepat untuk melihat bagaimana orang Jogja beraktivitas. Saya melihat beberapa
orang menaiki sepeda ontel[9]
tipe lama yang saya lupa apa disebutnya, pokoknya joknya tinggi, diameter ban
sepedanya lebar dan kalau tidak salah sepeda seperti itu biasa digunakan pada
zaman Belanda dulu.
Rifqi (jaket abu) sedang ngantri menu gudeg |
Nah, ini gudegnya |
“Sareng nopo, Mas[10]”
Ibu-ibu penjual gudeg menanyai Rifqi dan saya. Rifqi menjawab,”Kagem endog
mawon, Bu[11]”. Menu
lauk saya akhirnya disamakan dengan Rifqi saja. Akhirnya teman nasi kami yang
satu set dengan gudeg adalah daun singkong rebus, rambak[12]
dan telur rebus yang dimasak dengan kecap, hanya saja saya menambah krupuk dua
buah. Setelah sarapan, Rifqi pamit pulang karena akan berangkat ke Jakarta
pukul 09.00, sedangkan saya langsung bergegas pergi mencari homestay tempat saya menginap. Saat
sampai homestay, saya pindahkan
barang-barang bawaan dari motor ke kamar, lalu tidur lelap selama dua jam
melampiaskan kelelahan berkendara sejauh hampir 300 km Kuningan-Jogja yang
mengganggu waktu tidur malam saya hari sebelumnya.
Saya memang sengaja hanya tidur
dua jam dan bangun pukul 10.00 karena ada bucket
list yang perlu dicentang kembali yaitu Kampus UGM dan Candi Prambanan.
Sedikit mengucek mata dan keluar dari kamar, saya langsung bergegas mandi.
Selesai mandi, motor saya nyalakan dan melihat gawai saya, membuka peta digital
yang menunjukkan arah kampus UGM. Gawai saya masukkan dan memacu motor saya
keluar teras homestay. Anehnya
walaupun saya sudah melihat peta ke arah UGM, tetap saja sempat menyasar
berkali-kali. Inilah barangkali akibat penyakit kesotoyan saya dalam memilih
jalan. Saya memang agak malas jika harus terus-terusan melihat peta. Karena
takutnya saya tidak dapat belajar membaca arah jalan secara langsung tanpa
bergantung pada teknologi.
Sampai di jalan yang membelah
kampus UGM, saya bingung mencari jalan masuk ke dalam kampusnya (terutama
rektoratnya) karena semuanya dipagar. Ternyata ketika saya menemukan jalan
masuk, UGM menerapkan sistem karcis keamanan bagi kendaran yang akan masuk.
Motor saya didata plat nomornya dan saya diberi karcis yang nantinya ketika
keluar harus diserahkan kembali kepada petugas di gerbang keluar. Wah keamanan
di sana memang ketat sekali, berbeda dengan kampus saya (kampus saya di mana ya?
hehe) yang siapapun bisa masuk tanpa perlu ijin terlebih dahulu, bahkan
anak-anak kecil alay yang menaiki motor bonceng tiga.
Gedung University Club UGM |
Masjid UGM |
Penunggu Masjid UGM yang sedang tidur di dekat bedug Masjid |
Bisa dibilang saya hanya lewat
dan numpang sholat di UGM, karena tidak ada yang urgen untuk didatangi, hanya
membunuh rasa penasaran saja, melihat-lihat seperti apa sih kampus orang.
Saya kemudian lanjut berkendara ke
Prambanan yang jauhnya sekitar 15 kilometer dari pusat kota Jogja. Di jalan,
saya makan siang melipir di warung
Soto Kudus. Rasanya enak, namun yang menjadi perhatian khusus saya adalah
minuman yang saya pesan, yaitu Es Kawista. Sebelumnya, saya penasaran ketika
membaca namanya di menu. Lalu saya bertanya kepada penjualnya,”Mas, es Kawista
rasane pripun?”[13] Sambil
berpikir sejenak masnya menjawab,”Rasane... seger.”[14]
Tentu bukan jawaban yang saya harapkan, namun saya tetap memesan es tersebut.
Kawista ini ternyata adalah nama sirup yang dibuat dari buah kawis. Buah
tersebut cukup langka meskipun termasuk ke dalam kategori jeruk dan kerabat
dekat buah maja. Nama latinnya Limonia acidissima synferonia
(buset tiba-tiba saya pandai biologi ya, padahal barusan baca dari internet). Setelah saya coba minum, memang
benar es Kawista ini menyegarkan (namanya juga es), lebih spesifiknya menurut
lidah saya rasanya mirip es teh yang bercampur dengan cola hanya saja tidak bersoda.
Warung Soto Kudus sing tak rawuhi (tak datangi) |
Air di dalam gelas berisi Es Kawista yang belum diaduk, jadi warnanya masih putih |
Setelah makan, saya melanjutkan
perjalanan yang terpotong tadi. Kira-kira lima menit dari tempat makan tadi,
akhirnya saya sampai juga ke Prambanan. Sebenarnya saya sudah pernah ke tempat
ini ketika SLIPAS[15],
namun karena ada yang sakit akhirnya saya tidak jadi masuk melihat candi-candi
di dalamnya untuk menjaga yang sakit di bus takut ada apa-apa. Jadilah saya
kemari untuk melampiaskan rasa penasaran yang sudah saya tahan selama tiga
tahun. Sejak saat itu, tiket masuk Prambanan yang tidak digunakan (karena tidak
jadi masuk) masih saya simpan, barangkali dapat terpakai ketika saya kemari
lagi. Dan benar saya ke Prambanan lagi, namun naas, sistem tiket masuk sudah
ganti menjadi tiket barcode sehingga
tiket lama tidak dapat digunakan lagi, Rp30.000 pun keluar dari kocek untuk
membeli tiket yang baru. Nasib, nasib.
Tiket masuk Prambanan yang sudah saya simpan sejak tiga tahun lalu |
Sehabis membeli tiket, saya
langsung bergegas ke pintu masuk kompleks wisata candi. Di sana ada beberapa orang petugas
yang membantu –atau lebih tepatnya mengawasi para wisatawan untuk menempelkan
tiket yang sudah dibeli ke sensor barcode.
Saya memberikan tiket tersebut kepada seorang bapak yang menjadi salah satu
petugas tersebut. Bapak tersebut menerima tiket saya, melihat saya dan tiket
bergantian sedikit menaruh muka curiga,”Sendiri saja, Mas!” Saya kaget,”Iya
sendiri saja.” Lantas memangnya kenapa
kalau saya sendiri saja, batin saya kesal. Entah mengapa ‘sendiri’ menjadi
kalimat yang cukup sensitif saat itu. Setidaknya kata tersebut sudah disinggung
beberapa kali: (1) saat bertemu penjual gorengan di Baturraden, (2) saat
bertemu penampakan di SBC Purwokerto, (3) saat bertemu Mbah Budi, penjaga
Pemandian Kalibacin, (4) saat bertemu Rifqi, (5) saat bertemu dengan Mbak-mbak
pemilik homestay dan (6) saat ditanyai
sinis oleh petugas tiket Candi Prambanan.
Turis asing yang berjalan ke arah Candi Prambanan |
Memasuki kompleks candi, saya
mengikuti arah jalan orang-orang yang baru masuk, tidak tahu mereka mau kemana.
Saya melihat beberapa turis asing yang dengan santainya memakai kaos lekbong[16]
dan celana pendek sambil berjalan dipandu oleh pemandu lokal. Saya salut dengan
para pemandu yang dengan fasihnya memberikan guide kepada para turis asing tersebut. Saking fasihnya, saya
sampai tidak paham dengan apa yang dijelaskan, barangkali lebih karena listening skill saya pas-pasan sih. Apalagi
konteks yang dijelaskan adalah peninggalan masa lampau yang barangkali hanya
disinggung sedikit di bangku sekolah. Saya sendiri tidak begitu tertarik dengan
konteks kesejarahan dari bangunan-bangunan kuno tersebut. Sedari tadi di tempat
ini, kuriositas saya hanya menimbulkan pertanyaan, bagaimana bangunan tersebut dibuat dan apa tujuannya? Kok bisa gitu lho? Pasalnya candi-candi
ini ketika saya naiki lebih mirip benteng pertahanan (bayangan ini mungkin saya
dapat karena kebanyakan main game).
Tampak keseluruhan Candi Prambanan |
Say Hello from Prambanan |
Puas melihat Candi Prambanan,
saya lantas berjalan menuju Candi Sewu yang berjarak sekitar 800 meter ke
utara. Memang di kompleks Candi Prambanan ada beberapa candi lain selain Candi
Prambanan, namun ukuran candi dan luasnya lebih kecil dari Prambanan, salah
satunya adalah Candi Sewu. Penamaan Candi Sewu (Candi Seribu) mengikuti legenda
Loro Jonggrang, yang mana terdapat kisah seorang wanita ketika hendak dinikahi
memberikan syarat kepada calon suaminya untuk membangun seribu candi dalam satu
malam. Kalau calon istri saya seperti itu, mungkin saya bakal mundur duluan
deh, monggo yang lain saja, haha.
Candi Sewu yang sebagian bangunannya rusak akibat gempa |
Saat membaca sepintas di papan
informasi, dikatakan konsep denah Candi Sewu membentuk pola mandala. Mandala
adalah perwujudan pola alam semesta (kosmos) yang dipercaya oleh pengikut
Buddha. Karakteristiknya adalah adanya suatu pusat yang menjadi sentral
perhatian (bangunan candi utama yang paling besar) dikelilingi oleh candi-candi
yang lebih kecil (berjumlah delapan bangunan candi). Berbicara mengenai
mandala, saya jadi ingat, Indonesia juga mengadopsi konsep ini pada kebijakan
luar negerinya untuk kerjasama kawasan, yaitu pada seri lingkaran konsentris. Dalam
konteks hubungan internasional, menurut Moertono, konsep mandala sendiri dijabarkan sebagai hubungan geopolitik yang
kompleks yang bersinggungan dengan batas negara dan penjalinan kontak dengan
negara lain. Doktrin ini menekankan adanya ekspansi, sebuah hal yang perlu
dipacu demi eksistensi, penonjolan diri dan dominasi dunia serta faktor dinamis
yang dikalkulasi agar mendobrak keseimbangan hubungan antar negara.[17]
<- Ini lama-lama kalau dilanjutkan malah menjadi artikel HI nih, jadi lebih
baik diakhiri saja cerita tentang mandalanya.
Selesai melihat Candi Sewu, saya
yang sudah kelelahan berjalan sempoyongan sambil menghindari sengatan matahari
dengan melintasi jalanan di bawah bayangan-bayangan pohon. Ketika sampai di
dekat gerbang keluar, saya melihat ada banyak rusa yang dipelihara di tempat
ini. Saya pun yang cinta binatang dan masih mencintai mantan akhirnya
mendekati beberapa rusa yang hidup dibatasi pagar tersebut. Ketika saya dekati
dan panggil-panggil rusanya –dengan sedikit skill
bahasa hewan yang saya kuasai– ada satu rusa yang mendekat. Saya abadikan
momen tersebut dalam jepretan selfie.
Rusanya ganteng dan menurut saat diajak foto |
--
Mandi, selain dapat menghilangkan
kotoran di tubuh juga dapat mengurangi rasa lelah akibat seharian beraktivitas
dari UGM hingga Prambanan. Saat itu pukul 17.00, setelah mandi, saya leyeh-leyeh ngeluk geger[18] di
homestay menunggu maghrib tiba. Saya
hendak sholat maghrib dan isya di Masjid Jogokariyan saat itu, setelahnya baru
ke Malioboro.
Keramaian di Malioboro, orang-orang berkumpul menyaksikan pertunjukkan seni jalanan |
Di Malioboro saya hanya
melihat-lihat keramaian saja, sekadar mencentang bucket list dan tidak bermaksud membeli apa-apa. Hanya saja karena
belum makan, saya memutuskan untuk membeli lontong-sate yang dijual oleh ibu-ibu
di pinggir-pinggir trotoar Jl. Malioboro. Terakhir saya kemari, pada saat kelas
2 SMA, satu porsi kecil berisi 5/6 tusuk sate dan beberapa irisan lontong masih
dihargai sekitar Rp5.000-Rp7.500. Pada saat bertanya kepada salah satu penjual
sate, saya ditawari Rp15.000. Wah inflasi
Indonesia yang rata-rata 7,5 % setahun sampai saat ini telah memengaruhi harga
sate begitu signifikan, batin saya. “Kok larang nggih, Bu?[19]”,
saya mengeluhkan harga yang ditawarkan. Kemudian ibu penjual sate tersebut melunak
membolehkan saya membeli Rp10.000, hanya porsinya dikurangi.
Saat duduk menunggu sate saya
siap dihidangkan di sebelah ibu penjual sate tadi, seorang turis perempuan
berkulit putih lewat di depan kami. Sambil membawa gawai, turis perempuan
setengah baya tersebut hendak memfoto ibu-ibu penjual sate sedang mengipasi
sate yang akan saya santap. Melihat saya memandanginya –karena mungkin merasa
tidak enak– dia berkata kepada penjual sate,”Can I take your picture?” Ibu-ibu
penjual sate meresponnya dengan menawarkan dagangannya dengan bahasa Indonesia,”Monggo-monggo
Madam, Sate.” Saya yang juga dipandanginya akhirnya angkat bicara,”Do you know
what it is, Ma'am?” Dengan agak malu-malu dia mendekat,”This is chicken, right?”
sambil menunjuk-nunjuk tusuk sate yang belum dibakar.
“Yes, you right, this is chicken.
But do you know the name of the dish in specific?” dia menggeleng.
Penjual sate memotong,”Mas-mas
coba ditawarkan Mas barangkali mau beli.”
Saya mengangguk. Kemudian saya
menjelaskan dengan sedikit demi sedikit apa itu sate
dan apa itu lontong yang dijual Ibu ini. Kemudian saya menawarkannya untuk membeli
sate dengan harga awal yang si Ibu tawarkan ke saya. Dia yang tidak hendak
membeli beralasan ketinggalan rombongan, tapi saya memberinya tester supaya dia
tidak penasaran. Saat dia menggigit sate yang saya berikan, dia berkomentar,”Mmmh,
wow” entah maksudnya apa.
Kami ngobrol sebentar setelah
itu, bertanya asal masing-masing dan mendapati bahwa dia adalah orang Spanyol.
Saat saya mencoba mencari-cari apa yang berkaitan dengan Spanyol (supaya
kelihatan tahu ada negara yang bernama Spanyol dan supaya terlihat
internasionalis, hehe) dia malah lebih dulu memberikan clue, “Mm, do you know Barcelona? Do you like football?” Saya
mengiyakan, tapi mengaku jarang nonton bola kalau ada pertandingan. Ketika saya
berpikir, yang muncul di benak saya adalah Messi dan Christiano Ronaldo. Memang
benar mereka berdua main di La Liga Spanyol tapi setelah saya pikir ulang
mereka masing-masing adalah orang Argentina dan Portugal, untung hasil pikiran tersebut
urung saya ungkapkan. Di akhir kami berkenalan hingga saya tahu namanya adalah
Maria. Kami mengambil foto bersama untuk kenang-kenangan dan dia juga minta
ijin mengambil foto saya saat sedang makan sate. Akward moment terjadi saat dia mengajak salaman saat kami hendak
berpisah, “I’m so sorry I am a muslim, I hope you understand.” Untungnya dia
tersenyum, semoga saja di pikirannya
tidak terlintas kata teroris pada saat saya mengucapkan kata muslim, ujar
saya dalam hati.
Ini Maria (kanan) dari Spanyol |
Malioboro sudah dicentang.
Esoknya (18/7/2016) saya
meninggalkan homestay bergegas menuju
Semarang. Di Semarang saya hanya ingin melihat UNDIP, sholat di Masjid Agung
dan berhenti sejenak makan di daerah Simpang Lima. Karena waktunya sudah mepet,
saya ringkas perjalanan secepat mungkin untuk mengejar sampai ke Kuningan
sebelum malam. Sedangkan pada saat itu saya baru sampai di UNDIP Tembalang
pukul 11.00. Akhirnya saya hanya memutari kampusnya saja karena saya berencana
sholat dzuhur di Masjid Agung Jawa Tengah yang berada di Jl. Gadjah Raya. Meskipun
sudah saya kebut, tetap saja saya tidak sampai tepat waktu. Ini karena saya
sempat nyasar di daerah Kedungmundu. Sebagai orang yang pernah tinggal di
Semarang selama tujuh tahun, nyasar seperti itu adalah hal yang sungguh
memalukan.
Tampak dalam Masjid Agung |
Teras Masjid Agung |
Tiba di Kompleks Masjid Agung,
saya lantas memarkirkan motor dan berjalan ke arah masjid. Matahari sedang
terik-teriknya saat itu sedangkan saya harus melewati teras keramik masjid yang
langsung kena sinar matahari. Jika yang dilewati hanya 5-10 meter tidak
masalah, hanya saja ini teras masjidnya sangat luas sekitar 50 meter lebih.
Alhasil kaki telanjang saya kepanasan ketika melewatinya. Padahal di teras
masjid tersebut memiliki atap payung portable
yang bisa dibuka tutup seperti pada masjid Nabawi. Hanya saja payung ini dibuka
saat-saat tertentu saja seperti ketika sholat Jumat, hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha.
Dulu saat masih duduk di bangku
SD-SMP, saya sering ke masjid ini setiap hari Minggu, sayangnya bukan untuk
sholat melainkan untuk bersepeda bersama teman-teman yang mana diakhiri dengan jajan
dan nongkrong di sekitar masjid ini. Jujur saja baru kali ini saya masuk Masjid
Agung ini dan sholat di sana, sebelumnya belum pernah.
Ya, memang dulu setiap hari
Minggu di kompleks masjid ini (tepatnya di area parkir sebelah Utara masjid) ramai
sekali karena dijadikan tempat berjualan mirip seperti pasar rakyat. Biasanya
ketika saya pamit ke masjid ini saya dibekali uang seribu rupiah untuk jajan.
Saya masih ingat jajanan yang sering saya beli: Rp500 untuk membeli fried chicken yang kebanyakan tepungnya
sedangkan dagingnya hampir tidak ada, dan Rp500 sisanya untuk membeli es teh
atau jenis minuman yang lain. Sekarang di kompleks masjid ini kalau tidak salah
sudah tidak boleh ada yang berjualan lagi seperti dulu.
Selesai sholat di Masjid Agung
dan mengambil beberapa foto di sana saya langsung meluncur ke arah Simpang Lima
melalui Citarum. Sebenarnya saya bisa memotong jalan dari sana ke arah Mayjen
Sutoyo, namun saya sengaja lewat Citarum dari SMP 4 karena ingin mampir di
warung Tahu Gimbal di daerah Tambak Dalam dekat jembatan glodak-glodak[20] yang
memotong sungai Banjirkanal Timur. Naas saya kurang beruntung karena sepertinya
warungnya tutup atau pindah tak tahu kemana, akhirnya saya jalan terus ke arah
Simpang Lima. Sebelumnya saya sempat mampir membeli lumpia titipan mamah di gang
depan Mall Sri Ratu Jl. Pemuda. Meskipun hanya tiga biji, kocek yang saya rogoh
untuk membelinya tidak sedikit, karena satu lumpia harganya mencapai Rp14.000.
Sampai Simpang Lima saya tidak
menemukan apapun. Maksudnya kondisi dari pusat kota Semarang itu sangat berbeda
dengan yang dulu. Kini tidak ada orang yang berjualan lagi di sekitar alun-alun.
Memang tampak bersih, tapi alun-alun tersebut hanya menampakkan ruang publik
biasa yang tidak dapat dijadikan tempat belanja atau mencari makan, berbeda
dengan yang dulu.
Kalau sedang senggang, dulu
keluarga saya sering datang ke Simpang Lima ini untuk sekedar jalan-jalan.
Biasanya di malam hari, di lapangan alun-alun ada penampilan Kuda Lumping yang
dipertontonkan secara umum. Saya sering menontonnya walaupun kadang ngeri
melihat orang-orang yang tengah kesurupan sambil loncat-loncat dengan Kuda
Lumping mengunyah bohlam atau membuka buah kelapa dengan gigi.
Cukup nostalgianya. Cerita ini
sudah hampir habis.
Saya keluar Semarang pukul 14.00
dalam keadaan belum makan siang. Saya melanjutkan perjalanan ke Kuningan, berhenti di jalan hanya untuk sholat saja dan makan di daerah Pemalang. Meskipun sudah
dikebut, tetap saja saya sampai rumah cukup malam sekitar pukul 21.00. Saat
sampai rumah, lumpia yang saya beli di Semarang tadi langsung digoreng dan
dimakan orang-orang rumah, pertanda saya kembali diterima di rumah ini. Setelah
mandi dengan air hangat, saya meletakkan
badan di kasur dan terlelap hingga pagi, mengistirahatkan tubuh yang kelelahan
setelah berkendara selama sekitar 3 hari. Sudah dulu ya, sampai ketemu di
pengasingan selanjutnya, di tempat KKN yang tak tahu entah dimana.
[1] Makanan
khas Purwokerto berupa tempe yang diiris tipis-lebar dan digoreng dengan
dilapisi tepung berbumbu, enak disantap saat panas.
[2] Kok
sendirian saja, Mas? Temannya dimana?
[3] Ya
sendiri saja karena ribet jika membawa teman.
[4] Salah
satu tempat makan mahasiswa/i Unsoed yang menyajikan, kalau tidak salah ayam
atau ikan sebagai menu utama.
[5] Peluit
(Jawa)
[6] Jangan
lari-lari di pinggir kolam, nanti jatuh.
[7] Mistis,
semisal memberikan sesajen di bawah pohon besar untuk arwah leluhur atau
mengagungkan benda-benda tertentu.
[8] Buah
nangka muda.
[9] Kayuh
[10] Dengan
apa mas (lauknya)?
[11] Sama
telur saja Bu.
[12] Sebutan
orang Semarang untuk kulit sapi. Saya lupa Rifqi menyebutnya dengan versi yang
berbeda.
[13] Mas, Es
Kawista rasanya seperti apa?
[14] Rasanya
segar.
[15] Studi
Lapangan Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial, nama field trip pada saat SMA.
[16] Kelek bolong, kaos yang jika dipakai
akan menampakkan ketiak sang pengguna.
[17] Dalam Sebastian, L. C. & Lanti, I. G., 2010. Perceiving Indonesian approaches to international relations theory. Dalam: A. Acharya & B. Buzan, penyunt. Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and beyond Asia. New York: Routledge, pp. 148-173.
[18] Istirahat
meluruskan pinggang.
[19] Kok
mahal ya, Bu.
[20] Saya
sebenarnya tidak tahu persis nama jembatannya apa, namun sering disebut
jembatan glodak-glodak karena alas
jembatan yang menggunakan kayu ketika dilewati kendaraan menghasilkan suara glodak-glodak yang sangat keras.
No comments