Narasi
Yes, I Hate Philosophy
Kelas filsafat memasuki pertemuan
ketiga dan keadaannya tidak kunjung membaik. Padahal saya sudah mengurangi plonga-plongo saya di kelas Bahasa Arab.
Yah, walaupun kemarin saat dosen menjelaskan naat manuth (salah satu aturan bahasa) saya malah menangkapnya
dosen sedang membicarakan nasi mangut (mangut
adalah salah satu jenis sayur khas Jawa Tengah yang kuahnya berwarna coklat dan
biasanya berisi daging ikan Pari). Saya jadi merasa lapar ketika di kelas.
Hari itu kami membahas tentang realita.Tidak ada yang ada (Gorgias).
Pernyataan tersebut membuat saya mendadak menjadi bodoh seketika mengetahuinya.
Kira-kira seperti itulah pernyataan-pernyataan filsafat. Pernyataan hasil merenung
sendiri dalam sunyi, bercengkerama dalam kontemplasi. Saya bahkan tidak tahu
apa itu kontemplasi.
Harusnya jomblo-jomblo di dunia
ini pintar berfilsafat karena mereka sering kali menyendiri. Sayangnya para
jomblo tersebut kebanyakan malah menggalau daripada memikirkan masa depannya.
Saya bisa berkata seperti ini karena saya masih bermain Facebook. Sungguh,di Facebook
saya banyak menemukan orang galau, termasuk saya sendiri (dulu).
Uga Yugareksa (kanan) adalah salah satu jomblo di kelas saya yang pandai berfilsafat |
Pernyataan tidak ada yang ada membuat saya berfikir lebih jauh apakah sebuah realita adalah realita? Ketika
dijewantahkan dalam apa yang disebut teori
konspirasi, kadang membuat kita percaya akan cocologi (ilmu mengait-ngaitkan, mencocok-cocokan). Ada sebuah
realita dibalik realita yang kita tidak tahu apakah realita dibalik itu adalah
realita. Begitulah kira-kira anti-mainstream
thinker mencari jawaban-jawaban atas kejadian yang terjadi di dunia ini.
Lupakan semua kerumitan itu. Kini
saya ingin bercerita:
Hari Rabu (16/9) lalu saya
bertemu seorang ibu-ibu lewat di selasar FISIP. Kala itu saya sedang menjaga
stan infaq kurban DKM FISIP yang juga berada di selasar. Ibu tersebut
sepertinya baru saja selesai menunaikan sholat dzuhur ketika waktu menunjukkan sekitar
pukul satu. Saya belum pernah melihat ibu tersebut selama ini.
Ibu tersebut kelihatannya umurnya
sekitar lima puluh tahunan. Beliau berhenti di depan stan kami dan bertanya
kira-kira apakah infaqnya dibebaskan nominalnya. Saat itu saya dan Kang Zul (Ketua
DKM FISIP) yang sedang berjaga menanggapi positif terhadap pertanyaan ibu tadi.
Ibu tersebut kemudian bercerita
pendek kepada kami bahwa saat itu beliau sedang mengurus administrasi di
Dekanat. Kami tidak menanyakan apapun kepada ibu tersebut dan hanya menjawab, oh begitu, ya, baiklah, dsb karena
khawatir beliau sedang ada urusan privat yang tidak ingin diganggu. Akan tetapi,
tanpa ditanya ibu tersebut bercerita bahwa beliau sedang mengurus administrasi
almarhum suaminya yang tadinya merupakan dosen disini.
Ibu tersebut merasa sedih sekali.
Beliau mengungkapkan rasanya seperti sedang nostalgia masa-masa bahagia saat
suaminya masih bekerja di FISIP. Kini suaminya telah tiada dan beliau hanya
bisa membayangkannya saja masa-masa almarhum masih hidup dulu.
Ketika itu kami terkejut ketika
beliau menyebut nama almarhum. Ternyata yang sedang diceritakan adalah almarhum
Bapak Yanuar Ikbar. Beliau adalah dosen Hubungan Internasional yang seharusnya
mengajar saya di semester tiga ini. Ketika ibu tersebut tahu bahwa kami adalah
mahasiswa almarhum, ibu tersebut semakin antusias bercerita. Bahkan hingga
menanyakan nama kami.
Ibu tersebut menceritakan kisah
suaminya dan ketiga anaknya. Kira-kira hampir satu jam ibu tersebut bercerita
kepada kami. Padahal saat itu beliau menyatakan sedang terburu-buru. Matanya berkaca-kaca saat bercerita. Saya
hanya mendengarkan dan tak berani memotong. Saya pikir ibu itu ingin
mencurahkan isi hatinya. Yah, semoga dengan mendapat teman cerita, ibu itu bisa
bangkit kembali dan menjalani hidup seperti biasanya.
Orang-orang yang kita cintai datang dan pergi
Yang datang pasti kan pergi
Namun yang pergi belum tentu kembali
Janganlah kau merasa sendiri
Masih ada Allah disini
Kuharap Dia mempertemukan kita lagi
Di alam nanti
Kok saya jadi pura-pura
puitis begini ya? Saya kira cerita di atas tidak ada hubungannya dengan
filsafat. Jadi mohon maaf kalau judulnya ngaco tidak sesuai dengan
isinya. Tapi jika kita melanjutkan pembicaraan mengenai realita di atas, itulah realitanya. Ibu
tersebut kehilangan suaminya. Tidak percaya bagaimanapun, itulah kenyataannya.
Realita yang pasti adalah semua
orang pasti mati. Mudah sekali kan mematahkan teori Gorgias?
Beralih ke realita lain:
Bersama adik-adik binaan mentoring saya. Semoga istiqomah teman-teman! |
Minggu ini saya disibukkan dengan
kegiatan-kegiatan baru. Mulai dari mengisi agenda mentoring, diskusi keilmuan
dan mabit bersama LDF tingkat kampus. Yang paling baru sebenarnya adalah saya
tiba-tiba suka belajar di masjid kampus. Kira-kira kalau saya sedang ada bacaan
yang ingin diselesaikan, saya membawanya ke Masjid Raya Unpad untuk dibaca di
sana.
Ini dia tampak dalam Masjid Raya Padjadjaran. |
Dua tahun tinggal di masjid
sekolah dulu membuat saya kangen masa-masa susah saat itu. Teman-teman kelas 2
SMA heran dengan ranking yang saya dapat kala itu. Jangan-jangan saat itu saya
dapat wangsit karena tidur di masjid.
Mendengar hal itu, saya iyakan saja sambil tertawa. Saya masih ingat kalau
tidak salah yang mengatakan itu adalah M. Hagi Damara.
Padahal di tengah saya menulis
ini, tugas-tugas sudah mengantri. Diantaranya adalah mencari tahu Kasus Paket
Habana Kuba vs Amerika dan Kasus Scotia antara Inggris vs Amerika. Saya heran,
mengapa saya harus mencari tahu kasus-kasus tersebut, sedangkan kasus-kasus
yang ada dalam diri saya belum saya cari tahu. Ini minggu saya, semoga minggu
depan lebih baik lagi. Bismillah...
No comments