Memahami Foucault tak lepas dari membaca konstruksi masyarakat oleh struktur kekuasaan yang mewujud dalam berbagai macam bentuk. Salah satunya yakni kerja-kerja narasi (work of an author) atau œuvre.
Kerja narasi yang melembaga (atau disepakati kebanyakan orang) dalam sebuah masyarakat punya kapasitas untuk menentukan banyak hal. Makanya, kita bisa menganggapnya punya kadar kekuasaan tertentu.
Foucault mengambil kegilaan (madness) sebagai salah satu contoh yang menjadi objek determinasi œuvre. Penelusurannya pada tiga zaman, membawanya pada kegilaan yang (dianggap) berbeda.
Di era Renaisans, kegilaan dianggap sebagai bagian dari pengetahuan karena mewujud dalam literatur. Di abad 17-18, orang gila adalah mereka yang tidak bernalar dan harus dikurung, bersatu dengan para gelandangan dan pelacur. Sedangkan pada abad 19, orang gila adalah mereka yang memiliki penyakit mental dan perlu diobati.
Melihat itu, tibalah Foucault pada kesimpulan bahwa kegilaan adalah tiadanya kerja-kerja narasi (an absence of an œuvre). Orang bisa dianggap gila karena tidak ada narasi yang melazimkan tindakan/sikap mereka yang berbeda atau tidak biasa dilakukan oleh kebanyakan orang. Makanya, cara paling mudah untuk memberi simbol yang mewakili tindakan/sikap tersebut adalah dengan menyebutnya gila.
Jatuh Cinta Bukan Kegilaan
Biasanya untuk memahami suatu kasus atau fenomena, orang akan merujuk teori sebagai refleksinya. Namun, dalam kasus jatuh cinta ini agak berbeda. Teori kegilaan dapat dipahami setelah kita mengalami kasus jatuh cinta sendiri secara empiris.
Bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, tak ada pengorbanan atau tindakan melampaui batas kelaziman dan rasionalitas yang bisa dianggap gila. Meskipun itu adalah mengantarkan si dia pulang ke rumahnya yang lebih jauh dari rumah sendiri. Atau mungkin kita jadi susah tidur tengah malam karena kepikiran dia terus.
Saya bahkan mendengar cerita kalau ada seseorang yang ketika jatuh cinta rela mengelap mobil gebetannya sampai bersih. Walaupun kemudian pengorbanan itu tak berujung diketahui si dia. Kalau masih kurang, contohnya banyak di film-film FTV.
Kita yang tidak sedang jatuh cinta mungkin akan menganggap hal-hal itu sebagai sesuatu yang gila. Tapi tidak serta-merta kita bisa menganggapnya demikian. Sebab, ‘kegilaan’ yang dilakukan orang-orang jatuh cinta menunjukkan adanya narasi (existence of an œuvre) bahwa mereka sedang kasmaran.
Dari teori Foucault ini, saya belajar romantisme membahasakan sebuah fenomena. Ia mendefinisikannya dengan tak menulis definisi. Sebab, definisi manusia kait-mengait dengan ruang, waktu, dan konstelasi sosial yang sedang berlangsung. Ia tidak ajeg pada satu narasi tunggal yang memaksa.
Mungkin saja, untuk saat ini situasi sosial menganggap cinta sebagai sebuah pengorbanan dan saling-tukar afeksi lahir-batin. Ia dipupuk oleh pertemuan dan komunikasi intens untuk mengekspresikannya.
Akan tetapi, bisa jadi ada ruang-ruang lain yang memberi tempat bahwa cinta mewujud dalam diam. Ia adalah sebuah harapan suci yang membentang mengikuti alur garis yang ditetapkan Tuhan. Tinggal menunggu waktu kapan semesta bersekongkol menghadirkan harapan-harapan tersebut.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
p
ReplyDelete