Opini
Palestina Perlu Memanfaatkan Momentum Dukungan Komunitas Internasional
Pada 11
September 2015 lalu PBB mengambil resolusi berdasarkan voting Majelis Umum yang
membolehkan bendera non-member observer state (negara peninjau bukan anggota)
berkibar di markas PBB. Bendera non-member observer state yang disetujui untuk
dikibarkan di Markas PBB adalah Bendera Palestina dan Vatikan.
Ilustrasi: Al Jazeera |
Kejadian di
atas membuat kita semakin yakin bahwa Palestina akan menjadi negara merdeka.
Tindakan negara-negara di Majelis Umum PBB yang mayoritas mendukung pengibaran
bendera Palestina, secara tidak langsung menandakan pengakuannya terhadap
negara tersebut.
Namun
sayangnya masih banyak yang harus dibenahi di dalam tubuh Palestina sendiri.
Palestina masih terbagi atas dua faksi besar yang belum bisa bersatu, yaitu
Hamas dan Fatah. Keadaan geografis yang terpisah di negara Palestina membuat
sulitnya koordinasi antara Hamas yang mengontrol Gaza dan Fatah yang mengontrol
Tepi Barat.
Di bulan
September 2014 lalu pasca agresi 50 hari Israel, Hamas dan Fatah sudah sepakat
untuk membentuk pemerintah persatuan. Sayangnya, sekitar setahun kemudian,
Fatah secara sepihak memutuskan untuk keluar dari kesepakatan tersebut.
Alasannya sederhana, karena Fatah tetap tidak bisa menjangkau Gaza yang selalu
dikontrol Hamas.
Agaknya
posisi terpecah belah inilah yang perlu di benahi di Palestina. Palestina akan
sangat sulit berdaulat jika belum bisa bersatu. Semua faksi perlu duduk bersama
dalam menetapkan keputusan. Barulah setelah semua faksi bersatu, pembenahan
organisasi negara dilakukan seperti halnya membentuk tentara nasional, polisi
nasional dan lembaga-lembaga yang dibutuhkan sebagai penyangga berdirinya
negara.
Posisi sulit
yang masih menjadi polemik di Palestina sendiri adalah permasalahan mengenai
wilayah. Di wilayah Palestina, selama ini belum berlaku pasti perbatasan
wilayah yang mana yang digunakan. Akan tetapi, banyak pihak mendefinisikan
wilayah Palestina adalah berdasarkan wilayah pasca perang 6 Hari (1967),
walaupun belum ada perjanjian apapun yang mengikatnya.
Dalam kenyataannya,
Israel juga telah membangun pagar pembatas di perbatasan yang memberikan tanda
bahwa wilayah kedaulatan negara sudah di definisikan oleh masing-masing pihak.
Sayangnya Palestina masih dikontrol oleh Israel dalam banyak hal, semisal
keamanan perbatasan, ekonomi maupun energi. Bahkan sulit bagi Palestina untuk
memberikan keamanan bagi para rakyatnya, apalagi jika sudah berhadapan dengan
tentara dan polisi Israel. Secara teori dan praktik, Palestina belum bisa
dikatakan merdeka apabila keadaan-keadaan seperti yang sudah disebutkan di atas
masih belum dibenahi.
Secara umum
terdapat dua faktor penyebab mengapa Palestina belum bisa merdeka, yaitu karena
faktor internal dan eksternal. Faktor internal sudah banyak disebutkan, seperti
belum bersatunya faksi politik di Palestina dan keadaan geografis yang
merintangi upaya penyatuan. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh upaya
Israel dan Amerika untuk menghalang-halangi merdekanya Palestina.
Walaupun
begitu, salah satu harapan baru bagi Palestina saat ini adalah terkait dengan
pengakuan komunitas internasional terhadap Palestina. Pengibaran bendera di
Markas PBB –walaupun tidak terlalu memberikan pengaruh signifikan di lapangan–
setidaknya bisa menjadi simbol bahwa kemerdekaan Palestina didukung oleh komunitas
internasional.
Palestina
harus memanfaatkan momentum ini sebagai kesempatan untuk melakukan 'serangan
balik' diplomasi untuk menekan Israel. Apalagi jika suatu saat komunitas
internasional bisa menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Israel. Tentu Israel
akan bergeming. Hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan. Korea Utara saja
bisa dijatuhi sanksi ekonomi karena menelantarkan rakyatnya. Begitu pula dengan
Iran yang sempat di embargo karena mengembangkan nuklir.
Daya tawar
Palestina selama ini rendah di mata Israel karena tidak memiliki hard power
untuk menguatkan diplomasinya . Hard power adalah sebuah kekuatan yang bisa
memaksa negara lain untuk melakukan sesuatu sesuai yang negara kita kehendaki,
contohnya militer dan ekonomi.
Sejak lama Palestina
hanya mengandalkan permasalahan moral dan kemanusiaan untuk menjadi basis
kekuatan diplomasi tanpa ada tindak lanjut lebih jauh. Hal ini termasuk ke
dalam soft power dimana negara lain akan terpengaruh tanpa kita perlu melakukan
paksaan.
Dalam hal
kemanusiaan, secara otomatis negara-negara di dunia akan bersimpati dan pro
terhadap Palestina. Akan tetapi, implikasinya hanya sebatas dukungan moral dan
bantuan materi sebagai simbol belaka.
Seharusnya
Palestina menggunakan smart power sebagai penggabungan antara soft power dan
hard power untuk mendobrak kekuatan Israel selama ini. Palestina bisa
menggunakan alasan kemanusiaan untuk meraih dukungan moral komunitas
internasional.
Setelah
dukungan moral didapat, di sisi lain Palestina juga perlu melakukan tekanan
terhadap pendukung mereka agar meminta komunitas internasional untuk bisa
melakukan embargo ekonomi atau bahkan militer terhadap Israel.
Israel selama
ini tidak bergeming dan menutup telinga terhadap kecaman-kecaman. Oleh karena itu
soft power yang berdiri sendiri dinilai tidak efektif lagi. Dibutuhkan suatu
cara baru agar Israel gentar. Salah satunya barangkali adalah smart power yang
perlu diterapkan terhadap kebijakan luar negeri Palestina.
Tanggal 30
nanti, bendera Palestina akan dikibarkan di markas PBB. Semoga hal tersebut
bukan hanya menjadi aksi simbolik belaka
No comments