Narasi
Laju Angin Kehidupan 2018 yang Berhembus Cepat, Sekelebat
Entah mungkin cuaca sedang tidak bagus atau karena akhir tahun, angin ini rupanya mampu merangkum semua memori. Setahun ke belakang, aku masih melihat diriku berkutat pada lembaran-lembaran skripsi. Belum tahu kapan lembaran-lembaran itu akan diakhiri.
Harus kuakui, lembaran terakhir buku suci perguruan tinggi itu tak kuakhiri dengan berani. Ia disidangkan dalam minim kondisi. Meski begitu, mau bagaimana lagi. Bisa lulus cepat pun harus kusyukuri.
Sekarang aku entah sedang berada di mana. Padahal kemarin aku masih bermimpi-mimpi manja tentang kehidupan. Tidur. Menghabiskan hari-hari tak berguna di sebuah kamar 3x3, yang terletak di kota yang makanan khasnya adalah tahu.
Kalau bosan, kuketuk pintu kamar sebelah. Tampak temanku selama empat tahun di sini yang berwajah lusuh belum mandi dari pagi. Aku pun begitu. Setelah bercakap sejenak, aku masuk ke kamarnya. Duduk di atas kasur, di depan sebuah akuarium yang kadang-kadang cuma dibersihkan sebulan sekali.
Ponsel pintar kami berdua ada di tangan. Posisinya sama-sama miring. Kalian pasti tahu apa yang kami lakukan. Menghabiskan waktu berdua bermain gim daring sampah 8 bit yang menguras emosi.
Hari-hari berlalu begitu saja. Kadang malam datang, tiba saat kami bercerita. Sampai malam, sampai lupa kalau besok ada agenda apa. Ya, memang wajar, karena besok agendanya apa pun tak jelas.
Menulis skripsi? Haha, kau pasti bercanda, Ferguso! Hal itu tidak ada di dalam agenda manapun. Kecuali dalam lembar KRS yang entah kusimpan di mana.
Kalau rasa bersalah di hati sudah timbul, barulah lembar demi lembar dalam layar virtual komputerku itu kutambah halamannya. Itu pun kalau teman sudah mengajak bimbingan.
Begitu emosionalnya saat itu, keluarga di rumah pun tak dihirau. Apa saja yang mengganggu jadi bahan melampiaskan emosi. Apalagi kalau ada yang bertanya, "Sudah sampai mana?"
Kini masa-masa itu telah terlewati dengan diketuknya palu yudisium yang dibuat dari kayu di depan ruang sidang HI Unpad sore itu (4/7/2018). Lalu setelahnya?
Gimik-gimik tanda tuntasnya proses akademik pun menyusul dihelat. Wisuda. Bagiku tak ada yang spesial dari itu kecuali selebrasi belaka. Toh, setelahnya, aku bakal dihantui banyak pertanyaan dan ketidakpastian tentang masa depan. Habis ini apa?
Tapi tidak bagi keluarga. Hal itu bisa jadi kado terindah yang pernah kuhadiahkan bagi mereka. Melihat anaknya sarjana, meski orang tua tak pernah melaluinya. Semua kami rayakan dengan sederhana, khidmat, dan suka cita.
Siapa yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu? Anggota keluarga inti kami yang jumlahnya cuma tiga, saat wisuda, akhirnya bisa liburan bersama. Setelah bertahun-tahun lamanya terjebak di sebuah perkampungan terpencil yang tak tahu rimbanya.
Tapi, sekali lagi, semuanya berjalan cepat, sekelebat bagai angin akhir tahun ini.
Tiba-tiba aku sudah berada di sebuah mobil. Benda beroda empat ini melaju membawaku pulang, membawa serta diri, barang bawaan, dan semua kenangan yang menyertaiku melalui sebuah petualangan akademik.
"Aku gagal," pikirku. Kukira setelah ini aku akan langsung ke mana.
Tapi Tuhan memang berencana lain. Tubuh dan pikiranku butuh istirahat. Setiap bangun tidur, kini aku bisa menyembuhkan diri dengan melihat senyum kembang seorang ibu yang bahagia anaknya kini sudah ada di rumah.
Senyum itu seolah mengatakan, "Tidak apa-apa, Nak? Jadi apapun kamu, kamu tetap anak Mamah."
Hari-hari tak berguna pun berlalu kembali. Seperti kehilangan sebuah eksistensi. Tapi, bedanya kini selalu ada keluarga yang menyemangati.
Hingga akhirnya waktu bertugas pun datang juga. Kali ini lewat dering pos elektronik yang tak kuharapkan kedatangannya. Pesan di balik dering itu, mengisyaratkan satu hal. Perantauan selanjutnya adalah ibukota.
Sejuta sengat seperti menyetrum tubuh yang tadinya lemah gemulai. Semua persiapan dilakukan. Hingga waktu 'tempur' itu datang juga. Aku merantau sebagai seorang bocah dewasa yang tak pernah mengira pertempuran itu bakal sekeras yang kini dilalui.
Sedang apa aku di sini? Penugasan di tempat baruku membuatku meninggalkan semua zona nyaman yang tak pernah kutinggalkan selama ini.
Aku ini mungkin harimau di daratan, di tengah hutan. Tapi aku dipaksa berenang melawan hiu yang ada di lautan.
Lalu timbulah dua kemungkinan. Apakah aku bakal bermutasi punya insang dan sirip sehingga lautan bagi harimau tak jadi masalah lagi? Atau aku bakal menjadi harimau yang terkapar mati?
Tapi hingga akhir tahun ini pun harimau itu masih hidup. Apakah kini dia sudah punya insang dan sirip atau belum aku tak pernah tahu.
Yang bisa kupastikan saat ini, kehidupan berjalan cepat, sekelebat laju angin yang kurasakan di sebuah sore yang tenang. Setelah ini pun tak tahu arahnya ke mana.
Ke mana angin kehidupan berhembus di tahun selanjutnya, aku ikut saja. Terombang-ambing pun tak apa-apa, asal jangan berujung ke satu tempat yang tak ku suka.
Selamat menjalani tahun-tahun yang baik, ya, wahai diri!
No comments