Guyon
Tiang Listrik adalah Kita
Apakah
saat ini publik sedang dibodoh-bodohi?
Dibodohi
dengan akting seorang politisi
yang
tersangkut kasus megakorupsi
lalu
melakukan tindakan tidak terpuji.
Menabrak
tiang listrik tak bersalah
yang
sedang diam berdiri di pinggir jalan itu.
P
|
olitisi itu akhirnya masuk rumah sakit. Tak sadarkan
diri. Kata pengacaranya kepalanya ‘benjol besar segede bakpao’. Kasihan sekali.
Namun publik, yang kini menjelma sebagai netisyen, bukannya simpati malah menghujat. Meme-meme dibuat, komik satir bertebaran
dibagikan berkali-kali di media sosial. Kurang ajar betul. Dia, kan, ketua
lembaga yang mewakili kalian, woi, dasar
rakyat jelata!
Dengar-dengar, insiden penabrakan tiang listrik ini juga
telah menginspirasi pembuatan gim Tiang Listrik. Penasaran seperti apa gimnya? Coba
cek di Google Playstore. Ternyata susah lho menabrakan mobil ke tiang listrik
seperti yang dilakukan politisi itu.
Mobil yang ditumpangi sang politisi rusak berat di
bagian depan. Ringsek. Ada tiga orang yang menumpangi mobil tersebut ketika
menabrak tiang listrik. Kabarnya mereka baik-baik saja kecuali sang politisi
ini. Maka tak heran jika ada netisyen yang
membikin rekaan kejadian dalam gambar kalau sang politisi ini, ketika mobil
menabrak tiang, sebenarnya sedang duduk di atas kap depan mobil. Pas, kan,
kepalanya jadi benjol karena ikut-ikutan membentur tiang listrik.
Bagaimanapun, respon publik terhadap tragedi yang
menimpa politisi ini agaknya tidak bisa dianggap berlebihan. Publik sudah
terlanjur disakiti oleh ketidakberadaban laku politisi yang semena-mena
menggunakan kekuasaan dan cara-cara ‘aneh’ untuk lepas dari jerat hukum dugaan
megakorupsi yang menimpa dirinya. Apalagi untuk sekelas politisi yang kerjanya
adalah membuat Undang-Undang.
Kita belum lupa ketika kasus megakorupsi ini pertama
kali diusut oleh KPK, tiba-tiba sejumlah pihak langsung kasak-kusuk membikin
pansus hak angket dan drama wacana pelemahan-pembubaran KPK. Tak lama
berselang, mereka juga menitip agenda pembentukan Densus Tipikor kepada Polri
untuk menggantikan peran KPK.
Ketika penyelidikan kasus, panggilan KPK untuk
mengusut tuntas kasus ini juga terkesan tidak digubris oleh sang politisi. Main
argumen hukum pun dilakukan: dari menunggu putusan MK, sampai menyitat UU yang
mengatur hak imunitas wakil rakyat.
Ketika semua cara-cara itu akhirnya gagal, hilang
dimakan angin, akhirnya politisi ini jatuh sakit setelah dijatuhi status
tersangka. Kalau sudah sakit, mau bagaimana lagi. Mau memeriksa orang sakit,
nanti KPK dikira melanggar hak asasi manusia.
Sayangnya, sakitnya sang politisi tidak serta-merta
menghentikan proses praperadilan yang diajukannya terkait status tersangkanya. Singkat
cerita, hakim lalu memutuskan, status tersangka sang politisi tidak sah. Ajaibnya,
setelah mendengar kabar itu, politisi ini jadi tiba-tiba sehat kembali. Besoknya,
langsung masuk kerja, langsung ‘mengabdi’ pada rakyat.
Saat ada acara partai, yang mana dia merupakan ketua
umumnya, politisi ini juga sempat mengimbau pada kader partainya agar MENGHINDARI
KORUPSI. Mantap! Memang kamu seorang politisi panutan rakyat.
Belakangan, sang politisi dikenai status tersangka
lagi. Kali ini KPK tidak ingin kalah dua kali. Didatanginya rumah politisi itu
untuk menjemput paksa sang politisi karena sekian panggilan tidak digubrisnya. Plot twist, sang politisi ternyata tak
ada di rumahnya.
KPK pun akhirnya menerbitkan Daftar Pencarian Orang
dan menganggap sang politisi buron. Peristiwa buronnya sang politisi ini
kemudian direspon oleh sebuah LSM antikorupsi dengan membikin sayembara. Barangsiapa
menemukan batang hidung sang politisi maka ia akan mendapat hadiah 10 juta
rupiah.
Belum beberapa hari sayembara dihelat, sebuah tiang
listrik ternyata berhasil menemukan sekaligus menghentikan laju mobil yang
ditumpangi sang politisi. Harusnya tiang listrik itu kini mendapat hadiah.
Sayangnya ia bukanlah koruptor yang selalu butuh apalagi tamak akan duit.
Bak pahlawan, kini tiang
listrik itu juga dibicarakan oleh masyarakat seantero negeri. Ia telah menjadi
korban tabrak lari. Bedanya, kalau biasanya penabrak akan lari dari sang korban
setelah menabrak untuk menghindari tanggung jawab ganti rugi, kini penabrak
sedang mencoba lari untuk menghindari jerat hukum.
Pembicaraan mengenai
tiang listrik ini membuktikan bahwa, meminjam jargon kampanye Presiden Jokowi
pada 2014, “Tiang listrik adalah kita.” Meski hanya tiang biasa, setidak-tidaknya
ia telah berhasil mewakili perasaan masyarakat yang geram akan laku sang
politisi.
Kita tentu mendoakan agar
sang politisi cepat sembuh benjolan kepalanya dan kemudian tidak tiba-tiba
amnesia agar kasus ini segera terang hitam-putihnya. Tapi kalau tiang listrik
telah menjadi perantara Yang Maha Kuasa untuk memanggil wakil rakyat yang kita
cintai itu, mau bagaimana lagi? Yang jelas kita sebagai rakyat harus ikhlas
dengan semua kejadian yang terjadi. Qadarullah.
Catatan: Tulisan ini
hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita
itu hanya kebetulan yang disengaja. Khawatir kalau tidak fiktif akan
dilaporkan, lalu kena UU ITE, dan penulisnya bisa diciduk polisi. Nanti
skripsinya ndak beres-beres lagi
kalau harus dibui.
No comments